Ketika Sukarno-Hatta Mengkritik Data Kemiskinan

Data kemiskinan bukan sekedar angka-angka, tetapi juga soal politik. Sering terjadi, untuk menetapkan angka kemiskinan, kepentingan politik kerap menyelinap untuk mengutak-atik metodologi hitungnya.

Seperti di Indonesia, negeri kita tercinta, angka kemiskinan kerap jadi polemik. Pendekatan garis kemiskinan, yang diadopsi oleh BPS, kerap menuai kritik. Sebab, garis kemiskinan itu kadang tidak masuk akal.

Sebagai contoh, pada Februari 2021, BPS menyebut angka kemiskinan 27,5 juta orang atau 10,19 persen. Angka itu didapatkan lewat hitungan garis kemiskinan sebesar Rp 458 ribu per kapita per bulan.

Jadi, misalnya sebuah keluarga punya anggota 4 orang, berarti jika pengeluarannya untuk kebutuhan makanan dan kebutuhan paling dasar di bawah Rp 1.835.778, maka dianggap miskin. 

Angka itulah yang dianggap tidak manusiawi. Sebab, garis kemiskinan itu, apalagi bagi yang tinggal di kota-kota besar, tidak benar-benar mencakup kebutuhan paling dasar.

Nah, bicara data kemiskinan, ingatan saya terbang jauh ke zaman Hindia-Belanda. Tepatnya di tahun 1933, ketika Sukarno-Hatta tak hanya tandem dalam membacakan Proklamasi, atau tandem di nama-nama jalan, tapi juga tandem dalam mengkritik data kemiskinan versi pemerintah Hindia-Belanda.

Saat itu, Direktur Binnenlandsch Bestuur (BB)—semacam kementerian dalam negeri—menyampaikan bahwa seorang rakyat Hindia-Belanda bisa hidup dengan 1 ½ sen atau segobang sehari. Angka itu, seperti hitungan BPS hari ini, diambil dari hitungan jumlah kalori yang diperlukan seorang manusia untuk bertahan hidup.

Pernyataan Direktur BB itu membuat Sukarno meradang. Melalui Fikiran Ra’jat, koran yang dikelolanya, Sukarno melancarkan kritikan keras. Dia menulis artikel keras bernada gugatan berjudul “Orang Indonesia Cukup Nafkahnya Segobang Sehari?”

Lewat artikel penuh amarah itu, Sukarno menuding Direktur BB tidak bisa membedakan antara “cukup” dan “terpaksa”. “Terpaksa hidup dengan sebenggol, dan cukup hidup dengan sebenggol, di antara dua ini adalah perbedaan yang sama lebarnya dengan perbedaan sana dan sini, antara kaum penjajah dan terjajah, antara kaum kolonialisator dan gekoloniseerde,” tulisnya.

Kemarahan Sukarno punya alasan sangat logis. Dia membandingkan nilai sebenggol sehari itu dengan ransum tahanan di penjara. Menurutnya, sebelum datang zaman meleset (krisis ekonomi Malaise 1930-an), setiap tahanan mendapat ransum 18 sen sehari. Namun, setelah zaman meleset, setiap tahanan masih mendapat 14 sen per hari. Artinya, ransum untuk hidup tahanan masih lebih tinggi dibanding dengan garis kemiskinan versi pemerintah Hindia-Belanda.

Tembakan kritik dari Sukarno membuat Belanda terpojok. Volksraad ikut angkat bicara. Lembaga parlemen buatan Belanda itu memaksa Direktur BB melakukan riset ilmiah atas klaimnya itu. 

Seturut kemudian, Direktur BB dan Dienst der Volksgezondheid (Departemen Kesehatan Hindia-Belanda) melakukan riset di wilayah Kebumen. Hasinya sudah bisa diduga: 2/12 sen sangat cukup untuk membuat seorang manusia bertahan hidup.

Hasil riset itu tidak membuat kritikan mereda. Kali ini, kritik lebih pedas dan menusuk datang dari pena Mohammad Hatta. Melalui koran Daulat Ra’jat, 10 Oktober 1933, Hatta menulis artikel berjudul “Krisis Politik Ataukah Anti Kemakmuran Rakyat?”

Di bagian awal artikelnya, Hatta mempertanyakan kebenaran “riset ilmiah” itu. Ia menggugat metodologi riset itu, karena hanya mengambil sampel pada 5 keluarga buruh dan 15 keluarga petani untuk menggambarkan kehidupan jutaan rakyat Hindia.

“Tetapi adakah pemeriksaan yang dilakukan pada satu dua tempat pada 20 rumah tangga dapat dikatakan cermin masyarakat Hindia,” gugat Hatta.

Selanjutnya, Hatta melancarkan argumentasi satire. Katanya, kalau sekedar untuk bertahan hidup, maka nol persen pun pasti cukup. Sebab, katanya lagi, naluri manusia untuk bertahan hidup akan memaksanya memakan apa saja, termasuk buah kayu, umbut (pucuk kelapa), dan rumput-rumputan.

Yang terjadi kemudian, lanjut Hatta, rakyat bukan lagi mengalami onder voeding (kurang makan), melainkan onjuist voeding (salah makan).

Hatta kemudian memperingatkan bahaya dari “quasi wetenschappelijk onderzoek”, sebuah riset yang tampak seolah-olah ilmiah. Termasuk dalam riset terhadap standar hidup layak manusia. Kesannya ilmiah, tetapi metodologinya diutak-atik, agar hasilnya menyenangkan pihak berkuasa.

Hatta juga tidak setuju dengan penggunaan standar fisiologis untuk mengukur penghidupan ekonomi. Sebab, standar fisiologi hanya mengukur jumlah asupan yang dibutuhkan oleh tubuh manusia agar tidak mati atau malfungsi. Sebaliknya, penghidupan ekonomi menyangkut hasrat atau keinginan manusia untuk hidup makmur dan bahagia.

Karena itu, sebagai antitesa terhadap penggunaan standar “asal bisa hidup” itu, Hatta menawarkan pendekatan lain: politik kemakmuran. Politik kemakmuran bukan sekedar soal bisa makan dan minum, tak sekedar agar bisa bertahap hidup, tapi soal manusia bisa hidup sehat, bahagia dan sejahtera.

Politik kemakmuran berbicara tentang manusia yang bebas dan merdeka, yang terpenuhi segala kebutuhan fisiknya, yang perkembangan hidupnya didukung oleh lingkungan yang aman dan nyaman.

Karena itu, dalam mengukur kemiskinan, politik kemakmuran tak sekedar soal kebutuhan kalori manusia untuk bertahan hidup, tapi juga soal sandang, tempat tinggal, sanitasi, air bersih, pendidikan, dan kesehatan.

Sebetulnya, kalau merenungkan kembali kritik Dwi-tunggal itu, metode pengukuran kemiskinan ala BPS sekarang ini harus dikoreksi. Tak bisa lagi kita bertungkus-lumus alat ukur yang hanya sekedar untuk memastikan orang bisa “bertahan hidup”.

Sebab, janji kemerdekaan bukanlah agar setiap manusia Indonesia bisa “bertahan hidup”, melainkan agar setiap manusia Indonesia bisa sehat, berbahagia, bebas, merdeka, adil dan makmur.

RUDI HARTONO, pimred berdikarionline.com

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid