Ada yang istimewa di ulang tahun ke-200 Karl Marx tanggal 5 Mei 2018. Pemerintah kota Trier, Jerman, menerima hadiah patung dari pemerintah China. Patung perunggu setinggi lebih dari lima meter itu ditempatkan di pusat kota kelahiran sang filusuf yang pemikirannya sempat menginspirasi lebih dari separuh jumlah manusia penghuni bumi. Sebuah upacara peresmian diadakan pemerintahan setempat dan dihadiri oleh ribuan warga kota.
Kehadiran patung ini sempat menimbulkan kontroversi, terutama karena penolakan dari kelompok sayap kanan. Bagi mereka, ada dua masalah besar; pertama, figur patung tersebut adalah tokoh utama pencetus gagasan komunisme, gagasan Kiri ilmiah yang menjadi lawan abadi mereka. Kedua, patung tersebut pemberian pemerintah China, sebuah pemerintahan Partai Komunis di negara yang sedang melesat menjadi kekuatan ekonomi terpenting di dunia.
Lewat perdebatan selama beberapa bulan akhirnya Dewan Kota melakukan pemungutan suara dengan hasil 42 suara menerima dan 7 suara menolak hadiah itu. Selimut merah penutup diturunkan dari patung karya seniman Wu Weishan yang turut menghadiri acara peresmian. Tepuk tangan meriah dari sekitar 200 undangan mengiringinya. Sementara ratusan anggota Partai Komunis dan Partai Kiri Jerman (Die Linke) yang turut hadir di sekitar tempat acara melantangkan slogan solidaritas internasional sambil mengibarkan panji-panjinya.
Meskipun demikian, kedatangan patung Marx ini tidak semata-mata mengandung muatan ideologi politik. Bagi sebagian masyarakat kota Trier sendiri, hal ini lebih didorong oleh motif ekonomi. Betapa tidak, kota berpenduduk sekitar seratus ribu jiwa ini menjadi destinasi wisata bagi sekitar empat puluh ribu orang setiap tahun. Seperempat di antaranya, atau sekitar sepuluh ribu wisatawan, datang dari China. Mereka berniat mengunjungi kota kelahiran sang filusuf, membeli cokelat, wine, dan cenderamata lainnya dengan gambar pria berjanggut lebat itu.
Sementara, satu hari sebelum peresmian patung itu, sebuah peringatan besar 200 tahun kelahiran Karl Marx diadakan pemerintah China. Orang terkuat di China, Xi Jinping, menyampaikan pidato berdurasi lebih dari satu jam dalam rapat akbar di Balai Besar Rakyat China untuk mengenang Marx. Bukan saja gagasannya yang diangkat oleh Xi tapi juga sosok pribadinya; Marx sebagai pejuang kemanusiaan, Marx yang berdedikasi penuh untuk pembebasan umat manusia. Xi menyebut Karl Marx sebagai pemikir terbesar di era modern, dan menyatakan peran sentral marxisme sebagai fondasi bagi lompatan besar China, dari negara sakit-sakitan menjadi negara yang kuat. “Hanya sosialisme yang dapat menyelamatkan China,” ujarnya.
Pujian ini mungkin wajar, mengingat Partai yang dipimpin Xi berdiri di atas pemikiran Marx. Tapi juga bisa dinilai luar biasa, karena dalam ribuan tahun sejarah China, sangat jarang seorang pemikir asing (Barat) mendapat tempat yang begitu istimewa dalam khazanah kebangsaannya. Apalagi China dianggap mulai meninggalkan marxisme dan bertransformsi menjadi negara kapitalis. Bahkan ketika Amerika Serikat, yang sebelumnya merupakan kampiun liberalisasi, mulai menerapkan proteksionisme, China tetap berdiri di depan dengan liberalisasi ekonominya. Perusahaan-perusahaan raksasa dari berbagai negara diterima di negara itu. Sebaliknya, komoditi dan modal dari China juga membanjiri pasar dunia.
Fakta sporadis ini oleh banyak pihak ditempatkan sebagai pasak-pasak keraguan atas ke-marxis-an negara China. Apakah Partai Komunis China masih benar-benar menggunakan marxisme sebagai panduannya?
Telah banyak pendapat dan perdebatan perihal karakter negara China saat ini. Salah satu yang menarik adalah pendapat pengusaha dan pakar politik China, Eric Xun Li, pendukung sistem yang berlaku di China. Li mengatakan China menerapkan ekonomi pasar, tapi bukanlah negara kapitalis. Di China tidak ada satu atau segelintir miliarder yang mengendalikan pemerintahan (politik) sebagaimana yang terjadi di negara-negara kapitalis. Mayoritas pimpinan Partai tetap dipegang oleh orang-orang biasa, dari latar belakang buruh, petani dan intelektual. Sementara keanggotaan Partai dari kalangan pengusaha juga tidak signifikan sejak resmi diakomodir di tahun 2001. Artinya, kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi, politik dan budaya, bukan dikendalikan oleh kepentingan segelintir pemilik modal; sekali lagi, sebagaimana yang terjadi di negara-negara kapitalis.
Lantas, apakah menerapkan ekonomi pasar berarti bertentangan dengan pemikiran Marx? Bukankah karya besarnya “Das Kapital” Marx lebih banyak membedah kapitalisme ketimbang bicara alternatifnya sosialisme atau komunisme? Setidaknya melalui panduan marxisme seseorang dapat memahami dunia kapitalisme yang kita alami sekarang secara lebih jernih. Karena, sebagaimana diakui banyak ahli, belum ada pembedahan atas kapitalisme yang sedemikian rigit dan mendalam sebagaimana yang dilakukan Karl Marx. Dengan kata lain, bila ingin memahami kapitalisme dengan segala seluk-beluknya, pelajarilah marxisme! Tanpa itu kita hanya akan terus meraba-raba pada gejala yang ditimbulkannya.
Kota Trier telah menyambut salah satu putera terbaik yang pernah dilahirkannya, meski dalam wujud simbolik sebuah patung. Ada beragam motif atas penerimaan warganya, baik alasan ideologi politik, ekonomi wisata, atau dianggap sebagai penghargaan yang wajar atas pemikiran besarnya. Sekian motif itu mendorong satu sikap positif (keterbukaan) yang sama.
Indonesia dapat mengambil pelajaran dari kejadian ini, setidaknya dengan pertanyaan: Apakah Karl Marx dan pemikirannya dapat disikapi secara lebih bijaksana dan ilmiah oleh penguasa republik ini ketimbang terus mengibliskannya secara membabibuta? Bila pun (penguasa) tidak menginginkan sosialisme, atau sekedar ingin membangun kapitalisme Indonesia yang kuat dan modern dengan melihat perkembangan China sebagai contoh kasusnya, maka Marx perlu dipanggail kembali.
Dominggus Oktavianus
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid