Indonesia Sedang Mengalami Penjajahan Kembali

Masa berkuasanya rejim Soeharto menandai proses penjajahan kembali (rekolonialisme) di Indonesia, dan itu semakin terang dan kentara dalam sepuluh tahun terakhir pasca reformasi tahun 1998.

Dengan tidak menghilangkan kontribusi dan arti penting perjuangan mahasiswa dan rakyat dalam menggulingkan rejim Soeharto, tetapi kenyataan sekarang ini menunjukkan pendalaman krisis dan keterpurukan bangsa.

Pernyataan di atas tersampaikan saat diskusi bedah manifesto politik PRD di RM. Nusantara, Jl. Udayana, Mataram (25/10). Hadir dalam diskusi ini, antara lain, Ketua Umum PRD Agus Jabo Priyono, Pengurus DPD Hanura NTB Burhanuddin, Ketua DPD Gerindra NTB Sori Hanafi, dan aktivis gerakan rakyat dari berbagai organisasi.

Ketua Umum PRD Agus Jabo Priyono menandai tercerabutnya dasar-dasar bernegara, seperti UUD 1945 dan Pancasila, yang di masa Bung Karno sangatlah anti-kolonial, dan sekarang digantikan dengan sejumlah perundangan yang pro-neoliberal.

Ciri-ciri imperialisme seperti pernah disinggung Bung Karno dalam pidato “Indonesia Menggugat”, tahun 1930-an, kini sudah semakin nyata dalam kehidupan ekonomi dan politik pemerintahan SBY-Budiono, katanya.

“Neoliberalisme hanya menjadikan Indonesia sebagai penyedia bahan baku, tenaga kerja murah, tempat menanamkan investasi, dan pasar bagi produk industri mereka,” kata Agus Jabo.

Akibatnya, menurut Agus Jabo, sebagian besar perekonomian nasional dikuasai atau didominasi oleh asing, seperti tambang minyak dan gas, telekomunikasi, perbankan, sektor jasa, ritel, industry, dan pertanian.

Pernyatan Jabo diamini oleh pengurus DPD Partai Hanura NTB Burhanuddin, dimana, menurutnya, hampir 80% kehidupan bangsa kita sudah dikuasai oleh pihak asing.

Kehancuran itu sudah merontokkan sebagian besar pasar tradisional kita, kata Burhanuddin.

Sementara Ketua DPD gerindra NTB Mori Hanafi menggaris bawahi kebijakan anggaran, khususnya di NTB, yang tidak pernah memihak kepada pemberdayaan ekonomi rakyat.

“Ini juga tercermin di APBN kita, dimana sebagian besarnya dipakai untuk membayar utang luar negeri,” kata Mori.

Inilah praktek neoliberalisme yang, menurut mori Hanafi, menjadi kiblat utama pemerintahan SBY-Budiono dan semua aparatusnya di daerah.

Membangun gerakan bersama

Meskipun neoliberalisme terlihat sangat kuat, tetapi semua pembicara tetap menyakinkan pentingnya perlawanan.

“Kami berharap, PRD segera masuk ke dalam parlemen, sehingga kami punya sekutu dalam menentang neoliberal,” ujar Mori Hanafie dari gerindra.

Dengan kondisi bangsa yang kian terpuruk, dimana segelintir orang kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin, Mori berharap PRD bisa membangun gerakan yang lebih radikal lagi.

Sementara Burhanuddin, yang berasal dari Hanura, menandaskan pentingnya perjuangan untuk kemandirian bangsa.

“Hanura akan memperjuangkan kemandirian bangsa. Maka, kita bisa membangun persatuan, kalau kita sepakat itu,” katanya.

Burhanuddin mengharapkan ada kesatuan gerak dan fokus serangan antara gerakan ekstra-parlemen dengan di dalam parlemen.

PRD yang mengandalkan ekstra-parlemen, menurut Burhanuddin, bisa menjadi sekutu penting oposisi di dalam parlemen.

Menyambut pendapat kedua pembicara, Ketua Umum PRD Agus Jabo menegaskan, bahwa politik PRD adalah melawan rejim neoliberal dengan menyatukan seluruh kekuatan-kekuatan di dalam negeri yang anti-neoliberal.

Manifesto kedua

Agus Jabo juga menjelaskan bahwa dokumen manifesto yang sedang didiskusikan merupakan manifesto kedua PRD.

Sebelumnya, pada tahun 1996, PRD pernah mengeluarkan manifesto untuk menjawab persoalan pokok rakyat Indonesia di bawah rejim Soeharto.

Dibuka dengan kata-kata yang sangat mengena dan tepat, “Tidak Ada Demokrasi Di Indonesia”, PRD berusaha menjelaskan kebutuhan untuk membuka ruang demokrasi di Indonesia, yaitu dengan memperjuangkan pencabutan 5 paket UU politik 1985 dan dan pencabutan Dwi Fungsi ABRI.

Dengan bekal manifesto itu, PRD menjadi partai terdepan dan paling gigih dalam menggulingkan rejim Soeharto, bersama dengan gerakan mahassiwa, gerakan buruh, gerakan petani, dan kaum miskin Indonesia.

Sekarang ini, kata Jabo, tantangannya adalah penjajahan ulang (rekolonialisme) dalam jubah bernama neoliberalisme.

Karena itu, katanya, PRD merumuskan manifesto baru untuk menjawab persoalan pokok rakyat Indonesia sekarang, yaitu neoliberalisme, dan perjuangan untuk mencapai sosialisme Indonesia. (Rh)

[post-views]