Banjir Jakarta, Salah Foke Atau Alam?

Banjir lagi, banjir lagi. Begitulah cerita rakyat Jakarta setiap tahunnya, sementara pemerintah hanya bisa berpangku tangan dan mengelak dari kesalahan. Dengan tidak tahu malu, misalnya, Gubernur Fauzi Bowo (Foke) malah mempersalahkan curah hujan dan cuaca ekstrem sebagai penyebab banjir.

Mungkin, kalau orang belanda menyerah kepada alam, maka tidak ada kota Amsterdam itu. Amsterdam, ibukota negaranya Jan Pieterzoon Coen—pendiri Batavia, sebagian wilayahnya lebih rendah dari permukaan laut, namun nyaris tidak pernah terkena banjir.

Banjir memang bukan cerita baru untuk Jakarta. Maklum, daerah Jakarta termasuk dataran rendah, hanya tujuh meter di atas permukaan laut. Selain itu, Jakarta dilintasi oleh 13 aliran sungai, sehingga Jakarta sangat rentan dengan banjir, baik karena hujan deras maupun banjir kiriman.

Terlebih lagi, seperti diungkapkan Alwi Shihab, seorang sejarahwan Betawi, bahwa proyek pembangunan kota Batavia oleh Jan Pieterzoon Coen, yaitu dengan menguruk rawa-rawa dan parit, telah menyebabkan banjir sulit dikendalikan di Jakarta.

Meski begitu, penguasa kolonial pernah membuat sejumlah gebrakan untuk menghadapi banjir di Jakarta. Awalnya, pada abad 16, telah dibangun kanal-kanal yang ingin menyerupai kota Amsterdan. Pada tahun 1634, pembangunan drainase pertama di Batavia di mulai, yaitu sistem pengendalian air di tebing timur muara Ciliwung alias Kali Besar.

Setelah diterjang banjir besar pada tahun 1913, pemerintah kolonial telah memulai untuk membuat proyek banjir kanal, yang membutuhkan waktu sekitar 7 tahun untuk penyelesaiannya. Bandingkan dengan proyek Banjir Kanal Timur (BKT), yang sudah dicetuskan sejak tahun 1970-an, hingga sekarang belum ada kabar kapan proyek ini akan selesai.

Sekarang ini, ditangan pemimpin-pemimpin yang tidak punya kapasitas, Jakarta semakin rentan terhadap berbagai bencana, terutama banjir.

Pertama, berkurangnya daerah resapan air akibat proyek pembangunan yang diletakkan di atas logika untung (profit) semata. Kawasan hijau dan rawa-rawa diubah menjadi pemukiman mewah, apartemen, mall, dan sebagainya.

Perumahan elite Pondok Indah dan sejumlah perumahan mewah di Jakarta Selatan dan Timur dahulunya adalah tempat kebun-kebun karet. Kawasan Pluit Polder (waduk) dahulunya tidak pernah dirancang untuk daerah permukiman. Kini permukiman Pluit meluas sampai ke Muara Karang dan Kapuk telah menghalau habis daerah-daerah resapan air.

Pada tahun 1970-an, luas danau serapan air (situ) di Jakarta lebih dari 20 ribu hectare. Namun, sekarang jumlah tinggal 325,6 hektare. Dulu, Situ Gintung luasnya 31 hektare dan terkenal sebagai tempat wisata yang terkenal, namun sekarang tinggal ratusan meter saja.

Kedua, jumlah drainase atau saluran air semakin berkurang dan menyempit. Banyak drainase dan gorong-gorong yang tertimbun oleh proyek-proyek pembangunan ruko, pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya. Jika dibandingkan dengan jumlah drainase atau saluran air yang dibangun jaman Belanda, maka pemerintah sekarang tidak ada apa-apanya.

Ketiga, pemerintah kurang serius untuk menanggulangi ancaman banjir. Bandingkan dengan kejadian banjir pada tahun 1960, dimana Bung Karno segera membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir Jakarta Raya (Kopra Banjir), yang berhasil membangun tanggul laut, waduk, gedung pompa, dan saluran air.

Fakta menunjukkan bahwa persoalan banjir di Jakarta tidak lepas dari orientasi kebijakan ekonomi. Semakin ekonomi dibuat liberal dan modal tidak terkontrol, maka semakin banyak daerah resapan  air dan kawasan hijau yang diubah menjadi mall, apartemen, pemukiman mewah, dan lain sebagainya.

Jika gubernurnya seperti sekarang, Fauzi Bowo, yang sangat akrab dengan korporasi dan kepentingan bisnis, maka persoalan banjir dan persoalan rakyat lainnya tidak akan bisa terselesaikan.

[post-views]