Barangkali orang tak bisa membayangkan bagaimana seorang pemusik jazz, dan bahkan para niyaga atau para penabuh gamelan Jawa, mendengar pekik “merdeka,” apakah ia akan seperti para pemusik rock and roll, punk dan bahkan grunge?
Tak perlu kiranya menjawab pertanyaan seperti itu, namun satu hal yang dapat ditangkap, bahwa tak selamanya istilah merdeka atau kemerdekaan bersifat kognitif. Dan pada aras inilah tampaknya telaah para eksistensialis lebih dapat menangkap arti kemerdekaan.
Saya sendiri pada dasarnya tak pernah cocok dengan eksistensialisme, namun salah satu perspektif dalam filsafat itu rasanya akan lebih dapat memaknai arus sejarah, baik sejarah politik maupun sejarah-sejarah lainnya, apalagi ketika orang beringsut pada era revolusi industri 4.0 yang dari geliatnya seolah menghendaki manusia dan kehidupannya sesempurna mesin.
Eksistensialisme pada dasarnya memang lebih dekat dengan kesenian daripada politik. Lihatlah para pemikir yang mempopulerkannya, dari mulai Sartre, Camus, dst., adalah juga orang-orang yang dikenal sebagai seniman. Dan secara sekilas, eksistensialisme sepertinya memang bertolak-belakang dengan politik, apalagi ketika politik itu menuntut atau bahkan mengabsahkan inotentisitas.
Otentitas, pada dasarnya, dapat pula dikenakan pada “kepolosan,” ibarat warna hitam tanpa motif apapun di atasnya. Maka sangat menarik ketika orang menyingkap gerakan-gerakan yang identik dengan lambang-lambang otentitas pada sesuatu yang sebenarnya juga direpresentasikannya: “kepolosan.” Fakta telanjang kepolosan, dalam logika gerakan-gerakan eksistensialis semu ini kemudian dibangun sedemikian rupa agar tampak tak polos sebagai alasan untuk memuntahkan sikap-sikap yang dianggap eksistensial.
Seorang eksistensialis semu, barangkali, akan menilai pernyataan yang sebenarnya berakar dari rahim kebudayaan sendiri, sebagaimana pernyataan “jauh dari sempurna,” dan karena itu “meminta maaf,”—yang seandainya mereka rajin menghadiri kondangan di pedesaan Jawa bukanlah hal yang ganjil untuk dinyatakan—, sebagai sebentuk inotentisitas yang jauh dari segala kegagahan meskipun ngenas.
Maka, sampai di sini dapat dipertanyakan, benarkah gerakan-gerakan yang penuh dengan atribut otentisitas itu benar-benar berakar atau otentik di masyarakat?
Sebagaimana kemerdekaan di tangan para pemusik rock and roll, jazz ataupun para niyaga, eksistensialisme rupanya juga berbeda di tangan Sartre atau Camus dan Ki Ageng Suryomentaram, dimana kesemuanya memiliki kalimatus sawa’ pada apa yang orang Jawa kenal sebagai “karep.”
Justru, di tangan seorang eksistensialis Jawa seperti Ki Ageng Suryomentaram, rasa diri atas ketaksempurnaan diri adalah ciri dari orang yang selalu “nyawang karep” yang konon selalu “mulur” dan “mungkret.” Dan pada titik inilah pada dasarnya politik adalah juga sebentuk aktifitas “karep” dimana politisi yang dikenal ulung adalah seorang politisi yang jeli dalam kegiatan “nyawang karep.”
Penulis: Heru Harjo Hutomo
Foto: Bing Image Creator


