Kemerdekaan dan Utang

Kemerdekaan Indonesia seperti yang dibayangkan Bung Karno begitu indah dan juga mengkhawatirkan. Indah karena dengan kemerdekaan itu rakyat yang selama hidup sengsara di bawah tindasan kapitalisme dan imperialisme dapat menemukan peluangnya untuk hidup adil dan makmur. Tetapi bila tak awas, bukan keadilan dan kemakmuran yang didapat tetapi rasa kecewa yang terus berulang. Karena itu Bung Karno pun memberikan peringatan sebagaimana yang ia tulis dalam Mencapai Indonesia Merdeka: “…jangan sampai Marhaen nanti menjadi “pengupas nangka” yang hanya mendapat bagian getahnya saja.”

Barangkali karena  seorang Insinyur, Bung Karno pun membayangkan bahwa kemerdekaan Indonesia itu seperti  jembatan. ”Tetapi kemerdekaan nasional  hanyalah suatu jembatan, suatu syarat..Di belakang Indonesia Merdeka itu, kita kaum marhaen masih harus mendirikan…Gedung Keselamatan, bebas dari tiap-tiap macam kapitalisme.” Gedung Keselamatan itu menurut Bung Karno harus didirikan oleh Marhaen sendiri.  Karena itu agar tidak menjadi pengupas nangka belaka yang hanya selalu kena getahnya, Marhaen haruslah mengendalikan jalannya pemerintahan di masa mengisi kemerdekaan ini.

Tetapi selama 70 tahun mengisi kemerdekaan itu, terlebih di masa Orde Baru hingga kini di masa reformasi, Marhaen nyata-nyata tidak menjadi bagian. Selalu kena getahnya pembangunan. Roda pemerintahan dijalankan seperti jaman kolonial yang angkuh dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Terutama dalam kasus-kasus agraria, kekerasan terhadap rakyat hingga berujung pada penembakan selalu saja terjadi.

Yang patut dicatat juga, 70 tahun mengisi kemerdekaan itu hampir tidak bisa dilepaskan dari soal utang. Pemerintahan yang berkuasa sejak Orde Baru hingga masa reformasi sibuk mencari pinjaman, melunasi utang pokok dan mencicil bunga utang. Kemerdekaan macam apakah ini? Bukankah ini bentuk ketidakmerdekaan?

Anda pun bisa membayangkan bila memiliki Utang. Anda bisa dikendalikan bila si pemberi utang menuntut macam-macam ketika Anda benar-benar membutuhkan pinjaman lagi  apalagi utang-utang sebelumnya belum dilunasi. Pinjaman baru tentu akan diikutsertakan juga syarat-syarat lain yang mengikat dan bisa mengabaikan kedaulatan nasional. Sebagai negara yang punya utang, apakah bisa bermartabat ketika menjalankan politik pergaulan dunia terlebih dengan negara-negara yang memberikan pinjaman?

Karena itu sangat dihargai segala usaha untuk mengatasi persoalan Utang Republik ini. Kepiawaian  Pemerintahan Jokowi-JK  mengatasi persoalan utang ini ditunggu karena persoalan utang inilah yang  menghambat laju Trisakti.

Betapa mengharukan dan memprihatinkan ketika kita mendengar keributan di antara para arkeolog kita berkenaan dengan benda-benda bersejarah bawah air. Keributan itu sebagian  dialaskan pada bahwa penjualan benda-benda bersejarah muatan kapal bisa melunasi utang Indonesia (Kompas, 7 Oktober 2014).

Tanri Abeng, menteri BUMN Orde Baru menjelang keruntuhannya, mempunyai Solusi Tuntas Utang Negara (Kompas, 10 Oktober 2014). Solusinya didasarkan pada ucapan Soeharto sesudah membungkuk di depan Michelle Camdesus saat menandatangani letter of intent, bantuan dana pada 15 Januari 1998 yang kemudian mendikte perekonomian kita. “Jangan takut utang, kita masih punya banyak BUMN.”

Utang jelas menyebabkan kita semakin terjajah. Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan Pos Pembangunan dengan uang pinjaman. Secara teori, utang diperbolehkan hanya untuk kegiatan produktif sehingga dengan produksi diharapkan dapat mengembalikan utang dan menghasilkan keuntungan. Tetapi yang terjadi utang semakin menumpuk dan terus ditambah untuk membiayai pembangunan lebih tepatnya jalannya pemerintahan yang berkuasa. Mulailah berpikir dan menyusun strategi untuk menyelesaikan utang luar negeri sehingga kita bisa membangun bangsa dengan tenang dan terencana.

Atau pemerintahan sekarang ini akan mengulangi ucapan Soeharto dengan alasan baru: “Jangan takut utang, kita masih punya banyak pulau dengan kandungan sumber daya alam…?”

AJ Susmana, Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)

[post-views]