Nasionalisme TNI/Polri Dibeli Wilmar Group?

Sejak tanggal 7 Desember lalu, PT. Asiatic Persada melakukan pengusiran paksa terhadap warga Suku Anak Dalam (SAD) di tiga dusun di Batanghari Jambi, yakni Padang Salak, Pinang Tinggi, dan Tanah Menang.

Untuk diketahui, proses penyingkiran warga SAD oleh PT. Asiatic Persada itu bukan penyingkiran biasa. Bukan hanya praktek penggusuran dan perampasan lahan milik masyarakat. Namun, di dalamnya ada praktek penghancuran ekonomi dan ruang hidup warga SAD itu sendiri.

Indikasinya sangat jelas. Pertama, para penggusur bukan hanya mengusir warga, tetapi juga menghancurkan pemukiman dan basis kehidupannya (lahan pertanian, ternak, dan lain-lain). Kedua, ada proses pengorganisasian teror yang sangat massif, yang dimaksudkan untuk menciptakan efek “rasa takut permanen” bagi warga SAD.

Ironisnya, proses pengusiran paksa warga SAD itu melibatkan aparat kemanan resmi negara, yakni TNI dan Brimob/Polri. Bahkan, seperti dituturkan oleh warga SAD, anggota TNI/Polri turut mengusir warga SAD dengan mengumbar dentuman senapan.

Saya tidak tahu persis alasan TNI/Polri, terutama pimpinan mereka yang mengkoordinasikan pengerahan pasukan itu, untuk ambil bagian dalam aksi PT. Asiatic Persada mengusir paksa warga SAD. Namun, dengan dalih apapun, keterlibatan TNI/Polri dalam konflik tersebut, apalagi memposisikan diri sebagai centeng PT. Asiatic Persada, jelas salah.

Untuk anda ketahui, PT. Asiatic Persada adalah anak perusahaan Wilmar Grup, perusahaan agrobinis yang berkantor di Singapura. Menurut Wikipedia, perusahaan ini didirikan oleh Kuok Khoon Hong, keponakan dari Robert Kuok, seorang miliarder berkebangsaan Malaysia.

Sementara SAD adalah warga asli Republik Indonesia. Warga SAD sendiri sudah menempati wilayah itu secara turun-temurun sejak leluhur mereka. Namun, pada tahun 1987, rezim Orde Baru kala itu memberi HGU kepada PT. Bangun Desa Utama (BDU) seluas 20.000 hektar. Namun, di dalam HGU itu terhadap lahan milik masyarakat SAD seluas 3500-an hektar.

Sejak itulah masyarakat SAD kehilangan tanahnya. Tak hanya itu, mereka diusir dari pemukimannya. Saat itu rezim Orba menggunakan “tangan besi” untuk mengusir warga SAD dari tanahnya. “Sejak tahun 1986 tanah kami dirampas. Kampung kami dihancurkan. Kuburan leluhur kami dihancurkan dan kemudian ditanami sawit,” kenang Kutar, Ketua Adat masyarakat SAD 113.

Sejak tahun 2007, kepemilikan HGU tersebut berada di tangan PT. Asiatic Persada (Wilmar Group). PT. Asiatic Persada juga melakukan pengusiran paksa terhadap warga SAD. Akibatnya, warga SAD hidup berpencar-pencar.

Sejak tahun 2009, warga SAD mulai melakukan perlawanan. Mereka menuntut agar hak ulayat mereka dikembalikan. Namun, perlawanan warga SAD makin memuncak sejak tahun 2011 lalu. Mereka datang ke Jakarta dan menginap sebulan lebih di depan gedung DPR-RI.

Akhirnya, setelah melalui perjuangan panjang, pada bulan Desember 2011,  BPN-RI memenuhi tuntutan warga SAD. Saat itu BPN memerintahkan agar pihak Asiatic Persada segera mengembalikan hak ulat SAD seluas 3550 ha. Keputusan BPN ini diperkuat dan didukung oleh DPR-RI, Menteri Kehutanan, DPD-RI, Komnas HAM, dan Pemerintah Daerah Jambi.

Namun, dalam perjalanannya pihak PT. Asiatic Persada tak kunjung menjalankan keputusan lembaga negara itu. Malahan cenderung mengabaikan keputusan itu. Akhirnya, sebagai respon atas pembangkangan PT. Asiatic Persada itu, Gubernur Jambi melayangkan tiga kali surat peringatan: Surat Peringatan I Pemprov Jambi tanggal 30 Agustus 2013, kemudian Surat Peringatan II Pemprov Jambi tanggal 4 Oktober 2013, serta Surat Peringatan III Pemprov Jambi tanggal 21 Oktober 2013.

Tetapi PT. Asiatic tetap membandel. Jelas sekali, perusahaan asal Malaysia/Singapura itu tidak mau patuh terhadap otoritas pemerintah RI. Akhirnya, pada tanggal 25 Oktober lalu, Nomor S-525.26/3260/SETDA.EKBANG-4.2/X/2013 Perihal Peninjauan Ulang Sertifikat HGU PT. Asiatic. Surat itu sedang berproses di BPN pusat.

Namun, ketika proses di BPN pusat itu sedang berjalan, tiba-tiba pada tanggal 7 Desember lalu PT. Asiatic Persada melakukan aksi sepihak: mengusir paksa warga SAD dengan jalan kekerasan, teror, dan ancaman pembunuhan. Warga hanya diberi dua pilihan: tinggalkan kampung atau dibunuh. Ironisnya, tindakan sepihak yang ilegal PT. Asiatic Persada ini justru digardai oleh TNI/Polri.

Di sini, keterlibatan TNI/Polri membela PT. Asiatic Persada membawa konsekuensi: pertama, TNI/Polri turut melecehkan otoritas lembaga negara sendiri (BPN-RI, DPR-RI, DPD RI, Pemprov Jambi, Pemda Batanghari, Komnas HAM, dll). TNI/polri ternyata lebih tunduk kepada perusahaan Malaysia/Singapura ketimbang kepada otoritas pemerintahan Republik Indonesia.

Kedua, keterlibatan TNI/Polri dalam pengusiran warga SAD jelas menghina pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:….membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Yang terjadi, TNI/Polri justru turut menghancurkan kehidupan sosial warga SAD yang notabene rakyat alias warga negara RI.

Ketiga, keterlibatan TNI/Polri dalam pengusiran warga SAD jelas melecehkan pasal 33 UUD 1945 dan UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA-1960). Kedua aturan dasar itu menjamin hak rakyat atas sumber daya agraria, termasuk tanah.

Keempat, keterlibatan TNI/Polri dalam pengusiran warga SAD jelas-jelas menginjak-injak ideologi negara, yakni Pancasila. Pengusiran paksa terhadap warga SAD merupakan tindakan yang melawan peri-kemanusiaan dan peri-kebangsaan, melecehkan prinsip musyawarah mufakat, dan melanggar prinsip keadilan sosial.

Tindakan TNI/Polri itu, yang mengedepankan kekerasan bersenjata, juga melecehkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor putusan: 55/PUU-VIII/2010 yang melarang penggunaan pasal kriminalisasi terhadap perjuangan petani yang ingin merebut hak-haknya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan.

Dengan rentetan pelanggaran di atas, dimana nasionalisme TNI/Polri kita?

Militerisme dan Investasi Asing

Keterlibatan TNI/Polri dalam mendukung kepentingan investor asing bukanlah kejadian baru. Ini nyaris terjadi di hampir semua konflik sumber daya alam di Indonesia.

Malahan, dukungan TNI-Polri terhadap eksistensi modal asing itu dinyatakan secara terbuka oleh pimpinan TNI sendiri. Misalnya, pada 4 September lalu, Panglima TNI Jend Moeldoko membuat pernyataan bahwa TNI siap mengambil langkah jika ada gangguan yang mengancam stabilitas sehingga berdampak kepada investasi.

Ini pun bukan hal baru. Intelektual progressif Uruguay, Raul Zibechi, pernah mencatat korelasi langsung antara militerisme dengan ekspansi modal asing di negara dunia ketiga. Ia mengatakan, “tidak ada ekstraksi (sektor ekstraktif), tidak ada pertambangan, tidak ada pertanian monokultur, tanpa militrisasi masyarakat.”

Di sini militerisasi mengambil beberapa bentuk: pertama, penempatan militer secara fisik di areal konflik sumber daya; kedua, peningkatan konflik bersenjata di areal konflik sebagai dalih untuk memanggil militer mengamankan aset-vital asing; ketiga, maraknya penggunaan para-militer dan milisi sipil untuk mengamankan modal; keempat, konversi nilai-nilai militeristik dalam budaya-fikir: pengagungan terhadap otoritas, disiplin kaku, pemujaan terhadap hirarki, ketaatan buta, homogenisasi pemikiran, kekerasan, dan lain-lain.

Kenapa modal asing berhasil membeli loyalitas militer kita? Saya kira, penjelasan Pramoedya Ananta Toer dalam artikel Maaf Atas Nama Pengalaman, November 1991, sangat membantu. Di situ Pram menulis begini: “sejarah mengajarkan banyak tentang kekuasaan modal. Bangsa-bangsa merdeka diubah menjadi bangsa kuli, orang-orang lugu dibentuk menjadi komprador, pengangguran diubah menjadi pembunuh bayaran dengan sergam dan tanda pangkat, rimba-belantara diretas-retas dengan infrastrktur, kota-kota, pelabuhan, muncul dari tiada atas perintahnya, tenaga kerja disedotnya dari mana saja, sampai-sampai dari dusun yang tak pernah terdengar jelas namanya. Pemerintah dari sekian banyak negara dibuatnya hanya jadi pelaksana kemauannya, dan bila sudah tak dihekendakinya, dijatuhkannya.”

Saya kira, proses penjinakan militer kita oleh modal asing melalui beberapa tahap: pertama, penciptaan rezim boneka yang bertugas melayani kepentingan modal asing. Rezim boneka ini biasanya “diinstall” melalui pemilu curang maupun kudeta. Kedua, rezim boneka ini, bekerjasama dengan kaki-tangannya di parlemen, mendorong perombakan konstitusi agar lebih adaptif dengan modal asing. Perombakn konstitusi ini disertai dengan penciptaan regulasi-regulasi (UU) baru yang lebih pro-modal asing. Ketiga, UU yang pro-modal asing inilah yang jadi “legalitas formal” untuk memanggil aparatus negara yang lain, termasuk aparatus keamanan, untuk melindungi kepentingan modal asing di sebuah negara.

Di Indonesia, ada persoalan tambahan: kaburnya perbedaan antara negara dan pemerintah. Seolah-olah negara adalah pemerintah. Padahal, pemerintah hanyalah salah satu entitas dalam negara. Pemerintah hanyalah adminstrasi pelaksana kekuasaan negara.

Tunduk pada politik pemerintah belum tentu berarti tunduk pada politik negara. Sebab, dalam banyak kasus, politik pemerintah tidak mencerminkan politik negara. Ada banyak pemerintahan yang mengabaikan konstitusi dan ideologi negara.

Makanya, tak mengherankan bila Bung Karno pernah menegaskan bahwa loyalitas TNI/polisi hanyalah pada politik dan ideologi negara. Di sini, politik negara adalah konstitusi (UUD 1945). Sedangkan ideologinya adalah pancasila. Jika, misalnya, pemerintah membuat kebijakan yang berlawanan dengan politik dan ideologi negara, maka TNI seharusnya bisa menolaknya.

Dalam kasus konflik agraria, jelas politik pemerintah salah. Pasal 33 UUD 1945 tegas menyatakan: bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, penguasaan dan pengelolaan bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya harus memakmurkan rakyat.

Sigit Budiarto, kontributor Berdikari Online

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid