Permainan

Michel Foucault, salah seorang yang mungkin pernah membongkar tradisi ilmu pengetahuan dan kampus, mempertanyakan peran para intelektual. Orang mungkin masih teringat tentang tugas intelektual yang konon dinyatakan oleh Marx, bahwa tugas filosof bukanlah menginterpretasikan dunia, tapi mengubahnya.

Pada titik itu justru Foucault kembali pada peran para intelektual yang menafsirkan dan cukup curiga terhadap intelektual-intelektual yang ingin atau berhasrat mengubah. Tentu, prinsip Foucault itu dirangkai setelah melalui banyak penelitian tentang kuasa, pengetahuan, dan subyektifikasi, dari abad klasik, pertengahan, hingga modern—yang konon penelitian-penelitian yang juga perlu ditebus oleh pengasingan dan kematian.

Menafsirkan, dengan menyimpulkan pemikiran Foucault, adalah kerja yang hanya bisa dilakukan oleh seorang anak manusia di tengah kehidupan (dan bahkan pun kematian) yang melingkupinya.

Hans-Georg Gadamer pernah pula mewedarkan bahwa ketika seorang anak manusia berhadapan dengan segala sesuatu, pada dasarnya ia tak pernah menangkap, atau dengan bahasa yang tepat memotret, segala sesuatu yang dihadapinya itu yang mana potretnya itu kemudian dianggap dapat mewakili yang dipotret, atau potret dan yang dipotret dianggap sama.

Seorang anak manusia, dalam terang Gadamer, tak pernah “membaca” dengan anggapan bahwa bacaannya itu benar-benar sama dengan yang sedang ataupun sesudah dibaca. Ia hanya menafsirkan. Dan berbicara tafsir tentu saja adalah bicara tentang sebuah pilihan, pilihan yang diarahkan oleh anggapan-anggapan, kenangan, bahkan kejijikan, yang pernah dan sedang dibawanya.

Kembalinya Foucault pada kerja penafsiran—atau penggoyahan pada kerja pengubahan—bukanlah sebentuk trauma Foucault pada niat-niat mulia pengubahan yang pernah menghiasi sejarah umat manusia yang berakhir bengis dan tragis. Filosof plonthos itu tak semulia itu juga, sebagaimana Albert Camus yang muram dan cengeng. Bukan pula kekembalian pada kerja penafsiran Foucault itu adalah sebentuk itikad pada sifat “kebegawanan” para intelektual.

Pada tahap itu, Foucault adalah salah satu filosof yang konon berupaya menjawab pertanyaan bagaimana dan bukannya apa yang kemudian memantik pemisahan moral intelektual tentang apa yang ada dan apa yang semestinya.

Satu hal yang pasti dapat diungkapkan dari Foucault itu adalah bahwa obyektifitas yang digaungkan oleh para akademisi atau para intelektual adalah sekedar mitos—meskipun Foucault juga enggan dengan apa yang orang kenal sebagai politik engagement.

Tanpa mengurangi rasa hormat pada peristiwa, korban, dan para pelaku gerakan mahasiswa ’98 di Indonesia, politik keterlibatan itu konon juga menyisakan the darkside of the moon tersendiri: politik identitas yang bahkan pun tumbuh dan berkembang laiknya seorang anak yang durhaka.

Satu hal yang pasti, bagi pengarang The History of Sexuality itu, “Power puts into play of dynamic of constant struggle. There is no escaping it. But there is freedom in knowing the game is yours to play” (The Passion of Michel Foucault, 1993).

Penulis : Heru Harjo Hutomo

Foto : Dark Side (GD/Bing.com)

[post-views]