Hak pilih bagi perempuan, yang dinikmati oleh kaum perempuan di berbagai belahan dunia saat ini, merupakan buah dari perjuangan panjang dan penuh pengorbanan.
Seperti perjuangan politik di manapun di atas muka bumi ini, perjuangan hak politik perempuan juga mendapat represi, penjara, pengasingan sosial, hingga pembunuhan.
Namun, sejarah juga memberi tahu kita bahwa tak satu pun kekuatan di dunia ini, sekalipun dibentengi dengan aparatus paling represif, yang bisa mencegah berhembusnya angin perubahan. Bahkan negara monarki seperti Kerajaan Arab Saudi sedang goyah diterpa angin perubahan.
Nah, beberapa kisah perjuangan perempuan untuk hak pilih sudah diangkat ke layar kaca. Ini ada 5 diantaranya:
#1 Suffragette (2015)
Film ini merekam perjuangan perempuan untuk hak pilih di Inggris pada awal abad ke-20. Yang menarik, protagonis gerakan hak pilih perempuan di film ini adalah perempuan lapisan bawah, yakni kelas pekerja.
Tokoh utamanya, Maud Watts (Carey Mulligan), seorang pekerja di perusahaan laundry, ikut terseret dalam arus gerakan suffragette, sebuah organisasi perempuan di abad ke-19 dan 20 yang memperjuangkan hak pilih perempuan.
Film ini juga menghadirkan tokoh pemimpin gerakan suffragette, Emmeline Pankhurst (Meryl Streep’s). Juga menampilkan organisasi perempuan, Women’s Social and Political Union (WPSU), yang membuka tangan bagi perempuan pekerja.
Dalam memperjuangkan hak pilih, suffragette kadang menempuh jalan kekerasan, seperti melempari toko-toko, mensabotase jaringan komunikasi, membakar rumah pejabat dan lain sebagainya. Aksi tersebut dilakukan agar suara mereka didengar oleh kekuasaan.
Bahkan, karena tetap juga diabaikan, salah seorang aktivis suffragette, Emily Wilding Davison, menempuh jalan berbahaya: berlari ke tengah arena pacuan kuda untuk menarik perhatian Raja George V. Namun, aksi itulah yang membuat Emily menemui ajalnya: ia tergilas oleh kuda sang raja.
#2 Iron Jawed Angels (2004)
Iron Jawed Angels (2004), karya sutradara Jerman Katja von Garnier, berkisah tentang perjuangan perempuan untuk mendapat hak pilih di Amerika Serikat.
Film ini mengisahkan seorang aktivis muda suffragette, Alice Paul (Hilary Swank), dalam memperjuangkan hak pilih perempuan dalam Konstitusi Amerika Serikat.
Yang menarik, gerakan hak pilih di AS saat itu terpolarisasi dalam dua kutub: kaum muda yang progressif dan kaum tua yang konservatif. Alice dan kawannya, Lucy Burns (Frances O’Connor), mewakili barisan kaum muda. Sementara kaum tua diwakili oleh Carrie Chapman Catt (Anjelica Huston) dan Anna Howard Shaw (Lois Smith), yang merupakan pendiri dari NAWSA (National American Woman Suffragette Association).
Alice dan Lucy, yang terinspirasi oleh suffragette Inggris, menggunakan jalan yang militan untuk memperjuangkan hak pilih perempuan, seperti aksi demonstrasi, mogok makan, hingga aksi piket di depan Gedung Putih.
Sementara kaum tua, yang notabene istri-istri pejabat, menggunakan metode lobby politik untuk mendorong perubahan gradual terhadap hak-hak perempuan.
Perbedaan taktik antara suffragette tua dan muda ini berujung pada perpecahan. Alice dan kawan-kawan mudanya mendirikan organisasi baru, Partai Nasional Perempuan (NWP).
Untuk menarik perhatian Presiden AS saat itu, Woodrow Wilson, Alice rutin menggelar aksi di depan Gedung Putih. Hingga, pada suatu hari, Alice ditangkap. Di penjara, dia mendapat siksaan luar biasa. Sebagai bentuk protes atas siksaan itu, ia menggelar aksi mogok makan.
Aksi mogok makan Alice di penjara diketahui oleh dunia luar, setelah seorang sipir perempuan bersimpati padanya dan menyelundupkan surat-suratnya. Akhirnya, banyak politisi laki-laki, termasuk Presiden Wilson, bersimpati dengan perjuangan perempuan.
Perjuangan itu berbuah hasil. Kongres AS menyetujui amandemen ke-19 Konstitusi AS yang memungkinkan hak pilih bagi perempuan.
#3 The Divine Order (2017)
The Divine Order (2017), karya Petra Biondina Volpe, berkisah tentang perjuangan perempuan untuk hak pilih di Swiss. Bayangkan, hingga 1970, perempuan Swiss belum punya hak pilih.
Saat itu Swiss masih sangat konservatif. Kebanyakan perempuan masih puas dengan tugasnya sebagai petugas domestik: memasak, mencuci pakaian, mengurus anak, melayani suami, dan lain-lain
Termasuk tokoh utama film ini, Nora (Marie Leuenberger), seorang perempuan desa, yang masih terkungkung oleh tradisi patriarki. Awalnya, ibu dua anak ini sama sekali tidak peduli dengan isu gerakan perempuan.
Hingga suatu hari, keinginannya untuk bekerja ditolak oleh suami. Sang suami, seorang tentara yang berpikiran konservatif, menyebut keputusan-keputusannya sebagai kepala rumah tangga sebagai hukum yang tak boleh dibantah.
Suatu hari lagi, Nora berjalan-jalan ke kota Zurich dan berpapasan dengan aksi perempuan di sana. Seorang pengunjuk rasanya mengajaknya berjuang, tetapi dia menjawab: “..tapi saya tidak butuh dibebaskan.”
Meski begitu, dia menerima selebaran dan sebuah famplet dari kelompok aktivis itu. Bacaan-bacaan itu membuka pelan-pelan kesadarannya, bahwa apa yang dirasakannya sangat terkait tidak adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan, termasuk kesetaraan politik.
“Laki-laki membuat Undang-Undang, tetapi dampaknya kami yang merasakan,” kata dia dalam sebuah pertemuan.
Sejak itulah Nora terlibat dalam gerakan hak pilih. Seiritng dengan itu, Nora juga mulai merebut kemerdekaan atas tubuhnya, dari memotong rambut sesuai keinginannya hingga mendatangi klub malam.
Singkat cerita, kendati perjuangan hak pilih perempuan dianggap melawan “perintah ilahi” (the diving order), perempuan Swiss akhirnya mendapat hak pilih dalam pemilu Federal di tahun 1971.
#4 Made in Dagenham (2010)
Terinspirasi oleh keberhasilan gerakan perempuan yang menuntut hak pilih, para perempuan di pabrik mobil ford di Dagenham, London, Inggris, melakukan pemogokan. Mereka menuntut kesetaraan upah.
Untuk diketahui, dari 50.000 pekerja Ford di Dagenham, 187 diantaranya adalah perempuan. Mereka bekerja sebagai teknisi jahit, dengan kondisi kerja yang buruk. Ditambah lagi, upah yang mereka dapatkah lebih rendah dari laki-laki.
Memisahkan seorang pekerja perempuan, Rita O’Grady (Sally Hawkins), yang memimpin kawan-kawannya menuntut kesetaraan upah. Spanduk mereka bertuliskan: Kami menuntut kesetaraan gender.
Awalnya pemogokan digelar di pabrik, tetapi lama kemudian dibawa ke Westminster, tempat gedung parlemen dan Istana Buckingham berada.
Yang menarik, seperti digambar di film ini, meski para perempuan ini tergabung dalam serikat buruh, yakni Serikat Buruh Nasional Pembuat Kendaraan (NUVB), tetapi tidak langsung mendukung perjuangan perempuan untuk kesetaraan upah.
Singkat cerita, setelah melalui perjuangan heroik selama berminggu-minggu, Menteri Perburuhan Inggris yang kebetulan seorang perempuan, Barbara Castle, merespon tuntutan buruh perempuan pabrik Ford. Barbara mendukung perjuangan mereka.
Akhirnya, buruh perempuan pabrik Ford mendapat kenaikan gaji 92 persen dari yang diterima laki-laki. Tidak hanya itu, perjuangan buruh perempuan ini mendorong Inggris mengeluarkan Undang-Undang Kesetaraan Upah tahun 1970.
#5 Selma (2015)
Meskipun Selma (2015) mengangkat kisah Martin Luther King Jr, yang memimpin perjuangan hak-hak sipil di Amerika Serikat di tahun 1960-an, tetapi tidak menafikan peran perempuan.
Dalam film ini, sosok perempuan seperti Coretta Scott King, Amelia Boynton, Annie Lee Cooper, Diane Nash, atau Richie Jackson, cukup ditonjolkan dalam gerakan tersebut. Tidak sekedar sebagai penyorak pada suami mereka, tetapi juga pelaku dan pemimpin gerakan itu.
“Yang tak terbantahkan, perempuan menjadi tulang-punggung dari gerakan hak-hak sipil ini. Di balik setiap laki-laki di sini, ada seorang perempuan,” kata presenter Oprah Winfrey yang memerankan Lee Cooper di film ini.
Tentu saja, salah satu aspek yang diperjuangkan oleh gerakan hak sipil adalah kesetaraan politik, termasuk untuk perempuan.
Rini Hartono
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid