Debtocracy, Menyingkap Kejahatan Kapitalisme Dalam Krisis Hutang

Pada tahun 1997, ketika Indonesia jatuh dalam krisis ekonomi yang hebat, IMF datang menawarkan bantuan. Anehnya, setiap bantuan itu disertai syarat-syarat yang mesti dijalankan oleh pemerintahan nasional. Lebih parah lagi, campur tangan IMF justru membuat utang Indonesia membengkak dua kali lipat.

Lalu pada tahun 1998, seusai Soeharto lengser dari kekuasaan, IMF menyarankan agar pemerintah mengubah utang swasta menjadi utang publik. Sejak itu, APBN Indonesia seperti tersandera oleh utang luar negeri. Bahkan sebagian besar anggaran APBN dipakai untuk membayar utang.

Situasi itu mirip sekali dengan cerita yang diangkat oleh Aris Chatzistefanou dan Katerina Kitidi dalam film dokumenter berjudul “Debtocracy”. Film berdurasi 1 jam 14 menit ini menyingkap secara telanjang penyebab terjadinya krisis utang di Yunani. Di jelaskan pula, dengan pendekatan historis dan analitik, bagaimana dua partai politik, tiga keluarga politisi, dan sejumlah pengusaha membawa negeri ini dalam kebangkrutan.

Aris Hatzistefanou, sang pembuat film ini, berusaha membawa penonton untuk memahami bahwa krisis utang di Yunani sebagai persoalan struktural dalam kapitalisme finansial dan sekaligus problem struktural dari penggabungan euro-zone.

Costas Lapavitsas, ekonom yang menjadi bintang utama film ini, menguraikan bagaimana krisis utang Yunani bermuasal dari krisis struktural kapitalisme sejak tahun 1970-an. Sementara David Harvey, ekonom yang pernah menulis “A Companion to Marx’s Capital”, mengatakan bahwa ini bukan hanya krisis “kapitalisme bebas”, tetapi krisis yang menyangkut kapitalisme sebagai sebuah sistem.

Film ini juga mengulas bagaimana ekonomi zona eropa menghasilkan pembagian yang tidak adil; negara pusat dan negara peripheri. Yunani sendiri termasuk dalam kategori negara peripheri, tempat dimana krisis berlangsung lebih intensif. Sementara negara pusat, khususnya Jerman, tampil sebagai pemenang.

Sistem ekonomi zona eropa ini, pada satu sisi, menciptakan surplus di negara-negara pusat, tetapi pada sisi lain, menciptakan krisis hutang besar-besaran di negara pinggiran (peripheri). “Ini seperti petinju Muhammad Ali dari klas berat melawan klas ringan,” kata Éric Toussaint, Presiden dari Komite untuk Penghapusan Utang Dunia Ketiga (CADTM).

Lebih keren lagi, film ini juga mengulas sejarah kemunculan “odious debt/utang najis”. Konsep odious debt ditemukan oleh Alexander Nahum Sack, bekas menteri dan ahli hukum di bawah pemerintahan Tsar di Rusia. Paska revolusi 1917, ia mengembara ke Eropa dan Amerika Serikat.

Utang disebut “odious debt” jika memeliki kriteria berikut: (1) pemerintahan dari negeri penerima pinjaman menerima bantuan tanpa diketahui dan persetujuan rakyatnya; (2) pinjaman yang diberikan tidak memberi keuntungan kepada rakyat; (3) peminjam mengetahui kondisi di atas tetapi mengabaikannya.

Meski terdengar progressif, bahkan revolusioner, tetapi konsep odious debt pada awalnya ditujukan untuk melayani kepentingan; negeri-negeri imperialis. Pada tahun 1898, ketika AS berhasil mengambil-alih Kuba dari tangan Spanyol, ia tidak mau membayar utang-utang yang ditimpakan oleh kolonialis Spanyol sebelumnya. AS pun mempergunakan konsep “odious debt” untuk menghindari kewajiban utang itu. Ini kembali dipergunakan AS pasca menginvasi Amerika Serikat: AS meminta odious debt atas hutang-hutang era Saddam Husein, supaya tidak memberatkan rejim boneka AS di Irak.

Tetapi film ini tidak sekedar pandai mengurai persoalan. Di bagian akhir film ini digambarkan bagaimana rakyat di dua negara Amerika Latin, yaitu Argentina dan Ekuador, berhasil keluar dari jebakan utang luar negeri. Rakyat di kedua negara itu berhasil mengepung istana pemerintahan dan memaksa presidennya kabur dengan “helikopter”.

Tetapi pengalaman paling menarik ditunjukkan oleh rakyat Ekuador. Selama puluhan tahun Ekuador menjadi pasien berat IMF dan Bank Dunia, bahkan 50% APBN-nya dipergunakan untuk membayar hutang. Rafael Correa, seorang Ph.D di bidang ekonomi Universitas Illinois, tampil kedepan memprotes keadaan itu: ia menolak penggunaan keuntungan minyak untuk membayar utang luar negeri. Bagi Correa, 80% keuntungan minyak mestinya dipergunakan untuk kepentingan rakyat: kesehatan, pendidikan, penciptaan lapangan kerja, dan lain sebagainya. Rafael Correa memilih mundur sebagai menteri ekonomi pada tahun 2005, ketimbang menjadi “antek IMF dan Bank Dunia”.

Tetapi sejarah berkata lain: pada tahun 2006, Rafael Correa terpilih sebagai presiden Ekuador dengan dukungan rakyat di belakangnya. Ketika menjadi Presiden, ia pun mengumumkan penolakannya membayar utang-utang ekuador yang tidak legitimate.

Lebih maju lagi, Correa pun membentuk semacam “Komite Audit” untuk memeriksa utang luar negeri ekuador: mana yang sah dan mana yang tidak legitimate. Komite Audit ini melibatkan para ahli dan gerakan sosial. Temuan Komite Audit menemukan bahwa sebagian besar utang luar negeri Ekuador adalah tidak legitimate.

Sekarang cara itu dipergunakan pula oleh para aktivis gerakan sosial, intelektual, artist, dan aktivis di Yunani. Komite Audit ini akan memeriksa utang-utang Yunani. Meskipun belum terlihat hasilnya, tetapi setidaknya ini menjadi langkah politik untuk membongkar kedok utang yang dijeratkan oleh pemerintah korup dan elit bisnis eropa.

Film ini sendiri mendapat respon luas di masyarakat. Di Youtube, film ini sudah muncul dengan versi subtitle Inggris dan sudah ditonton ratusan ribu orang. Costas Lapavitsas, ekonom yang menjadi bintang dalam film ini, mengaku mendapat kiriman email dari para petani dan tukang daging dari pedalaman Yunani. Setidaknya, film ini telah membuka mata rakyat Yunani mengenai kebohongan para elit dan media massa mengenai hutang mereka.

Di Portugal, negara yang mengalami hampir bernasib serupa dengan Yunani, aktivis dari partai kiri Left Bloc memutar film ini di studio-studio mini selama kampanye pemilu. Di Barcelona, Spanyol, film ini juga diputar di tengah 4000-an  demonstran yang sedang memprotes kebijakan pemerintah.

Dan, bagi saya, film ini sangat relevan untuk ditonton oleh pemirsa Indonesia. Khususnya dalam kerangka melawan imperialisme!

Timur Subangun

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid