BIMA-NTB (BO): Patah tumbuh hilang berganti. Peribahasa itu sangat relevan untuk menggambarkan eskalasi konflik pertambangan di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Pada akhir Januari lalu, Bupati Bima Ferry Zulkarnain akhirnya mencabut ijin pertambangan PT. Sumber Mineral Nusantara yang memicu konflik di tiga kecamatan, yakni Sape, Lambu, dan Langgudu.
Saat ini, rupanya, masih banyak ijin pertambangan lain yang siap memercikkan api konflik baru. Salah satunya adalah ijin pertambangan pasir besi di kecamatan Ambalawi dan Wera.
“Masyarakat menolak kehadiran perusahaan tambang pasir besi itu. Ini memicu perampasan lahan dan merusak laut kami,” kata Ma’rif, aktivis Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) Ambalawi.
Menurut Ma’rif, warga Ambalawi dan Wera sudah puluhan kali menggelar aksi massa di berbagai kantor pemerintah. Akan tetapi, pihak pemerintah belum merespon tuntutan warga tersebut.
Padahal, menurut Ma’rif, sekitar 80% masyarakat di kecamatan Ambalawi menolak kehadiran perusahaan tambang pasir besi. “Jika tidak segera dipenuhi tuntutan kami, maka boleh jadi akan terjadi seperti di Lambu dan Sape,” tegasnya.
Selain itu, kata Ma’rif, pihak pemerintah kecamatan Ambalawi sudah menanda-tangani surat penolakan terhadap rencana pertambangan itu.
Saat ini, setidaknya 3 perusahaan yang sedang bersiap melakukan eksplorasi di kecamatan Ambalawi dan Wera. Ketiga perusahaan itu adalah PT Jagad Mahesa Karya Buana, PT Indomaining Karya Buana, dan PT Lianda Intan Mandiri.
Andi Nursal
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid