Liberalisasi Impor Pangan

Dalam beberapa pekan terakhir, harga bahan pangan terus meroket. Yang paling mencolok adalah cabe rawit dan bawang merah. Harga cabe rawit merah sudah menembus Rp 110.000 per kilogram. Malahan di Bekasi, Jawa Barat, harga cabai rawit merah sudah tembus Rp 120.000 per kilogram. Sementara harga bawang merah sudah menyentuh Rp 50.000 per kilogram.

Kondisi ini sangat mencekik leher rakyat. Sebelum bulan puasa, kantong rakyat sudah kembang-kempis akibat dampak kenaikan harga BBM. Sekarang mereka diserbu kenaikan harga bahan pangan. Di Solo, Jawa Tengah, warga terpaksa membeli cabe busuk yang harganya jauh lebih murah. Tidak sedikit pula yang hanya bisa mengelus dada karena isi kantong tak lagi sanggup menjangkau harga-harga.

Yang menarik adalah respon pemerintah. Dua hari lalu, dalam rapat terbatas Kabinet di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Presiden SBY menyemburkan amarah ke Menteri-Menteri-nya. SBY marah karena Menterinya saling lempar tanggung-jawab terkait kebijakan impor pangan untuk menstabilkan harga. Bagi SBY, lambatnya perizinan impor menyebabkan harga pangan tidak terkendali.

Di sinilah letak masalahnya. Menipisnya stok pangan, yang telah memicu kenaikan harga, coba di atas dengan jalan pintas: impor. Inilah kebiasaan pemerintah tiap tahun. Tetapi akar persoalan menipisnya stok pangan, yakni soal produksi dan distribusi, tidak pernah tersentuh. Alhasil, kita pun makin terjerembab sebagai negara importir pangan. Hampir semua produk pangan kita dipenuhi oleh impor.

Karena polanya selalu begitu, kami melihat ada semacam unsur ‘kesengajaan’ dibalik krisis stok pangan dan melambungnya harga pangan ini. Indikasinya cukup jelas. Pertama, pemerintah cenderung melepaskan urusan pangan pada mekanisme pasar. Dengan begitu, harga pangan seperti kuda liar yang sulit dikendalikan. Kedua, pemerintah tidak serius menindak spekulan yang menimbun stok pangan. Padahal, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan sejumlah perusahaan importir bawang putih sengaja menahan stok mereka. Ketiga, pemerintah membiarkan rantai distribusi produk pangan dikuasai segelintir pelaku usaha.

Indikasi itu makin terang terlihat dalam kasus impor beras. Pemerintah selalu berdalih, kebijakan impor beras diambil karena cadangan beras nasional mulai menipis. Pada kenyataannya, seperti diungkapkan oleh Said Abdullah dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, cadangan beras nasional yang dikelola Bulog tidak ada hubungan langsung dengan produksi padi dalam negeri. Faktanya, kemampuan penyerapan beras bulog atas hasil produksi nasional sangat rendah, yakni tidak lebih dari 10 persen. Artinya, tidak semua beras hasil produksi petani kita terserap oleh Bulog dan menjadi cadangan beras nasional. Jadi, sekalipun produksi petani kita mencukupi, tetapi impor tetap dilakukan. Bahkan, impor tetap dilakukan bersamaan dengan panen raya.

Pada kenyataannya, sejak menjadi antek WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), pemerintah Indonesia memang cenderung meliberalkan kebijakan impor pangannya. Sehubungan dengan itu, pemerintah tidak hanya dipaksa membuka pintu selebar-lebarnya bagi impor pangan, tetapi menghapuskan segala bentuk proteksi dan insentif bagi petani/produsen pangan lokal. Akibatnya, sektor pertanian kita pun mengalami kehancuran. Inilah yang membuat produksi pangan kita terus jatuh.

Dampak merugikan dari impor pangan sebetulnya sudah terasa. Muncullah kebijakan pengetatan impor pangan. Lahirlah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, yang menetapkan 57 jenis buah dan sayur masuk pengetatan impor. Belakangan, AS menggugat kebijakan pengetatan impor itu melalui WTO. Maklum, Indonesia menjadi anggota WTO. Karena tekanan itu, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengeluarkan Permendag baru, yakni Permendag nomor 16 tahun 2013, yang mengeluarkan 18 produk buah dan sayur dari kebijakan pengetatan impor.

Ketergantungan terhadap impor pangan ini sangat merugikan. Pertama, Produksi pangan lokal, yang tidak ditopang oleh modal dan teknologi, tergilas oleh pangan impor. Hasil usaha bertani tak lagi sanggup menopang ekonomi petani. Yang paling ironis, sebanyak 60 persen penerima beras miskin (raskin) di seluruh Indonesia adalah dari kalangan petani. Kedua, ketergantungan terhadap impor menggerus devisa negara. Konon, kebijakan impor pangan menggerus cadangan devisa nasional sebesar 112,2 miliar USD. Ketiga, Indonesia bergantung pada produk pangan impor:  impor gandum (100 persen), kedelai (78 persen), susu (72), gula (54), daging sapi, (18), dan bawang putih (95).

Pada tahun 1952, saat peletakan pertama Gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (kelak menjadi Institut Pertanian Bogor), Bung Karno berpesan bahwa soal pangan adalah soal hidup dan matinya sebuah bangsa. “Politik bebas, prinstop, keamanan, masyarakat adil dan makmur ‘mens sana in corpores sano’, semua itu menjadi omong-kosong belaka, selama kita kekurangan bahan makanan, selama kita minta tolong beli beras dari negara-negara tetangga,” kata Bung Karno.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid