Merajut Kembali Gagasan Parlemen Di Indonesia

Dari Serpihan Sejarah

In het heden ligt het verleden, in het nu wat komen zal; adagium klasik ini mengajarkan kepada kita bahwa di masa kini tercakup masa lalu, dan di masa sekarang terkandung masa depan. Di tengah hiruk pikuk politik di negeri ini, sampailah kita pada fase dimana nilai-nilai universalitas dari politik itu mengalami transvaluasi dan alienasi. Kondisi politik yang demikian itu kemudian terbawa serta ke dalam parlemen, sebagai suatu ruang untuk mencapai keseimbangan baik sebagai lembaga yang mewakili rakyat (representative assemblies) maupun sebagai salah satu ‘alat’ dalam menjalankan kekuasaan negara (kekuasaan legislatif).

Sejarah mencatat perjalanan mengenai gagasan parlemen di Indonesia telah dimulai sejak sebelum kemerdekaan: kongres SI-1919, Tan Malaka-Naar de republiek Indonesie-1924-disebutnya ‘majelis permusyawaratan nasional’, konferensi GAPI-1942, rancangan permulaan dari UUD oleh Soepomo, Soebardjo, Maramis-1942), serta berlangsung dalam situasi kepentingan yang ketat dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia sepanjang tahun 1945 sampai 1960-an akhir. Sebagai akibat dari belum tuntasnya rajutan konsepsi parlemen di masa itu, maka ketidakjelasan itu pula seringkali melegitimasi, memelihara serta melahirkan ‘orde’. Sehingga perlulah untuk ditinjau kembali Kedaulatan parlemen itu sebagai wujud dari kedaulatan rakyat dengan serius dan akademik.

“Lost Meaning”

Bahwa memang teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu merupakan suatu konsep yang tidak pernah dapat dilaksanakan. Secara kontekstual ia merupakan gagasan yang sifatnya utopis. Oleh karenanya, pada sekitar awal abad ke-20 berkembang pemikiran Progressive Movement di Amerika yang menolak mentah-mentah gagasan Montesquieu. Titik tekannya adalah spoil system dalam rekruitmen birokrasi (F.J. Goodnow), dan birokrasi harus dipisahkan dari pengaruh politik structural. Artinya, parlemen merupakan ruang negara untuk menyatakan fungsi politiknya dalam bentuk UUD maupun UU, yang selanjutnya dilaksanakan secara administrative.

Adapun mengenai fungsi politik tersebut C.J. Friederich merumuskannya menjadi parliament as representative assembly dan parliament as deliberative assemblies, yakni tempat dilakukannya pembahasan serta menemukan solusi atas masalah-masalah dalam masyarakat, dilakukan melalui speech and debate, questions dan interpellation. Sulit untuk mengatakan bahwa sistem parlemen Indonesia kini bersifat joint session. Disana seringkali masih terjadi perdebatan apakah sistemnya adalah unicameral, bicameral atau tricameral. Dari situ bisa dikatakan bahwa mengenai konsep parlemen tersebut belumlah tuntas perdebatannya. jika di urai berdasarkan kewenangan formalnya, maka konsep parlemen di masa RIS-lah yang paling jelas wilayah legislasinya. Titik singgungnya adalah pada perwakilan daerah, dimana dalam UUD’45 pasca amandemen, DPD sebagai salah satu lembaga legislasi tidak mendapatkan kewenangan sebagaimana DPR (telah terjadi pemusatan kekuasaan pada DPR). Lain halnya dengan konsep parlemen yang dimuat dalam konstitusi RIS, disitu perwakilan daerah mendapatkan posisi legislasi yang kuat secara formatur di struktur Senat (pasal 81) serta memiliki kewenangan ekslusif terkait kebijakan.

Meskipun parlemen (Konstitusi RIS) tersebut hanya berumur singkat (6 bulan), tetapi dimasa itulah parlemen Indonesia mengalami proses pembentukan ‘jati dirinya’ sebelum akhirnya dibubarkan melalui Piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang berkonstitusikan UUDS RI – berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950. Dari serangkaian pergeseran-pergeseran yang sifatnya konstitusional inilah kemudian terbentuk suatu pola pemikiran (UUD’45 pasca amandemen) parlemen yang kehilangan esensinya (Lost Meaning), yakni DPD mewakili rakyat dalam konteks kedaerahan, sementara DPR mewakili rakyat dengan orientasi kepentingan nasional.

Dalam logika ketatanegaraan, NKRI itu berarti kesatuan dari tiap-tiap daerah secara politis, ia bukan persatuan secara sosiologis apalagi adat, dan perwujudannya lebih terakomodir lewat Senat dijaman RIS. Disitulah pengertian nasional dalam konsep DPR tidak lebih daripada wujud implisit kehendak ‘politik’. Disana seringkali parlemen (khusus DPR) menunjukkan otoritas fungsi politisnya ketimbang bersinergi dan membangun konsensus baik secara sosiologis maupun adat.

Susanto Polamolo, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Slamet Riyadi Surakarta & Direktur Program Pada Pusat Kajian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid