Kurtubi: Tata Kelola Migas Sekarang Rugikan Negara

Pengamat energi Kurtubi berpendapat, tata kelola sumber daya migas nasional saat ini sudah terbukti merugikan negara, melanggar konstitusi (UUD 1945), dan menghilangkan kedaulatan negara.

“Tata kelola yang salah itu didasarkan pada UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas. Ini pokok masalah yang menyebabkan rusaknya tata kelola migas nasional,” kata Kurtubi saat menjadi pembicara dalam diskusi di kantor KPP-PRD, Jakarta, Jumat (19/11/2012).

Kurtubi mengungkapkan, ada empat pasal di dalam UU migas itu sudah dicabut oleh MK. Dengan demikian, secara yuridis UU itu sudah cacat. Karena itu, menurut Kurtubi, UU migas itu sedang di-judicial review di Mahkamah Konstitusi.

“Kalau sampai MK tidak mencabut UU migas itu, maka itu malapetaka besar bagi bangsa Indonesia. Sebab, itu berarti tata kelola yang salah itu dilanggengkan,” tegasnya.

Selain itu, kata Kurtubi, UU migas itu sudah terbukti merugikan negara senilai ratusan triliun rupiah. Ia pun merujuk pada keblingernya pengelolaan gas di LNG Tangguh di Bintuni, Papua.

“Gara-gara ketentuan UU migas, yang membangun dan mengembangkan pabrik LNG tangguh adalah perusahaan asing, yaitu British Petroleum (BP),” ujarnya.

Pada kenyataannya, ungkap Kurtubi, BP menjual gas hasil produksi LNG tangguh itu sangat murah, yakni hanya 3,35 dollar AS per MMBTU. Ini berbeda sekali dengan LNG Badak di Kalimantan Timur, yang dibangun dan dikembangkan oleh pertamina, harga jual gas-nya bisa mencapai 20 dollar AS per MMBTU.

“Akibat harga jual yang terlalu murah, LNG Tangguh merugikan negara sebesar Rp 30 triliun per tahun. Dan kontraknya berlangsung 25 tahun,” ungkapnya.

Selain itu, tambah Kurtubi, BP menjual hasil produksi gas LNG Tangguh ke luar negeri 100%/. Tidak setetes pun untuk di dalam negeri. Ironisnya, ketentuan itu disetujui oleh pemerintah pada tahun 2002.

Padahal, di sisi lain, PLN justru sangat membutuhkan pasokan gas. Akibatnya, PLN mengalami inefisiensi sebesar Rp 37 triliun selama 2 tahun. Beberapa pembangkit listrik PLN berbahan bakar gas harus beralih ke BBM.

“Biaya produksi listrik menggunakan BBM sangat mahal, yakni Rp 3000 per KWH. Sementara biaya produksi listrik menggunakan gas hanya Rp500 KWH. Artinya, kalau PLN pakai gas, maka TDL tidak perlu naik,” ungkap Kurtubi.

Akhirnya, Kurtubi mendesak BPK agar segera mengaudit penjualan gas LNG Tangguh, terutama pihak yang mengajukan formual harga jual sangat murah itu.

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid