Ana kayu apurwa sawiji
Wit buwana epang keblat papat
Agegodhong mega tumembe
Apradapa kekuwung
Kembang lintang segara langit
Sami andaru kilat
Who surya lan tengsu
Asirat bun lawan udan
Apepuncak akasa bungkah pertiwi
Oyote bayu bajra
—Sunan Kalijaga
Agama memang kerapkali hadir dengan cabang dan ranting daripada akar pohon atau bahkan bijinya, meskipun dalam sejarahnya ada juga yang menyajikan dahulu akar atau bahkan biji pohon itu. Pengutamaan cabang dan ranting dalam beragama, ketika agama itu ditarik pada ranah sosial dan dipakai sebagai ukuran dalam relasi-relasi sosial, banyak mengakibatkan penyimpangan-penyimpangan konstitusi: diskriminasi, perendahan-perendahan sosial, dan bahkan perundungan.
Pengutamaan cabang ataupun ranting dari suatu pohon agama itulah yang dikenal sebagai formalisasi agama yang, karena terlalu peduli pada bentuk, membuka ruang bagi hadirnya berbagai perkara yang mengiringinya. Di samping perkara ketaksesuaian dengan tempatnya berpijak, formalisasi agama itu pada gilirannya juga akan menentukan relasi-relasi sosial yang dapat terbangun.
Pada isu-isu terkini, tak sekedar kebijakan yang meletakkan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai tempat di mana semua agama yang diakui negara dapat memanfaatkannya, setidak untuk urusan perkawinan, ada banyak kasus formalisasi agama yang justru meletakkan suatu agama sebagai sebuah masalah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pada ranah politik, aspirasi, anjuran atau bahkan desakan untuk memilih pemimpin yang tampak agamis secara formal yang terbukti menyebabkan polarisasi ideologis dan pembelahan sosial, ternyata masih tampak dominan dalam kehidupan berpolitik di Indonesia—meskipun pada kenyataannya tak pernah menang pula secara formal.
Pada kelompok-kelompok rentan dalam isu formalisasi agama, perempuan dan anak-anak ternyata banyak mendapatkan efek sampingnya. Taruhlah perkara jilbab pada para perempuan yang ternyata sampai hari ini masih menjadi ukuran, hal-ihwal, relasi-relasi sosial yang dapat terjadi. Tuntutan untuk tampak agamis pada golongan perempuan, yang secara picik diukur dengan pemakaian jilbab, pada kenyataannya masih menjadi permasalahan utama dalam pergaulan keseharian.
Hal paling konyol pun, pada masalah formalisasi agama, khusunya pada anak-anak, istilah-istilah atau bahasa Arab, ternyata juga masih secara tolol dipandang sebagai representasi dari suatu agama dan bahkan dapat menunjukkan tingkat keagamisan seorang anak.
Memang semua itu masih banyak terjadi di wilayah etik yang pada dasarnya bersifat seluwes kondom. Namun, siapa pun pasti mengakui, bahwa meskipun masih menjadi sanksi-sanksi sosial atau sanksi-sanksi etik (yang jelas-jelas masih dapat diperdebatkan), itu semua mengganggu.
Pilpres 2024, dengan drama besarnya soal “etika” dan “etik,” ketika bergulir tanpa kewaspadaan, secara potensial akan mampu membuka ruang perkara etik itu menjadi perkara hukum. Atau dengan kata lain, ketika ini semua tak dapat tertangani dengan baik, maka permasalahan formalisasi agama itu tak sekedar lagi menjadi masalah etik, namun akan menjadi masalah hukum, misalnya, dengan terbitnya berbagai perda syari’ah.
Dengan demikian, ketika formalisasi agama yang lebih banyak berdampak buruk daripada baiknya itu masih terjadi di wilayah etik, maka substansialisasi agama pada kelompok-kelompok rentan adalah suatu ikhtiar yang perlu ditempuh untuk meningkatkan ketahanan diri dan sosial mereka.
Meniti cabang ataupun ranting dari suatu pohon untuk menggapai akar dan bahkan bijinya memang terlihat lebih sederhana, aman, dan nyaman. Namun sangat jarang, ketika orang melakukan itu, ada yang sampai menggapai akar atau bahkan sang biji. Lazimnya, bentuk cabang ataupun ranting yang berkelok-kelok, memutar, berkelindan, berpotensi untuk memukau orang untuk berpuas diri atau kandheg.
Heru Harjo Hutomo: penulis, perupa, pemusik, dan pemerhati radikalisme-terorisme
Foto : Green D (Religion – Bing.com)


