Diskusi Seni Rupa: Ini Soal Revolusi, Soal Menuntaskan Kemerdekaan

JAKARTA: Dua pelukis revolusioner Indonesia, Amrus Natalsya dan Misbach Tamrin, keduanya juga merupakan pendiri sanggar Bumi Tarung, mengatakan bahwa seni rupa harus mengabdi kepada rakyat dan Revolusi 1945 yang belum selesai.

Berbicara dalam diskusi ‘seni rupa hari ini”, yang digelar oleh panitia festival kemerdekaan 2010, siang tadi (4/8), baik Amrus maupun Misbach, menggaris-bawahi arti penting seni rupa yang harus melakukan pembelaan kepada rakyat, khususnya klas pekerja dan tani, dan mengajak mereka untuk berlawan.

Didaulat untuk berbicara pertama, Misbach menjelaskan, bahwa realisme sebagai aliran gaya pengucapan seni sudah diketahui sejak jaman Yunani Kuno, bahkan lukisan artefak di gua Almitra (Spanyol) sudah bisa dikategorikan karya realis, karena menggambarkan situasi perburuan saat itu.

Di Indonesia sendiri, menurut penjelasan Misbach, realisme sebagai alat perjuangan anti-kolonial sudah dirintis oleh Raden Saleh, yang ditandai pada dua karyanya yang terkenal; “penangkapan pahlawan Diponegoro” dan “Tarung Banteng Macan”.

Selanjutnya adalah kelahiran kelompok Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), yang secara terang-terangan dan gamblang mengambil bentuk realisme sosial, sebagai cara untuk menghasilkan karya yang mengabdi kepada pembebasan nasional, katanya.

Pada tahun 1950-an, setelah rakyat mengetahui bahwa revolusi Agustus belum selesai, para seniman saat itu menggunakan realisme revolusioner untuk membela kaum buruh dan tani dalam menghadapi penindasan feodalisme dan kapitalisme, ujar pelukis yang juga sesekali menulis ini.

Misbach juga menolak untuk disebutkan bahwa Sanggar Bumi Tarung ataupun Lekra merupakan garda depan realisme sosialis. Menurutnya, karena kesenian merupakan kaca pembesar untuk menggambarkan keadaan suatu jaman, maka keberadaan kesenian di Indonesia belum bisa dikatakan realisme sosialisme karena belum ada susunan masyarakat sosialistik.

“AS Dharta dan Pramoedya itu, ketika menulis soal realisme sosialis, itu hanya mencoba memberi pengetahuan dan dan perbandingan semata-mata,” ujarnya untuk sekedar mengingatkan.

Setelah orde baru berkuasa dan menggusur lekra dan karya-karyanya, Misbach menjelaskan, seni yang berkembang di Indonesia adalah kebanyakan berbentuk seni abstrak, yang kemudian sekarang ini sering disebut seni rupa kontemporer.

Realisme kembali mengalami kebangkitan saat munculnya karya-karya yang mulai melontarkan kritik terhadap rejim Soeharto, kata Misbach, sambil mengutip kelahiran realisme jogja, dan dipertegas lain dengan kemunculan Semsar Siahaan dan Taring Padi yang mulai mengangkat kembali realisme.

Sekarang ini, Misbach mencatat pula bahwa realisme semakin mendapat tempat di kalangan seniman, namun isinya lebih banyak berisikan tema-tema absurd, penuh misteri, dan pelecehan atau plesetan terhadap tokoh-tokoh revolusioner dunia.

Sejak Andi Warhol dan kawan-kawan menemukan pop-art, suatu aliran yang berbasiskan kepada realisme fotografis, maka realisme pun berkembang sangat luas tapi kebanyakan dikembangkan untuk kepentingan iklan bisnis dan propaganda kapitalisme, demikian penjelasan Misbach Tamrin.

Sementara itu, pelukis Amrus Natalsya lebih menyoroti soal persoalan-persoalan Indonesia kekinian, yang menurutnya, sedikit banyak mempengaruhi perkembangan karya seni rupa saat ini.

Berpatokan kepada peringatan HUT kemerdekaan, Amrus menjelaskan, kemerdekaan Indonesia bukan hadiah dari siapapun, sangat berbeda dengan, misalnya, Malaysia dan Singapura.

“saat proklamasi, ketika itu saya sudah berusia 12 tahun, saya faham betul ada semangat kaum terjajah untuk mengakhiri situasi keterjajahan itu. Hasrat untuk merdeka dan menjadi tuan di negeri sendiri melahirkan watak anti-penjajahan dan berpartisipasi aktif dalam perjuangan anti-kolonial,” ujarnya.

Terkait perkembangan seni rupa saat ini, Amrus menandai lahirnya sebuah ‘permainan’ yang sepenuhnya dikendalikan oleh kapitalis. “jadi, meskipun karya-karya itu melecehkan tokoh revolusioner seperti Mao Tse Tung, atau melecehkan tokoh pembebasan nasional seperti Bung Karno, itu tak jadi soal bagi mereka. Asalkan mendatangkan untung,’ kata Amrus mencontohkan.

Sehingga, menurut penjelasan dia, penghancuran karakter suatu bangsa sekarang ini tidak lagi sekedar melalui film-film cabul, tetapi karya seni rupa yang “nyeleneh” pun sudah mendidik orang untuk melecehkan bangsanya sendiri.

“Ada seniman yang tidak segan-segan melecehkan Bung Karno dalam karyanya, tanpa menyadari bahwa, tanpa kehadiran dan perjuangan tokoh-tokoh pembebasan di masa lalu, maka tidak ada kemerdekaan sekarang ini,” tegas pelukis yang karyanya pernah dikoleksi oleh Bung Karno ini.

Amrus juga menyatakan keprihatinan terhadap situasi sekarang ini, dimana aparatus negara berperan untuk menindas rakyatnya sendiri, misalnya dalam kasus kekerasan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). “Satpol PP itu bukan tujuan revolusi, karena revolusi itu mau menghilangkan penindasan terhadap rakyat sendiri. Rakyat tidak menjadi tuan di rumah sendiri,” ujarnya.

Untuk itu, Amrus mengajak para pemuda untuk merenungkan perkataan Nyoto, “tahu segala sesuatu, dan tahu sesuatu tentang segala.” Umpamanya, kalau kita tahu tentang revolusi, kita tahu sejarah soal revolusi itu. Kalau tahu segala tentang revolusi, maka kita harus tahu soal revolusi itu sendiri. Fikiran ini berlaku untuk segala hal, termasuk soal pengetahuan dan bidang-bidang lainnya.

kita sedang dalam era yang betul bebas, kata Amrus, sambil menandai suatu suatu era dimana kebebasan itu benar-benar tanpa koridor. “Anda kalau punya “duit”, bisa mencetak buku dan menulis sebebas-bebasnya. Anda bebas untuk melecehkan bangsa sendiri atau memujinya. Asalkan bisa laku,” katanya, sambil menandaskan bahwa seni rupa juga mengalami situasi demikian.

Amrus menjelaskan, sekarang ini tidak ada partai politik yang kuat dalam lapangan kebudayaan, punya pemikir-pemikir soal kebudayaan, yang bisa menjaga dan memperjuangkan kebudayaan nasional.

Di saat penghancuran karakter nasional sekarang ini, Amrus menandai sebuah fenomena baru di masyarakat kita, yaitu “masyarakat happy”, yang merubah mental individu dan tanggung jawab kita.

“Ibaratnya, kita berjalan di pinggir jurang. Di bawah itu dunia jurang “happy”, sedangkan di atas jurang penderitaan rakyat. Jurang penderitaan rakyat itu sudah penuh sesak. Tetapi jurang “happy” ini masih terbuka, dan menjadi dominan di dalam segala lini kehidupan rakyat kita,” ujar Amrus Natalsya, sambil mencontohkan fenomena “keong racun”.

Dalam masyarakat “happy” ini, tidak ada lagi arti penting untuk berjuang, melakukan pemihakan terhadap kelas buruh dan tani. Inilah hal-hal yang membunuh jiwa dan karakter nasional kita.

Ditanyakan soal kontemporer revolusioner, Amrus mengatakan, bahwa seni rupa dunia sedang berada di dalam “kontemporer”, tanpa mempedulikan negara itu menganut sistim kapitalisme dan sosialisme.

Menjawab pertanyaan soal “kontemporer-revolusioner”, Amrus mengibaratkan, ketika kita sedang menaiki perahu. Kita memegang dayung. Dayung itu saya sebut revolusioner. Sedangkan perahunya, bisa kontemporer atau realisme. Semua perahu sekarang ini adalah kontemporer. Tapi, kita tetap harus membawa dayung yang revolusioner itu. Jangan ditinggalkan,” katanya.

Amrus menambahkan, bahwa dalam kontemporer revolusioner itu, maka persoalan-persoalan itu digambarkan lebih sederhana, mendalam, dan kuat. Inilah yang membedakan kontemporer revolusioner dengan yang lainnya.

Ketiga prinsip kontempor revolusioner itu, katanya, harus didasarkan kepada beberapa hal, yaitu originalitas, kreatifitas, dan ilmiah.

Di tengah berbagai persoalan bangsa saat ini, Amrus mengatakan, “ kita harus bangkit. Dan bangkit itu haruslah dengan politik. Politik yang memimpin gerakan rakyat.”

Menutup diskusi ini, Amrus seolah memberi kita dua pilihan; apakah kita masih mau meneruskan revolusi yang belum selesai, dalam hal ini revolusi Agustus 1945? ataukah kita sudah berhenti dan memilih masyarakat “happy”.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid