Kebohongan Presiden

Pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan para pemuka agama pada Senin lalu (17/1) menunjukan kegegabahan pemerintah dalam menyikapi kritik. Gelombang gugatan yang menyatakan bahwa SBY telah membohongi rakyat mengalir semakin deras seiring semakin bertolak belakangnya kenyataan di lapangan dengan klaim-klaim keberhasilan pemerintah. Salah satu kritik menohok datang pada minggu lalu dari sejumlah pemuka agama dan aktivis yang mengumumkan pernyataan tentang 18 kebohongan SBY.

Kalangan pemuka agama mengangkat sembilan kebohongan SBY yang menunjukan jurang dan kontradiksi antara janji dan kebijakan pemerintah yang sesungguhnya. Pemerintah SBY telah memanipulasi angka kemiskinan; lepas tangan dan menyerahkan upaya pemenuhan kebutuhan rakyat kepada pasar; tidak membangun ketahanan energi;, merekayasa ancaman terorisme; tak melakukan penegakan HAM; tak menambah anggaran pendidikan; serta tidak menuntaskan kasus Lapindo, Newmont, dan Freeport. Sementara kalangan aktivis menegaskan sembilan kebohongan SBY; antara lain terkait kebebasan beragama, kebebasan pers, perlindungan TKI, serta transparansi serta pemberantasan korupsi.

Kritik pedas ini merupakan latar belakang digelarnya pertemuan antara Presiden dengan para pemuka agama pada awal minggu ini. Yang memprihatinkan, pertemuan ini tidak dilandasi oleh niat baik pemerintah untuk benar-benar mendengar kritik mereka. Hal ini terlihat dari keputusan pemerintah untuk melangsungkan pertemuan secara tertutup. Wartawan hanya diperkenankan meliput pembukaan yang tentunya lebih banyak didominasi oleh sang tuan rumah. Lebih dari itu Presiden SBY repot-repot mengklarifikasi bahwa inisiatif pertemuan itu bukan berasal dari dirinya, padahal menurut pengakuan beberapa pemuka agama, pihak pemerintah telah berkali-kali mengundang mereka. Sikap angkuh ini tentunya menimbulkan kekecewaan mendalam bukan saja di antara para pemuka agama, tapi juga khalayak umum.

Langkah keprihatinan di atas perlu disambut secara positif karena itu menurut kami mewakili aspirasi masyarakat secara umum. Keberanian tokoh masyarakat dan pemuka agama dalam mengatakan apa yang sebenarnya dan mengungkapkan kebohongan pemerintah bagaikan suatu oasis di tengah prahara politik. Namun sudah terlalu sering di masa paska-reformasi ini, keberanian bersuara kritis dijadikan modal politik segelintir aktor untuk mencapai kedudukan. Ketika ini yang terjadi, kasus demi kasus yang diharapkan penuntasannya kemudian mengalami anti-klimaks yang mengecewakan. Oasis yang menjadi harapan pun ternyata menguap jadi fatamorgana.
Agar aspirasi masyarakat tidak lagi dimentahkan oleh segelintir tokoh politik, maka kaum oposisi harus waspada terhadap upaya pecah belah yang telah sering melunturkan desakan politik yang signifikan. Bila kebohongan telah diungkap, menjadi kewajiban mereka yang berhati nurani untuk menghentikan kebohongan itu sepenuh daya dan upayanya.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid