Geger di Natuna masih Sebatas “Nasionalisme Teritorial”

Geger di Natuna menyingkap satu hal: kita masih mewarisi keyakinan nasionalisme warisan Orde Baru. Saya menyebutnya: nasionalisme teritorial. Ini adalah cara pandang kebangsaan yang sibuk bicara keutuhan tanah alias teritori, tetapi abai dengan manusia dan kehidupan di atasnya.

Kapal-kapal berbendera Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang dikawal Coast Guard-nya, berlayar sambil menangkap ikan di bagian utara perairan Natuna.

Indonesia mengklaim, kapal RRT itu memasuki Zona Ekonomi Esklusif (ZEE) Indonesia. Artinya, RRT melanggar batas teritorial Indonesia. Karena itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) melayangkan protes keras ke RRT.

Besoknya, seolah tak mau kalah, RRT bikin konferensi pers juga. Intinya, mereka mengklaim perairan itu masih wilayah Tiongkok berdasarkan peta nine-dash line (NDL).

Geger. Di Indonesia, api nasionalisme terpantik. Makin dipanas-panasi oleh media-media Indonesia yang memang doyan mengumbar jurnalisme bombastis. Diberitakan, misalnya, kapal perang RI sudah bergerak ke Natuna. Malahan, ada media yang mulai hitung-hitungan kekuatan militer RI versus RRT.

Urusan sederhana, yang bisa ditempuh dengan jalur hukum internasional, kok mau perang?

Saya tanya kalian, hei nasionalis-nasionalis kesiangan, memang Indonesia siap perang? Dengan kondisi rakyatnya sedang terbelah karena politik elektoral. Dengan kondisi rakyatnya sedang memikul bertimbun-timbun kekecewaan terhadap pemerintah akibat situasi ekonomi yang memburuk.

Memang Indonesia siap berperang dengan kondisi ekonomi yang sedang morat-marit. Seberapa besar sumber daya kita untuk membiayai perang? Memang seberapa lama cadangan devisa kita bisa membiayai impor jika terjadi perang? Dan yang terpenting saudara-saudari: memangnya Indonesia sudah siap melepas ketergantungan ekonomi terhadap Cina?

Geger di Natuna menyingkap satu hal: kita masih mewarisi keyakinan nasionalisme warisan Orde Baru. Saya menyebutnya: nasionalisme teritorial. Ini adalah cara pandang kebangsaan yang sibuk bicara keutuhan tanah alias teritori, tetapi abai dengan manusia dan kehidupan di atasnya.

Padahal, ketika para pendiri bangsa menjahit dasar-dasar kebangsaan, yang dirajut pertama adalah manusianya, lewat penyatuh nasib, kehendak untuk bersatu, dan penyamaan cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.

Karena itu, gagasan nasionalisme Indonesia lahir jauh sebelum Indonesia dalam bentuk bentangan teritorial itu ada. Gagasan nasionalisme Indonesia sudah ada di permulaan abad ke-20, sedangkan Indonesia sebagai bentangan teritorial baru ada di tahun 1945.

Seperti yang saya bilang di atas, nasionalisme teritorial hanya sibuk bicara keutuhan wilayah, tetapi abai dengan kondisi dan nasib manusia di atasnya.

Maka jangan heran, di masa rezim Orde Baru, NKRI harga mati dikumandangkan dengan menindas setiap ekspresi pemisahan (separatis), tetapi nasib manusia Indonesia terinjak-injak oleh kebijakan negara. Demi melayani investasi, tanah rakyat dirampas, buruh diupah murah, hingga penggusuran paksa. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Rakyat tidak bebas berekspresi, berserikat, dan berpendapat. Hak azasi manusia dilanggar di mana-mana, dari Aceh hingga Papua.

Mereka, para penganut nasionalisme teritorial itu, sibuk mengumandangkan “NKRI harga mati”, lalu bersumpah tak akan membiarkan sejengkal pun tanah negeri ini dikuasai asing, tetapi membiarkan tanah-air-udara Indonesia dikavling-kavling oleh pihak asing atas nama investasi.

