Bedah Buku ‘Pertempuran 10 November 1945’: Soemarsono Di Garis Depan, Rosihan Anwar Di Garis Belakang

Pernyataan wartawan senior Rosihan Anwar, bahwa Soemarsono tidak terlihat saat pertempuran 10 November di Surabaya, telah dibantah keras oleh sejumlah sejarawan dan penulis.

Menurut penulis buku “Soemarsono; pemimpin perlawanan rakyat Surabaya 1945 yang dilupakan”, Harsutejo, Rosihan Anwar tidak pernah berada di garis depan (front) saat pertempuran rakyat Surabaya melawan sekutu, sehingga kesaksiannya pun sangat patut dipertanyakan.

“Jika orang berada di garis belakang dan tidak tahu geografi Surabaya, bagaimana dia bisa bertemu dengan Bung Sumarsono yang berada di garis depan,” katanya saat diskusi bedah buku “Soemarsono; pemimpin perlawanan rakyat Surabaya 1945 yang dilupakan” di Gedung Juang 45 Jakarta, kemarin (10/11).

Sementara Yoseph Adi Prasetyo, yang juga merupakan pejabat Komnas HAM, membeberkan beberapa bukti peranan besar Soemarsono dalam pertempuran di Surabaya, yaitu buku Ben Anderson dan pengakuan Haryo Kecik.

Ben Anderson menyebutkan peranan Soemarsono yang cukup mendalam dalam buku desertasinya, Revolusi Pemuda. “Soemarsono disebut 10 kali dalam buku tersebut,” katanya.

Sementara Haryo Kecik, yang juga pelaku utama pertempuran 10 November, juga menyebut peranan Soemarsono dalam peristiwa tersebut.

Sejarawan Bonnie Triyana menganggap Rosihan Anwar sedang mengalamai faktor “U” (umur). “Tulisan Rosihan Anwar ini sangat menggelikan,” katanya.

Bonnie Triyana mengingatkan bahwa melihat peristiwa 10 November haruslah bersifat holistik, tidak setengah-setengah. Dia menyebutkan dua peristiwa penting menjelang pertempuran 10 November, yaitu penurunan bendera di hotel Yamato tanggal 19 september 1945 dan rapat akbar Tambaksari 21 September 1945.

Tidak Ada Hak Jawab

Anehnya, menurut Harsutejo, dirinya kesulitan memberikan hak jawab atas berbagai opini Rosihan Anwar di berbagai media, seperti di Fikiran Rakyat 22 november 2006,  Kompas 9 November 2007, dan Kompas 10 november 2010.

Di kedua media tersebut, Harsutejo mengaku kesulitan untuk memberikan hak jawab karena kedua media itu menolak tulisannya.

“Bahkan untuk surat pembaca pun tidak bisa. Saya sadar nama saya tidak punya daya jual apapun bagi mereka,” ungkapnya.

Akhirnya, sebagai pilihan lain untuk mengimbangi opini dominan Rosihan Anwar, Harsutejo mengaku menyebarkan tanggapannya di mailing list.

Rosihan Anwar, saat itu menjadi wartawan, ditugaskan oleh Menteri Penerangan Amir Syafruddin untuk meliput pertempuran 10 November.

Dalam pengakuannya setelah puluhan tahun berlalu, ia menyangkal keterlibatan dan peranan sejumlah tokoh kiri dalam pertempuran itu, termasuk pemimpin pertempuran itu sendiri, Soemarsono.

Karena nafsu anti-komunisnya yang terlampau besar, ia telah menyangkal fakta mengenai peranan kaum kiri dalam sejumlah momen bersejarah dalam perjuangan nasional bangsa kita.

Dihilangkan Sejarah

Sepanjang kekuasaan rejim Soeharo hingga sekarang, nama Soemarsono telah dicoret dalam peranannya di pertempuran 10 November 1945.

Tidak hanya itu, Soemarsono harus berganti kewarga-negaraan dan tinggal di Australia untuk menghindari berbagai tekanan dari rejim militer, meskipun kecintaannya terhadap tanah-air sangat besar.

Seperti kita ketahui, orde baru telah melakukan penggelapan sejarah besar-besaran terhadap sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dengan menghapus nama-nama tokoh yang dianggap kiri dan soekarnois, lalu mengubah jalan cerita sejarah.

Pelajaran sejarah di sekolah pun tidak menyebut nama Soemarsono, namun lebih banyak menonjolkan nama Bung Tomo.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid