Kanti Utami, Potret Perempuan Di Bawah Kemiskinan Struktural dan Patriarki

Kasus filisida (felicide) atau pembunuhan anak sendiri kembali terjadi. Kejadian pilu ini dilakukan oleh seorang ibu di Brebes, Jawa Tengah, pada tiga anaknya.

Kanti Utami, nama sang ibu, rela menggorok tingga anaknya dengan pisau. Dari pemberitaan sejumlah media, pelaku diduga mengalami depresi sehingga melakukan tindakan tersebut.

Ini bukan kejadian baru. Meski Indonesia belum punya data konfrehensif tentang filisida, tetapi kasusnya berulang terjadi. Tahun 2020, di Nias, Sumatera Utara, seorang ibu juga menggorok tiga anaknya hingga tewas.

Di Klaten, Jawa Tengah, seorang ibu membakar diri bersama anak-anaknya. Di Lumajang, Jawa Tengah, seorang ibu mengajak anak-anaknya menenggak racun tikus. Ada banyak kejadian serupa: Surabaya pada 2012, Bojongsoang pada 2012, Cakung 2013, Bandung pada 2014, Jakarta Barat pada 2017, Ogan Komering Ulu dan Manado pada 2018, Jakarta Barat pada 2019, dan Surabaya pada 2021.

Ada banyak respon terhadap kasus Kanti dan kasus-kasus serupa. Tak banyak yang menyebutnya iblis. Tapi tak sedikit juga yang berusaha menyingkap latar belakang di balik kejadian itu.

Dari banyak kasus filisida, sebagian besar didorong oleh faktor kemiskinan. Faktor pendorong lainnya adalah ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Tidak sedikit juga karena faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Mari melihat kasus ini agak jernih, agar bisa melihat pangkal masalahnya, sehingga negara bisa mencegah kejadian seperti ini untuk berulang.

Kemiskinan Struktural

Kemiskinan berkontribusi besar pada kasus filisida. Pada kasus Kanti, ia mewakili rumah tangga paling miskin di Indonesia. Jangankan bermimpi tentang masa depan, demi hak dasar saja mereka kesulitan.

Kanti mewakili wajah perempuan yang terjerembab dalam kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang dialami  oleh kelompok sosial tertentu karena faktor struktur sosial, ekonomi, dan politik.

Ada beberapa faktor yang membuat perempuan terjerembab dalam kemiskinan struktural.

Pertama, sebagian besar perempuan menempati pekerjaan tidak bayar (unpaid work), seperti kerja domestik dan kerja perawatan. Sebagian besar perempuan Indonesia berstatus sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT), yang melakukan kerja-kerja domestik tidak dibayar.

Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), jumlah perempuan usia 15 tahun ke atas yang bekerja mengurus rumah tangga mencapai 36,67 persen, sedangkan laki-laki hanya 3,99 persen.

Kedua, kesempatan kerja dan upah  yang tidak adil. Anggapan patriarkal menghalangi perempuan untuk keluar rumah dan bertindak sebagai pelaku ekonomi. Hanya 51,88 persen perempuan Indonesia berusia 15 tahun ke atas menjadi bagian tenaga kerja (KPPPA, 2019).

Begitu juga dengan upah. Laporan Kementerian KPPPA pada 2019 menyebutkan, rata-rata pekerja laki-laki menerima upah Rp 3,06 juta, sedangkan perempuan hanya Rp 2,39 juta.

Ketiga, sebagian besar pekerja perempuan bekerja di sektor informal, yang sebagian besar upahnya di bawah UMP dan tidak mendapat jaminan sosial. Dari jumlah perempuan bekerja, sebagian besar (61,80 persen) bekerja di sektor informal (KPPPA, 2019).

Faktor-faktor itu berkontribusi pada kemiskinan yang berwajah perempuan. Maksudnya, jumlah orang miskin yang dari gender perempuan lebih banyak dari laki-laki. Dari data kemiskinan berdasarkan gender oleh BPS tahun 2021, jumlah perempuan miskin mencapai 10,37 persen, sedangkan laki-laki 9,92 persen.

Konstruksi Patriarki

Konstruksi sosial patriarki juga berkontribusi pada kasus filisida. Dalam masyarakat patriarkis, perempuan seperti Kanti ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua, yang rentan terhadap diskriminasi.

Dari rekaman video yang beredar, Kanti mengaku kerap menerima perlakuan diskriminatif dan kekerasan sejak kecil. Dia mengaku pernah dikurung, bahkan diancam mau dibunuh.

Karena konstruksi patriarkis juga, perempuanlah yang dianggap paling bertanggung jawab terkait urusan rumah tangga, termasuk urusan pangan, kontrakan, hingga anak-anak.

Posisi itu tidak menguntung perempuan. Misalnya, ketika terjadi kesulitan ekonomi, yang membuat anggota rumah tangga kesulitan mengakses kebutuhan dasarnya, maka perempuanlah yang harus menanggung beban dan pusing tujuh keliling.

Situasi inilah yang kerap memicu konflik dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga.

Selain itu, patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai “raja” dalam rumah tangga juga kerap berujung pada banyaknya kasus KDRT.

Komnas Perempuan mengungkapkan, sepanjang tahun 2004-2021 terdapat 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga, dimana sebanyak 70 persen korbannya adalah perempuan/istri.

Komnas Perempuan juga mencatat, KDRT membawa dampak ketakutan, penderitaan berat, hingga gangguan psikososial pada korban.

Menghentikan Filisida

Menghentikan filisida berarti menyelesaikan akar masalahnya, terutama kemiskinan dan ketidaksetaraan dalam rumah tangga.

Dalam hal ini, negara perlu memastikan setiap warga negara bisa mengakses kebutuhan dasarnya, seperti makanan bergizi, rumah layak huni, air bersih, sandang, pendidikan, pelayanan kesehatan, lingkungan yang sehat, dan pekerjaan dengan upah layak.

Dalam konteks perempuan, negara perlu membuat kebijakan ekonomi yang memihak pada kesetaraan gender, seperti mendorong partisipasi kerja yang setara antara laki-laki dan perempuan. Lingkungan kerja yang ramah pada perempuan. Juga kesempatan karir dan upah yang adil.

Selain itu, negara perlu terus mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan. Mengingat sebagian besar pelaku UMKM di Indonesia adalah perempuan (64,5 persen), maka seharusnya negara memikirkan bentuk dukungan ekonomi bagi usaha perempuan, dari dukungan modal, teknologi, hingga pemasaran.

Terakhir, untuk memerangi kekerasan yang terjadi di dalam rumah, negara harus aktif memperkuat payung hukum dalam melindungi perempuan dan anak-anak dari kekerasan dalam rumah tangga.

Masih ada kasus korban KDRT justru dikriminalisasi. Ini yang menimpa seorang ibu rumah tangga di Karawang, Jawa Barat, pada November tahun lalu.

Selain itu, ada kebutuhan untuk semakin mendemokratiskan rumah tangga, dengan menciptakan relasi yang setara, pembagian kerja yang adil, dan pengambilan keputusan yang melibatkan semua anggota keluarga.

RINI HARTONO, pelaku usaha kecil, penulis, dan pemerhati isu-isu perempuan

[post-views]