Persis itulah yang terjadi sekarang. Kita bicara kedaulatan sebagai harga mati di Natuna, tetapi kita mungkin tak sadar bahwa Negara ini tidak berdaulat secara politik, ekonomi dan budaya.

Apa iya politik Indonesia sudah berdaulat? Faktanya, hingga hari ini, ada begitu banyak regulasi di Indonesia tidak untuk melayani kepentingan nasionalnya, melainkan kepentingan asing.

Coba lihat berita CNN ini. Diberitakan, pemerintah AS menilai Indonesia terlalu mengekang investasi. Bentuknya, antara lain, bisa dilihat pada banyaknya usaha yang masuk daftar negatif investasi (DNI). Lalu baca berita Tempo.co ini. Sebagai responnya, pemerintah Indonesia akan menghapus konsep DNI per Januari 2020. Padahal, kebijakan DNI dibuat untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional.

Sekarang, pemerintah gencar-gencarnya melakukan deregulasi besar-besaran. Bahkan, agar proses makin simpel dan cepat, dirancang pemberlakuan UU sapu jagad alias Umnibus Law. Oke, kita memang punya banyak aturan yang tumpang-tindih dan terlalu birokratis. Tapi, deregulasi dan umnibus law  bukan untuk sekedar membabat itu, tetapi membuka jalan yang selebar-lebarnya bagi investasi.

Dulu, di tahun 2010-an, politisi PDIP Eva Sundari mengutip data dari Badan Intelijen Negara (BIN), bahwa ada 76 Undang-Undang di Indonesia yang draftnya dibuat oleh pihak asing.

Kita juga belum berdaulat di bidang ekonomi. Hampir semua lapangan ekonomi kita, dari hulu ke hilir, terdominasi oleh investasi asing. Sementara tulang punggung ekonomi kita, mulai dari BUMN, swasta nasional, koperasi, hingga usaha rakyat (UMKM), sedang porak-poranda akibat liberalisasi ekonomi ugal-ugalan.

Begitu juga di lapangan budaya. Persis seperti dikatakan Presiden Joko Widodo sendiri. “Infiltrasi budaya (asing) sudah masuk ke gang-gang kita,” kata Jokowi, seperti dikutip Kompas.com, Sabtu (12/8/2017). 

Harusnya, sebelum gembar-gembor soal kedaulatan, pastikan dulu kita sudah berdaulat dalam urusan perut. Faktanya sekarang, dalam urusan pangan, hampir semuanya kita impor. Padahal, Sukarno pernah mengingatkan: “Politik bebas, prinstop, keamanan, masyarakat adil dan makmur ‘mens sana in corpores sano’, semua itu menjadi omong-kosong belaka, selama kita kekurangan bahan makanan, selama kita minta tolong beli beras dari negara-negara tetangga.”

Dan puncak dari ironi nasionalisme teritorial itu adalah: ketika NKRI harga mati dikumandangkan, ada banyak rakyat Indonesia yang terjepit kemiskinan dan ketimpangan. Ada penindasan terhadap kemerdekaan berekspresi, berserikat dan menyatakan pendapat di muka umum.

Jutaan rakyat terhimpit kehidupannya oleh kenaikan biaya kesehatan, listrik, tol, dan cukai rokok. Jutaan buruh tertekan kehidupannya oleh upah murah dan kondisi kerja yang buruk dan tak pasti.

Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama 2015-2019 ada 55 orang tewas, 75 tertembak, 757 orang dianiaya, dan 1.298 orang dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya.

Ada banyak kasus pelanggaran HAM, yang terbentang dari Aceh hingga Papua. Ada banyak darah rakyat sendiri menetes akibat pendekatan kekerasan Negara atas nama NKRI harga mati.

Lalu, sebagai bangsa, kita sedang terbelah ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi yang sangat parah. Laporan Bank Dunia menyebut, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh 20 persen penduduk Indonesia terkaya. Indeks Gini, yang mengukur ketimpangan pendapatan, meningkat dari tajam dari 0,29 di tahun 1990-an menjadi 0,41 di tahun 2015.

Padahal, nasionalisme Indonesia lahir dan diperjuangkan karena adanya penerimaan akan kesamaan nasib dan kesediaan memperjuangkan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur.

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid