Bung Karno Dan Pemahaman Soal Massa Aksi

Revolusi, kata Bung Karno, adalah lokomotif sejarah. Tetapi revolusi, yakni menjebol yang lama dan membangun yang baru, tidak semudah membalik telapak tangan. Revolusi tidak datang hanya karena kita berteriak-teriak “Revolusi..revolusi..revolusi sampai mati.”

Revolusi juga bukan bikinan manusia. Bukan pula bikinan para penghasut. Juga, seperti dikatakan Tan Malaka, revolusi bukan bikinan  “tukang-tukang putch”. Revolusi, seperti diyakini Bung Karno dan Tan Malaka, adalah hasil pergaulan hidup atau pertentangan antara sistem sosial yang nyaris sekarat dengan yang baru.

Pada titik inilah kita memulai pembahasan soal ‘massa aksi’. Sebab, revolusi baru akan terjadi jikalau pertentangan antara hubungan produksi lama dengan yang baru, yang tercermin dalam perjuangan klas, sudah menggerakkan massa-rakyat. Inilah point pentingnya: hanya massa rakyat yang sadar akan tugas revolusinya yang bisa membuat revolusi.

Sekilas Tentang Massa aksi

Apa itu massa aksi? Saya sulit mendapatkan referensi mengenai asal-muasal kata “Massa Aksi” ini. Dalam penulusuran Wikipedia, saya hanya menemukan kata “Mass Action” sebagai kata dalam ilmu sosiologi. Itupun kalau diterjemahkan begini: “keadaan dimana sejumlah besar orang bertindak secara bersamaan/serempak dengan cara yang sama tetapi secara individual dan tanpa koordinasi.”

Saya rasa, mass action versi Inggris itu tekanannya pada spontanitas. Sedangkan Soekarno menekankan pada “terorganisasi” dan dilakukan secara sadar. Jadi, saya kira, mass action dalam bahasa Inggris itu beda dengan massa aksi-nya Bung Karno.

Dalam literatur Indonesia, massa aksi sangat dekat dengan Tan Malaka. Pada tahun 1926, begawan revolusi Indonesia itu menulis brosur “Massa Actie (Aksi Massa)”. Dan, setelah saya baca dari awal hingga akhir, kelihatannya karya itu sangat mempengaruhi pemikiran Bung Karno. Termasuk mengenai soal “Massa Aksi” ini.

Di tulisan itu Tan Malaka menjelaskan, hannya “satu aksi massa”, yakni satu aksi massa yang terencana, yang akan memperoleh kemenangan di satu negeri yang berindustri seperti Indonesia. Di sini, Tan Malaka membedakan “Massa Aksi” dengan Tukang Putch (anarkis) dan petualang (advonturir).

Bagi Tan Malaka, massa aksi berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka. Aksi massa terwujud dalam boikot, mogok, dan demonstrasi. Tan Malaka, seperti juga Soekarno, tak menampik kehadiran “pemimpin massa”. Akan tetapi, pemimpin massa ini harus revolusioner, cerdas, tangkas, sabar dan pandai menghitung keadaan. Ia juga harus mengerti tabiat dan psikologi massanya. Juga, tak kalah pentingnya, pemimpin massa itu harus pandai bersemboyan agar bisa mengubah “kemauan massa” menjadi “tindakan massa”.

Kata “Masa Aksi” mulai ramai di tulisan Bung Karno di tahun 1929. Tapi, jika kita mengacu pada garis-massanya PNI, maka bisa saja Bung Karno itu sudah mengusung “massa aksi” jauh sebelumnya. Yang jelas, tulisan-tulisan Bung Karno sejak tahun 1929 sangat banyak dipengaruhi Tan Malaka.

Tetapi, bisa saja “massa aksi” itu didapat Bung Karno dari pengalaman gerakan sosial-demokrat di Eropa. Sebab, seperti dalam pidato “Indonesia Menggugat”, ia merujukkan penjelasan massa aksi itu dari pengalaman SDAP-Sociaal Democratische Arbeiders Partij (Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda).

Massa aksi diuraikan dengan gamblang oleh Bung Karno dalam pidato pembelaannya di depan pengadilan kolonial. Pidato itu disebut “Indonesia Menggugat”. Di situ ia banyak membahas soal “massa aksi”. Tulisan lainnya adalah: Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia (Suluh Indonesia Muda, 1932), Non Koperasi Tidak Bisa Mendatangkan Massa Aksi dan Machtvorming (Fikiran Rajat, 1932-33), dan Mencapai Indonesia Merdeka (1933).

Apa itu massa aksi?

Dalam tulisan Indonesia Menggugat, Bung Karno merujuk kata “massa aksi” itu dari pengalaman SDAP-Belanda. Yang menarik, bagi Bung Karno, SDAP berhasil menggerakkan massa rakyat Belanda dalam menuntut “hak pilih” dalam pemilu.

Massa aksi yang demikian itu, kata Bung Karno, yang sangat diidam-idamkan oleh PNI: massa aksi yang hebat dan maha-kuasa, yang menggerakkan seluruh tubuh rakyat dan mengelektrifikasi sekujur tubuh bangsa. Pendek kata, sebuah massa aksi yang bergelombang menuju ke arah tujuannya.

Tapi, apa “massa aksi” itu? apakah jika rakyat beribu-ribu, bahkan mungkin beratus ribu, menggelar demonstrasi bisa dikatakan massa aksi? Bagi Bung Karno, massa aksi memang identik dengan aksinya rakyat banyak. Aksi sendiri bermakna perbuatan, pergerakan, dan perjuangan. Perbuatan itu berupa: rapat umum, demonstrasi, menulis artikel, kursus, dan lain-lain.

Tetapi pengertian di atas belum cukup. Menurut Bung Karno, yang di atas itu masih disebut “massale actie”, yaitu: ‘pergerakan’ rakyat yang berjumlah ribuah, bahkan mungkin jutaan, tetapi tidak radikal dan revolusioner. “Massale actie” tidak membongkar struktur masyarakat lama dan menggantikan yang baru.

Bung Karno menyebut Sarekat Islam (SI) sebagai contoh massale actie. Anggotanya banyak tetapi tidak radikal dan revolusioner. SI memang organisasi massa terbesar di masanya. Pada tahun 1916, organisasi yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto sudah punya 800 cabang dan 700 ribu anggota. SI berhasil menghimpun kaum buruh, marhaen, priayi, pedagang, dan borjuis ke dalam organisasinya.

Namun, seperti dikatakan Bung Karno, anggota SI yang besar itu hanya “massale actie” belaka.  Soekarno menganggapnya “gerombolan” dan tak ubahnya “perkumpulan arisan” (social behoudend). Kenapa? Sebab, kata Bung Karno, pergerakan SI tidak berdiri di atas pendirian radikal, tidak berdiri di atas pertentangan sana dan sini (antara kawan dan lawan dalam revolusi), dan tidak terang-terangan ingin menjebol susunan masyarakat lama, yaitu kapitalisme.

Setidaknya ada tiga prasyarat untuk disebut organisasi “massa aksi”:

Pertama, organisasi yang menghimpun massa itu harus berpendirian radikal. Radikal di  sini diartikan sebagai perjuangan yang ingin membongkar susunan masyarakat lama dan membangun susunan masyarakat baru. Politik radikal ini tercermin dalam program, azaz, dan taktik perjuangan.

Karena itu, bagi Bung Karno, organisasi massa aksi harus melakukan pertempuran terus-menerus, tanpa kompromi, dengan kekuatan-kekuatan yang menghalangi perubahan dalam susunan masyarakat. Organisasi “massa aksi” harus terang-terangan menolak politik reformisme.

Kedua, organisasi massa aksi harus bisa menggembleng massa yang tidak sadar (onbewust) menjadi massa yang sadar (bewust). Konstruksi (perspektif) revolusi harus diajarkan kepada massa dengan pengertian sederhana. Dan, pada sebuah titik, hal itu masuk dalam fikiran dan semangatnya.

Untuk itu, organisasi massa aksi harus punya teori perjuangan sebagai panduan untuk memimpin aksi perjuangan. Massa aksi harus dibimbing oleh teori. Tidak ada praktek revolusioner tanpa teori revolusioner.

Teori itu harus diresapkan ke massa melalui kursus, terbitan/brosur, dan aksi. Kata Bung Karno, massa aksi tanpa kursus, brosur, dan surat-kabar, adalah massa aksi yang tak hidup dan tak bernyawa. Sebab, massa tidak memahami seluk-beluk perjuangan dan ke arah mana perjuangan itu mau bertepi.

Ketiga, organisasi massa aksi harus mengubah “kemauan massa” menjadi “tindakan massa”. Artinya, organisasi massa harus bisa mengubah “kesadaran spontan atau naif” menjadi kesadaran politik-radikal.

Bung Karno, seperti juga kebanyakan kaum marxis, menganjurkan agar kaum revolusioner terlibat dalam perjuangan sosial-ekonomi  dan mengarahkannya menjadi perjuangan politik yang dipandu oleh marxisme.

Bagi Bung Karno, politik radikal  tidaklah menegasikan perjuangan sosial-ekonomi (sehari-hari). Katanya, kemenangan yang besar biasanya diusung dari perjuangan kecil-kecil. Bung Karno menyebut a-b-c-nya aksi radikal: perlawanan kecil sebagai momen perlawanan besar; perlawanan kecil sebagai mata-rantai perjuangan besar.

Yang paling penting, kata Bung Karno, kesadaran maju (termasuk sosialisme) tumbuh dan diasah terus-menerus dari praktek perjuangan ekonomi dan politik. Bukan melalui impor atau penyuntikan teori-teori sosialis belaka.

Lantas, apa bedanya politik radikal dan politik reformisme dalam lapangan perjuangan sosial-ekonomi (sehari-hari)? Jawabannya sederhana: politik radikal menggunakan perjuangan sosial-ekonomi itu untuk menyuluhi massa, sambil berjuang bersama massa, agar bergerak pada tuntutan radikal. Sedangkan reformisme berhenti atau hanya berkubang pada perjuangan sosial-ekonomi itu sendiri.

Itulah pemahaman Bung Karno tentang massa aksi. Jadi, massa aksi bukanlah sekedar massa yang berjumlah besar, bukan pula massa yang membawa bom dan dinamit, tetapi massa yang berpendirian radikal, dipandu teori-teori revolusioner, dan siap melakukan perjuangan tak kenal menyerah untuk menggulingkan susunan masyarakat lama menjadi susunan masyarakat baru.

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pemimpin Redaksi Berdikari Online

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid