Media Massa di tengah Pandemi

Penulis dan sejarawan Yuval Noah Harari pernah bilang, ancaman terbesar di tengah pandemi ini bukanlah virus itu sendiri, melainkan reaksi kita.

Kepanikan yang berlebihan, saling tidak percaya, saling-menyalahkan, hingga ketidakmampuan membedakan mana informasi yang benar dan palsu, justru yang berpotensi melemahkan daya tahan bangsa kita menghadapi ancaman virus ini.

Dan Harari banyak benarnya. Terbukti, saat bangsa ini bertatap muka dengan ancaman virus, yang terjadi adalah kepanikan yang berlebihan. Sejumlah barang tiba-tiba langka di toko dan supermarket.

Hampir di setiap kampung dan gang-gang sempit terjadi aksi penguncian sepihak. Dan yang menyedihkan, ada aksi penolakan terhadap jenazah pasien covid-19 dan petugas kesehatan.

Di Makassar, setidaknya sudah tiga kali jenazah pasien covid-19 diambil-paksa oleh keluarganya. Dan di hampir setiap gang di kota itu, masyarakat memasang portal disertai spanduk penolakan terhadap rapid-test.

Mengapa bangsa kita tampak begitu limbung menghadapi pandemi ini?

Infodemik

Sejak awal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah memperingatkan bahaya yang menyelinap di balik penyebaran virus ini. Ya, bahaya: infodemik.

“Kita tidak hanya memerangi epidemi; kita sedang berjuang menghadapi ‘infodemik,” kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Infodemik adalah penyebaran informasi yang tak didukung oleh data dan fakta. Prosesnya berlangsung sangat cepat, massif, dan meluas. Muatannya bisa misinformasi, disinformasi, berita palsu (hoax), rumor, dan lain-lain.

Di satu sisi, infodemik bisa memicu kecemasan, kepanikan berlebihan, hingga hingga histeria massa. Di sisi lain, infodemik juga bisa membuat masyarakat abai dan tidak mengikuti petunjuk dari otoritas kesehatan.

Tentu saja, media massa punya kontribusi terhadap infodemik ini. Pertama, demi mengejar pagevies, banyak media online yang berlomba-lomba memasang judul clickbait. Seringkali tidak disertai dengan isi berita yang ditunjang oleh penjelasan yang kuat.

Kedua, menipisnya kepercayaan publik terhadap media arus-utama, yang ditengarai sangat partisan, dikendalikan segelintir orang (oligarki), dan kerap hanya menjadi “penyambung lidah” pemerintah.

Masalahnya, menipisnya ketidakpercayaan terhadap media arus-utama ini tak diimbangi dengan hadirnya media-media alternative yang kredibel. Dalam banyak kasus, publik beralih ke media sosial.

Kita tahu, media sosial adalah rimba-raya informasi yang beringas. Seringkali, informasi yang didengar dan diikuti oleh banyak orang adalah yang didengunkan dengan keras-keras. Tidak peduli, informasi itu benar atau tidak.

Ambil contoh Twitter. Berdasarkan analisa Covid19 Infodemics Observatory sepanjang 21 Januari-5 Juni 2020, dari 259,9 juta pesan yang diperiksa, ada 29,3 persen pesan yang tak dapat dipercaya. Dan ironisnya, 42 persen dari pesan itu disebar lewat akun bot.

Di tengah meluasnya wabah infodemik itu, media massa gagal menjadi obat penawar atas racun misinformasi dan kabar-kabar bohong itu.

Edukasi Sosial

Menghadapi patogen baru, yang berbahaya dan mematikan, ada satu kunci yang penting: pengetahuan.

Pengetahuan tentang virus yang akan menggerakkan warga untuk menghadapi pandemi ini lewat kewaspadaan dan tindakan yang terukur.

Pengetahuan juga yang menciptakan kesadaran warga, sehingga cenderung mematuhi protokol kesehatan secara sukarela. Sehingga tidak perlu pengerahan aparat kepolisian dan TNI untuk menertibkan warga.

Masalahnya, rentang waktu yang lumayan panjang antara meledaknya wabah ini di Wuhan pada awal Januari hingga masuknya virus ini ke Indonesia pada awal Maret, tidak dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mendorong edukasi sosial tentang virus ini.

Dalam konteks edukasi sosial ini, media massa seharusnya mengambil peran banyak. Sayang sekali, yang terjadi justru sebaliknya: media sempat menjadi penyambung lidah berbagai informasi bermasalah di masa awal pandemi, seperti  iklim tropiskonsumsi jamu, hingga kelakar soal nasi kucing. Ini berkontribusi membuat pemerintah dan masyarakat abai terhadap bahaya pandemi.

Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), misalnya, mencatat ada 37 pernyataan salah alias blunder dari pemerintah terkait virus korona ini, yang berpotensi mis-informasi dan menyesatkan.

Sayangnya, media tak ubahnya “humas” pemerintah, sehingga tak bersikap kritis terhadap berbagai pernyataan-pernyataan dari pejabat atau lembaga resmi itu. Padahal, dalam UU pers disebutkan, salah satu tugas pers adalah melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Padahal, sebagai penyedia informasi, media harusnya menjadi suluh di tengah kegelapan pandemi ini. Pers seharusnya menjadi agen pencerahan publik, bukan malah menjadi “carrier” bagi penyebaran berita palsu, misinformasi, dan disinformasi.

Pertama, pers harusnya menjadi pendidik yang baik, dengan menyebar-luaskan sebanyak-banyak pengetahuan yang penting bagi masyarakat terkait pandemi ini.

Kedua, pers harusnya menjadi penerjemah yang baik terhadap berbagai penjelasan, istilah, ataupun informasi yang sulit dicerna oleh masyarakat umum. Seringkali, di tengah pandemi ini, banyak istilah dan penjelasan kesehatan yang tidak populer di telinga masyarakat.

Ketiga, pers harusnya bisa menumbuhan harapan pada masyarakat, bahwa bangsa ini bisa melalui pandemi ini dengan sebaik-baiknya, lewat penyajian kisah-kisah inspiratif para penyintas, keberhasilan warga di tempat lain, atau pengalaman negara lain.  

Apa Yang Harus Dilakukan?

Pertama, media jangan lagi menjadi pembawa (carrier) pesan atau informasi yang menyesatkan, termasuk teori-teori konspirasi.

Caranya sederhana: (1), mengutamakan informasi yang berasal dari sumber yang kredibel, terpercaya dan terverifikasi; (2) mengutamakan informasi yang diperkuat oleh hasil penelitian atau berbasis data yang jelas; (3)  disiplin verfikasi; dan (4) mengutamakan informasi bermanfaat bagi pengetahuan dan pendidikan sosial masyarakat.

Kedua, media tetap harus menjalankan tugasnya untuk melakukan pengawasan sosial, dengan tetap menguji, mengeritik, dan memilah setiap informasi yang disebarkan oleh pemerintah ke publik.

Informasi pemerintah yang kadang berbeda-beda, tumpang tindih, bahkan kerap saling bertentangan, akan membuat masyarakat tidak memiliki rujukan yang pasti untuk menghadapi wabah.

Ketiga, perlu mendidik masyarakat dengan literasi media yang kritis, yaitu memberi kemampuan masyarakat untuk bisa menilai mana informasi yang terpercaya dan tidak terpercaya.

Misalnya, memperbanyak kanal-kanal di media sosial yang mengedukasi masyarakat tentang cara memeriksa dan menguji sebuah informasi, baik artikel, gambar, maupun video.

Kita sangat yakin, hanya dengan pengetahuan, yang menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk bekerjasama, yang bisa menyelematkan bangsa ini dari pandemi dan krisis-krisis lainnya.

RUDI HARTONO

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid