Perayaan Hari Bebas Anak Internasional, Bentuk Penghargaan Pada Individu yang Memilih Childfree

Tanggal 1 Agustus merupakan Peringatan Hari Bebas Anak Internasional atau biasa dikenal dengan istilah childfree. Childfree adalah suatu konsep individu atau pasangan yang telah menikah kemudian memutuskan untuk tidak memiliki dan membesarkan anak.

Istilah childfree muncul sejak akhir abad ke 20 dan  beberapa Negara sudah menerapkan childfree. Peringatan childfree internasional ini awalnya dicetuskan oleh National Organization for Non Parents (NON) pada tanggal 1 Agustus 1973 di Amerika Serikat.

Tujuan didirikannya NON oleh Peck dan Shirley Rald untuk menghargai pilihan pasangan yang sudah menikah untuk tidak memiliki anak. Pada  2014,  psikolog asal Amerika Serikat Laura Caroll mengusulkan agar hari childfree dapat diakui sebagai peringatan secara internasional.

Dalam kehidupan sosial masyarakat  kita, menikah dan memiliki anak itu adalah suatu kewajiban yang harus dijalankan. Untuk itu tak heran jika kemunculan istilah childfree menuai tanggapan negatif dari masyarakat. Akan tetapi, masih ada sebagian pasangan yang sepakat memilih untuk childfree.

Dikutip dari beberapa sumber, ada beberapa alasan pasangan yang sudah menikah memutuskan untuk tidak memiliki anak di antaranya sebagai berikut :

1.      Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi atau finansial keluarga merupakan alasan bagi pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Melahirkan dan membesarkan anak membutuhkan biaya yang cukup besar; pendapatan dan pengeluaran tidak sebanding sehingga memicu keraguan dalam diri pasangan: merasa tidak akan memiliki biaya yang cukup untuk merawat dan membesarkan anak.

2.      Faktor Lingkungan.

Dikutip dari kompas, psikolog Dr. Tri Rejeki Andayani menyebutkan bahwa salah satu alasan pasangan memilih untuk childfree karena berkaitan dengan masalah lingkungan. Beberapa dari pasangan yang memilih untuk Childfree karena populasi penduduk di bumi akan semakin meningkat. Akan tetapi, meningkatnya populasi tersebut tidak sejalan dengan kesehatan bumi dan ketersediaan pangan.

3.      Faktor Kesehatan.

Faktor kesehatan merupakan pemicu pasangan memilih untuk childfree. Banyak peristiwa yang dialami oleh ibu pasca melahirkan misalnya pendarahan yang berlebihan yang dapat mengakibatkan kanker serviks, kanker rahim, dan kista. Selain itu perubahan dialami oleh sebagian perempuan setelah melahirkan adalah perubahan psikologis yang disebabkan kurangnya dukungan sosial dan emosional dari orang-orang terdekat sehingga menyebabkan perempuan rentan mengalami gangguan syndrome baby blues. Gangguan ini merupakan suatu bentuk kesedihan atau kemurungan setelah melahirkan.

4.      Trauma Masa Lalu.

Sebagian besar orang yang pernah mengalami trauma yang disebabkan peristiwa di masa lalu akan mempengharuhi keputusan mereka untuk memilih childfree. Hal ini erat kaitannya dengan penerapan pola asuh orang tua. Beberapa orang tua menerapkan pola asuh yang kurang baik pada anaknya mulai dari pola asuh otoriter, memanjakan anak, sampai pada menelantarkan anak. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh tersebut tidak bahagia, paranoid, selalu merasa ketakutan, dan mudah merasa sedih dan tertekan. Sehingga, di masa depan mereka akan merasa takut tidak bisa menjadi orang tua yang baik untuk anaknya. Faktor inilah yang mendorong sebagian pasangan memilih untuk childfree.

Sebagian orang memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree bukan tanpa sebab.  Mereka memilih childfree melalui pertimbangan yang matang.  Untuk itu,  kita harus menghargai dan menyikapi secara dinamis apa yang menjadi pilihan mereka. Sebab, childfree merupakan bagian dari keberagaman pola pikir terhadap hak individu dalam bereproduksi bukan sebagai bentuk pemenuhan kewajiban individu atas standar norma yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Akan tetapi, terlepas dari berbagai perbedaan pandangan masyarakat terkait childfree, kita perlu menyadari bahwa betapa pentingnya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, yang juga memerlukan dukungan berbagai macam aspek baik ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun aspek kesehatan.

Untuk menghasilkan SDM yang berkualitas tentu dibutuhkan peran Pemerintah misalnya Pemerintah menguatkan ekonomi masyarakat melalui program koperasi, dan mengembangkan UMKM, Pemerintah memperkuat sistem pelayanan kesehatan reproduksi terpadu yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat, berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait yang melibatkan akademisi, media massa, dan masyarakat sipil untuk melakukan edukasi sebagai langkah awal penyadaran bagi masyarakat tentang pentingnya penerapan pola asuh yang tepat pada anak agar kesehatan mental anak baik di masa depan.

Feby Rahmayana, Pengurus EN-LMND

[post-views]