Harga Tandan Buah Segar (TBS) Sawit menurun drastis sehingga memicu terjadinya perlawanan petani Sawit di beberapa daerah seperti yang terjadi di Desa Singkung 1, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara.
Para petani tersebut memprotes harga TBS yang menurun drastis. Sementara di Provinsi Sulawesi Barat, petani Sawit akan melakukan hearing dengan DPRD Provinsi Sulawesi Barat. Harga yang telah disepakati antara Dinas Perkebunan Sulbar bersama pabrik kelapa Sawit sebesar 2.278,44/kg tidak diberlakukan sehingga harga TBS per 29-30 April 2023: Rp 1660/kg.
Harga di tingkat pabrik yang ada di Provinsi Bangka Belitung pasca lebaran Idul Adha kemarin menurun hingga Rp 1.760/kg. Sedangkan di tingkat pengepul hanya dihargai Rp 1450/kg dan jika ditimbang langsung di perkebunan seharga Rp 1.400/kg. Sedangkan di Provinsi Riau yang merupakan daerah patokan harga tertinggi di Indonesia pun hanya berada di level Rp 2.390/kg.
Merosotnya harga TBS Sawit ini membuat pendapatan petani Sawit menurun dan berdampak pada perekonomian mereka karena mulai kesulitan untuk membeli kebutuhan pokok sehari-hari dan kesulitan untuk membayar biaya pendidikan anak-anaknya. Petani Sawit juga tidak ada pilihan lain selain harus tetap menjual TBS Sawit dengan harga murah sebab jika tidak, Sawit akan busuk dan rusak sehingga tidak akan bisa dimanfaatkan lagi.
Perlu kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan negara pengekspor Minyak Sawit mentah (CPO) terbesar di dunia: produksi Minyak Sawit mencapai angka 22 juta ton per tahun. Akan tetapi, tingginya angka produksi tidak dapat membuat petani Sawit sejahtera. Justru hasil panen Sawit petani dibeli dengan harga yang sangat murah.
Hal tersebut terjadi karena Perusahaan Sawit dikuasai oleh asing dan swasta, sehingga isi kepalanya hanya berputar pada logika profit dan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Akibatnya orientasi produksi Sawit bukan lagi ditujukan untuk kepentingan nasional, melainkan untuk melayani kepentingan ekspor.
Perkebunan Sawit merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Ada ribuan petani Sawit yang menggantungkan hidupnya pada perkebunan Kelapa Sawit, maka kita tidak bisa mengesampingkan begitu saja.
Jalan yang harus dilakukan adalah mengubah sistem kepemilikan dan orientasi produksinya. Sudah saatnya Perusahaan Sawit dikuasai dan dikelola oleh negara. Dengan begitu transaksi jual-beli TBS Sawit akan saling menguntungkan satu sama lain antara pihak pengelola dalam hal ini negara dan petani.
Selain itu, sudah saatnya orientasi produksi Sawit ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan nasional. Pemerintah harus berpikir untuk membangun sebuah industri untuk pengolahan Sawit dan produk turunannya. Taktik ini bisa dijadikan alat untuk penyediaan basis yang bertujuan untuk pengembangan industri nasional, akan membuka lapangan pekerjaan, dan akan menjadi nilai tambah di dalam negeri.
Feby Rahmayana, Pengurus EN-LMND


