Jejak Perlawanan Bandit Makassar

“Bagi mereka yang bekerjasama dengan Belanda karaeng, ikut pihak Belanda yang tidak menjaga sirik (siri) sesama manusia, berarti jahat, maka akan kurampas harta bendanya, kurobohkan mesjidnya, kuhancurkan langgarnya, kuterjang pondoknya. Sebab tiada maksudku mendapat pujian dari Raja, memberi makan keluargaku dengan sepiring. Tak ingin aku dinilai dengan sepiring nasi”. (Sinrilik, I Tolok Daeng Magassing)

Kalau di Eropa ada Robin Hood, di Indonesia juga memiliki banyak tokoh yang punya kisah heroik dalam berjuang menentang penjajah. Salah satunya adalah I Tolok Daeng Magassing, anak petani dari tanah Makassar yang tumbuh dewasa saat kerajaan Gowa sudah takluk pada Belanda. Dia menyaksikan sendiri bagaimana buruknya perlakuan penjajah pada rakyat di negerinya.  Laut yang indah, daratan yang hijau dengan pepohonan rindang berjajar rapi, serta tanah yang subur tidak lagi mampu menyenangkan hati rakyat. Daerah yang dulunya menghasilkan bahan pangan dan beras yang melimpah, tidak lagi bisa memakmurkan rakyat. Hancur bentengnya, hancur perekonomian rakyatnya, dirusak adat dan budayanya. Pemerintah Hindia Belanda memungut pajak dari hasil panen rakyat, perdagangan diawasi dan dilarang selain dengan Belanda. Pelabuhan yang biasanya ramai dengan kapal-kapal pedagang dari berbagai negara, tidak terlihat lagi.

Berbekal pengetahuan silat yang di peroleh dari ayahnya, dengan gagah berani, dia bangkit mengobarkan perlawanan pada Belanda dengan cara merampok pos-pos Belanda, rumah pejabat yang bekerjasama dengan Belanda, dan menyerang iring-iringan patroli pasukan Belanda. Hasil rampokannya kemudian dibagikan pada masyarakat miskin dan sisanya digunakan untuk kebutuhan selama bergerilya di hutan. Ini dilakukan  saat sebagian bangsawan sudah hampir kehilangan keberanian dan semangatnya untuk melawan pemerintah Hindia Belanda di Kerajaan Gowa.

I Tolok berasal dari golongan masyarakat biasa. Dia adalah  anak seorang petani miskin dari Kampung Parapa (perbatasan  Desa Tinggimae Gowa dan Desa Pakkaba Takalar). Sebagai anak petani,  masa kecil I Tolok dilalui dengan membantu ayahnya bertani di sawah dan mengembala kerbau. Sejak kecil, I Tolok memang terkenal berani. Ayahnya,  I Kade, seorang  jago silat di kampungnya, mewariskan  ilmu  bela diri  kepada anak-anaknya. Karena sosoknya yang berani itu, sehingga ayahnya memberi nama I Tolok.

Awal kemunculan I Tolok

Laporan N.H.A Swart menyebutkan, perampokan  bersenjata yang terjadi dalam wilayah onder afdeeling Gowa, wilayah bekas kerajaan Gowa telah terjadi sejak tahun 1906. Meskipun ada kelompok perampok  yang menggunakan senjata  api, tidak ada kecurigaan dari pihak Belanda bahwa tindakan itu adalah protes pada pemerintah Hindia Belanda. Karena itu, Gubernur Swart menyatakan bahwa tindakan-tindakan  pencurian dan perampokan itu hanyalah merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Memang pada waktu itu terjadi krisis dan kemiskinan yang makin meluas.

Setelah meletus perang dunia pertama di Eropa pada tahun 1914, terjadi penarikan 2 kompi pasukan Belanda dari Makassar ke Batavia. Ini dilakukan karena Belanda takut perang menjalar sampai ke daerah koloninya. Setelah pengiriman pasukan militer Belanda, jumlah perampokan di daerah Polongbangkeng dan Gowa Selatan semakin meningkat. Ini membuat pemerintah kolonial memberikan perhatian serius, apalagi nama I Tolok sebagai pemimpin kelompok perampok semakin sering disebut.  Kegiatan I Tolok, dilakukan di sekitar Gunung Lompobattang, daerah perbatasan antara bagian Makassar dan Bonthain. Tempat ini dipilih karena di sana mereka mendapat dukungan dan bantuan dari sebagian masyarakat.

Jumlah perampokan terus meningkat, yang jadi sasaran adalah pos-pos pajak pemerintah dan pejabat bumiputra yang bekerjasama dengan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mulai berpikir dan menaruh curiga, kalau itu bukan tindakan kriminal biasa. Pemerintah Hindia Belanda  melakukan penyelidikan. Hasilnya mereka simpulkan bahwa gerakan tersebut bukan hanya tindakan bandit biasa, tetapi suatu gerakan politik yang bertujuan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Nama I Tolok mulai mendapat perhatian serius.

Membangun kekuatan dan meningkatkan serangan

Terbunuhnya salah seorang bangsawan tinggi Gowa – Wajo, I Macang Daeng Barani oleh pasukan Belanda membuat dukungan beberapa bangsawan mengalir pada kelompok yang dipimpin I Tolok. Apalagi setelah bergabungnya dua orang pejuang dari Kerajaan Bajeng,  I Basareng dan I Rajamang. Bukan hanya kekuatan yang bertambah, tapi Trio pendekar ini sepakat untuk  meningkatkan serangan. Mereka berencana melakukan sabotase dengan jalan memasang dinamit pada jalur kereta Belanda yang mengangkut barang dan hasil bumi dari Takalar menuju kota Makassar. Dinamit hasil rampasan dari tentara Belanda ini dipasang pada  rel kereta di daerah Kalokko Boka. Ketika  kereta  menginjak dinamit langsung meledak dan kereta pun terbalik. Beberapa tentara Belanda yang ada dalamnya terluka, bahkan ada yang mati. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh  I Tolok untuk menyerang musuh yang sudah tak berdaya serta merampas harta dan senjatanya.

Akibat peristiwa itu Gubernur Jenderal Belanda di Celebes naik pitam. Ia mengeluarkan ultimatum untuk menangkap I Tolok dan kawan-awannya hidup atau mati. Disebar berita ke rakyat, barang siapa yang berhasil menangkap I Tolok, akan mendapatkan hadiah. Tapi ajakan Belanda disambut sinis. Rakyat malah mendukung perjuangan  I Tolok. Tak berhasil mempengaruhi rakyat, Belanda kemudian mencap I Tolok sebagai penjahat yang sangat berbahaya.

Pasukan I Tolok setiap saat bertambah, dan terus melakukan penghadangan terhadap pasukan Belanda di berbagai lokasi. Tindakan  I Tolok tersebut  membuat pasukan Belanda  kebingungan sebab untuk menangkapnya sangat susah. Ia sangat lincah  dan begitu cepat menghilang dalam setiap penyergapan. Ini karena I Tolok dan kawan-kawannya  jauh lebih menguasai medan dalam hutan  dibanding  tentara Belanda.

Penghianatan dan akhir sebuah petualangan

Langkah awal yang yang dilakukan Belanda untuk menumpas gerakan I Tolok adalah dengan meningkatkan pengawasan dan penjagaan keamanan.  Belanda juga menyebarkan mata-mata untuk mencari tahu tentang keberadaan kelompok I Tolok dan orang-orang yang bekerjasama dengannya.  Selain itu, Belanda menggunakan kekuasaan para pejabat bumiputera. Walaupun usaha ini tidak langsung menghentikan gerakan I Tolok, tetapi cukup efektif melemahkan kekuatan I Tolok.

Karena belum juga tertangkap, Belanda mulai menekan para bangsawan Gowa untuk ikut serta menghentikan dan menangkap I Tolok. Apabila gagal maka mereka yang akan ditangkap Belanda. Beberapa bangsawan yang dianggap menolak bekerjasama atau dicurigai bekerjasama dengan I Tolok ditangkapi dan ada yang diasingkan. Di antaranya adalah Karaeng Manjapai dan Karaeng Batupute. Ini membuat bangsawan lain mulai serius mengerakkan pengikutnya untuk mengejar dan mempengaruhi anggota kelompok I Tolok agar mau membocorkan tempat persembunyiannya. Berbagai macam cara terus dilakukan Belanda untuk  menangkap I Tolok, termasuk meminta penambahan pasukan dari Jawa.

Pada tanggal 23 juli 1915 delapan kompi pasukan militer bantuan dari Jawa tiba di Makassar. Belanda langsung mempertontonkan kekuatan militer sampai ke daerah-daerah. Kegiatan ini sengaja dilakukan agar rakyat semakin takut dan patuh pada mereka.

Pasukan patroli Belanda akhirnya berhasil menangkap I Tolok  bersama kedua  rekannya, yakni I Basareng dan I Rajamang  di  tempat persembunyiannya di sebuah kawasan hutan. Keberhasilan ini karena penghianatan oleh dua anak buah I Tolok, yaitu I Camanggo dari Sela (Polongbangkeng) dan I Sanre ri Bontonompo, yang membocorkan tempat persembunyian I Tolok dan kelompoknya. Walaupun saat itu I Tolok dan kawan-kawannya melakukan  perlawanan, tetapi sia-sia saja, karena jumlah pasukan Belanda jauh lebih banyak dan mereka sudah terkepung. Tak ada pilihan lain bagi I Tolok dan kelompoknya kecuali menyerah. Ia  merelakan dirinya ditangkap kemudian digiring ke tangsi Belanda yang ada di Limbung. Pasukan Belanda kemudian menyebar isu, bahwa  I Tolok tak lebih dari seorang penjahat  yang selama ini sangat meresahkan masyarakat. Tujuannya untuk menanamkan kebencian masyarakat pada I Tolok.

Walau Belanda terus melakukan provokasi ke masyarakat, namun sebagian besar masyarakat Gowa tetap tidak percaya. Malah mereka menganggap  I Tolok Dg Magassing adalah pahlawan bagi mereka, karena berani melawan Belanda, dan membela rakyat kecil. Merasa provokasinya tak dihiraukan, mereka lalu menembak mati  I Tolo Daeng Magassing bersama I Basareng dan I Rajamang. Ketiganya mati di depan regu tembak Belanda. Setelah tewas, Belanda mengarak jasad mereka keliling kampung untuk diperlihatkan kepada masyarakat, menyampaikan bahwa ketiga orang itu adalah penjahat, dan siapapun yang mencoba melawan Belanda akan mengalami nasib yang sama.

Jasad I Tolok Daeng Magassing kemudian diserahkan pada keluarga untuk dikuburkan di kampung halamannya. Keberanian dan sikapnya yang teguh menolak tunduk pada penjajah membuat namanya terus hidup hingga hari ini. Salah satunya bisa kita temukan pada masyarakat Makassar  saat mereka menonton film laga, jagoan atau pemeran utama yang menumpas kejahatan, mereka  sebut dengan  gelar  “Tolok na”. 

Anshar Manrulu, SEaktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sulawesi Selatan dan peminat sejarah.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid