Rejim SBY-Budiono Dan Goebbels

Joseph Goebbels, ahli propaganda Hitler itu, sepertinya menjadi guru sejumlah pejabat politik di Indonesia. Salah satu prinsip propaganda Goebbels yang diikuti dengan baik pejabat politik Indonesia itu adalah bagaimana menyebarluaskan berita kebohongan melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan itu dianggap kebenaran. Salah satu perkataan Joseph Goebbels: Berbohonglah sebanyak-banyaknya, akhirnya orang akan mempercayai kebohonganmu!

Ini nampak sekali dalam penjelasan pemerintah mengenai kenaikan harga BBM. Alasan yang paling sering digunakan adalah kenaikan harga minyak dunia dan defisit APBN. Argumentasi ini berkali-kali dibantah dan dipatahkan. Tetapi pemerintah tetap saja menggunakan argumentasi ini dan memprogandakannya kemana-mana.

Pertama, argumentasi tentang kenaikan harga BBM itu terlalu dangkal. Kenapa pemerintah tidak pernah mengoreksi kebijakan pengelolaan energinya yang telah mengubah Indonesia menjadi negara pengekspor (net-eksportir) minyak menjadi negara pengimpor minyak (net-importir).

Kenapa tidak ada pendiskusian tentang upaya menaikkan produksi minyak mentah siap jual (lifting), misalnya. Di jaman SBY, lifting minyak Indonesia terus merosot. Sebelum SBY berkuasa pada tahun 2004, lifting minyak nasional masih berkisar 1,4 juta barel perhari. Namun, pada akhir 2011 lalu, produksi minyak Indonesia hanya 905.000 barel perhari. Bahkan, pada tahun 2012 ini, produksi minyak cuma berkisar 890.000 barel perhari.

Juga tidak ada pendiskusian mengenai penguasaan mayoritas—konon 80-90%–lapangan migas Indonesia oleh pihak asing. Bukankah hal itu bisa berakibat asing menguasai produksi migas Indonesia. Inilah yang pernah dikhawatirkan oleh Mohammad Hatta, mantan Wakil Presiden RI yang pertama, mengenai “tampuk produksi dikuasai oleh pihak asing”. Kekhawatiran Bung Hatta itu sangat masuk akal: motif modal asing adalah mencetak keuntungan. Jika mereka sudah menguasai tampuk produksi, maka fungsi sosial produksi pun akan hilang. Rakyat banyak pun akan dikorbankan.

Sebetulnya, harga minyak dunia tidak bisa lagi dijadikan patokan. Sebab, harga minyak dunia sekarang tidak murni ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. F.William Engdahl, seorang peneliti dari Global Research, membuktikan bahwa kenaikan harga minyak dunia sekarang banyak ditentukan oleh aksi spekulasi. Menurut Engdahl, harga minyak dunia meroket akibat tekanan spekulan di pasar minyak berjangka oleh hedge fund dan bank-bank besar seperti Citigroup, JP Morgan Chase dan Goldman Sachs. Indonesia harus berani menerobos “pakem” hukum besi ekonomi global yang dikuasai oleh segelintir tangan yang tidak mengenal batas kepuasan dalam mengumpulkan kekayaan.

Kedua, kalau persoalannya defisit APBN, kenapa persoalannya yang utak-atik adalah subsidi BBM dan subsidi rakyat lainnya. Kenapa pemerintah tidak pernah mengutak-atik pemborosan anggaran pada pos yang lain: belanja rutin aparatus negara, pembayaran cicilan utang luar negeri, dan lain sebagainya.

Subsidi BBM hanya berkisar Rp123,6 Triliun atau sekitar 9% dari total APBN. Anggaran subsidi BBM ini sangat kecil dibanding dengan anggaran untuk membiayai 4,7 juta orang aparatus negara yang mencapai Rp. 215,7 trilyun. Anggaran subsidi BBM ini juga lebih rendah dari dari anggaran pembayaran utang yang, pada tahun 2010, misalnya, mencapai Rp 215.546 triliun.

Kalau APBN jebol, kenapa pemerintah tidak menyerukan penghematan belanja birokrasi: menghentikan pembelian pesawat Kepresidenan, menghentikan pembelian mobil dinas, moratorium kunjungan atau studi banding keluar negeri, menghentikan pembangunan gedung pemerintah baru dan rumah dinas baru, dan lain-lain. Kenapa rakyat yang selalu dipaksa mengencangkan ikat pinggang, sedangkan pejabat dan keluarganya asyik berfoya-foya dengan menghambur-hamburkan uang negara.

Kenapa pemerintah tidak mau berterus-terang bahwa pembatasan subsidi BBM adalah anjuran lembaga-lembaga asing, seperti OECD, Bank Dunia, IMF, ADB, dan USAID. OECD, misalnya, sudah mengharuskan pemerintah Indonesia menghapus subsidi BBM paling lambat hingga tahun 2014.

Bukankah forum G-20, dimana Indonesia menjadi anggotanya, juga sudah memerintahkan seluruh anggotanya untuk menghapus subsidi BBM sebagai jalan menuju efisiensi dan perubahan iklim. Bukankah di forum G20, di Di Gyeongju, Korea Selatan, Pemerintah Indonesia menjanjikan akan melaksanakan penghapusan subdisi energi, khususnya BBM dan TDL, akan dimulai pada tahun 2011.

Rejim yang berkuasa di Indonesia enggan disebut neoliberal. Ironisnya, hampir semua kebijakan ekonomi dan politiknya sangat neoliberal. Jadinya, supaya kebijakan neoliberalnya tidak dianggap neoliberal, maka rejim SBY membumbuinya dengan argumentasi-argumentasi yang seolah-olah populis. Padahal, sebagian besar argumentasi itu adalah kebohongan besar!

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid