Negara Takluk oleh Oligarki Sawit

Tikus mati di lumbung padi. Pepatah itu selalu menjadi kutukan bagi negeri ini tatkala berhadap-hadapan dengan krisis pangan. Tidak terkecuali saat minyak goreng menjadi barang langka di negeri ini.

Memang ironis, lebih dari  15 juta hektar daratan negeri ini (lebih luas dari pulau Jawa yang hanya 12,8 juta hektar) ditanami sawit. Produksi sawitnya pun melimpah: 46,8 juta ton pada 2021 atau 58 persen dari total produksi sawit minyak dunia. Seharusnya, dengan angka-angka menakjubkan itu, minyak goreng tidak langka di negeri ini.

Namun, sejak akhir 2021, harga minyak goreng melambung tinggi. Data BPS menunjukkan, harga minyak goreng pada Desember 2021 mencapai Rp 21.125 per liter. Harga itu naik 34 persen dibanding Desember 2020.

Garang di Atas Kertas

Negara merespon kenaikan itu agak telat. Baru pada 3 Januari 2022, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi untuk mengambil langkah-langkah politik untuk menstabilkan harga minyak goreng.

Akhirnya, pada 19 Januari 2022, pemerintah menerapkan kebijakan satu harga minyak goreng sebesar Rp14.000 per liter. Demi menyokong kebijakan itu, negara menggelontorkan Rp7,6 triliun dari dana Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Rupanya, kebijakan itu tidak efektif. Akhirnya, pada pengujung Januari 2022, pemerintah mengeluarkan jurus baru, yaitu menetapkan harga eceran tertinggi (HET), wajib pasok dalam negeri/domestic market obligation (DMO) sebesar 30 persen, dan ketentuan harga dalam negeri/domectic price obligation (DPO).

Kebijakan DMO harusnya membuat stok minyak goreng tercukupi. Di atas kertas, dalam kurun waktu 14 Februari hingga 16 maret 2022, beleid DMO mengumpulkan 720.612 ton produk sawit (dari rencana ekspor 3,5 juta ton). Klaim Kemendag, dari jumlah DMO itu, sudah disalurkan 551.069 ton atau 570 juta liter.

Sementara kebutuhan nasional kita di kisaran 327 ribu ton per bulan. Atau, kalau diandaikan setiap warga RI membutuhkan 1 liter minyak goreng per bulan, maka dibutuhkan 273 juta liter per bulan. Sekali lagi, di atas kertas, pasokan dari DMO itu seharusnya sudah jauh lebih dari cukup.

Dengan kebijakan DMO dan DPO di hulu, lalu dikawal dengan HET di hilir, seharusnya minyak goreng bisa sampai ke rakyat dengan jumlah dan harga sesuai HET (minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan premium Rp 14.000 per).

Kenyataannya, minyak goreng menghilang di pasaran. Kelangkaan minyak goreng terjadi di seantero negeri, yang membuat rakyat berjubel antri minyak goreng, bahkan menyebabkan korban jiwa di Kalimantan Timur.

Berhadap-hadapan dengan potensi gejolak sosial dan politik akibat kelangkaan minyak goreng, pemerintah pun kelabakan. Jalan pintas pun dipilih: mencabut HET dan DMO, lalu menyerahkan harga minyak goreng ke mekanisme pasar.

Lucunya, tak menunggu lebih dari 24 jam pasca kebijakan pemerintah itu, rak-rak minimarket dan ritel-ritel modern lainnya tiba-tiba dipenuhi minyak goreng. Dalam sekelebat, minyak goreng kembali melimpah.

Bisa disimpulkan, selama ini ada pihak yang sengaja menahan stok minyak goreng demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Mereka bukan mafia kecil-kecil yang sekedar memanfaatkan aji mumpung, melainkan kekuatan ekonomi predatoris yang terorganisir.

Negara yang seharusnya hadir untuk mengoreksi penyimpangan pasar, termasuk meringkus para spekulan dan penimbun, justru menyerah takluk. Negara kalah pada kekuatan ekonomi predatoris.

Kebijakan DMO seharusnya efektif kalau dikawal dengan ketat. Tidak cukup dengan bukti  realisasi distribusi berupa purchase  order, delivery order, dan faktur pajak. Pemerintah seharusnya tak mengandalkan self-reporting.

Kita tak mau berburuk sangka. Namun, di negeri yang sistem politik dan hukumnya sangat korup, apa yang tak mungkin untuk dimanipulasi.

Demi mengantisipasi itu, seharusnya kendali pasokan dan distribusi DMO diambil alih oleh pemerintah dengan menugaskan BULOG.

Konsentrasi Kepemilikan

Ketika menyerahkan harga minyak goreng ke mekanisme pasar, juga ketika Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi koar-koar tentang mafia minyak goreng, ada hal mendasar yang justru tidak diusik: struktur pasar yang dikuasai segelintir pelaku usaha.

Berdasarkan catatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), ada empat grup bisnis raksasa yang menguasai 46,5 persen minyak goreng. Mereka menguasai dari hulu ke hilir (terintegrasi), dari perkebunan, pengolahan CPO, hingga pabrik minyak goreng.

Keempat grup bisnis itu adalah Sinar Mas Group (keluarga Widjaya), Wilmar Group (Martua Sitorus), Indofood (Anthony Salim), dan Musim Mas (Bachtiar Karim). Para pemiliknya masuk dalam daftar orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes.

Masalahnya lagi, konsentrasi kepemilikan itu tidak hanya terjadi di hilir, tetapi juga di hulu.

Di Indonesia, lebih dari 56 persen lahan sawit dikuasai oleh pemain swasta, sedangkan BUMN hanya 4 persen. Dari jumlah itu, ada 25 grup usaha besar menguasai 51 persen atau 5,1 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia (TUK, 2015).

Empat grup bisnis menguasai industri minyak goreng merupakan grup yang sama yang menguasai lahan sawit di hulu. Jadi, mereka menguasai hulu hingga ke hilir, dari pasokan CPO, pengolahan, hingga distribusi.

Situasi ini yang membuat minyak goreng bisa tiba-tiba hilang atau tiba-tiba melimpah di pasar. Kendali segelintir tangan dari hulu hingga ke hilir yang menciptakan kelangkaan yang disengaja atau kelangkaan semu.

Tidak mengherankan kalau dugaan kartel itu sangat kuat. Seharusnya, kalau KPPU bekerja dengan efektif dan tanpa pandang bulu, praktek kartel itu bisa dibongkar.

Permainan Oligarki

Namun, lebih besar dari isu kartel dan konsentrasi kepemilikan ini, ada isu oligarki. Bisnis sawit dan sektor ekstraktif lainnya telah menjadi basis ekonomi-politik bagi kekuasaan oligarki di Indonesia.

Dari 40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes, ada 15 diantaranya yang menumpuk kekayaannya dari bisnis sawit. Kalau diperkecil potretnya, 6 dari 10 orang terkaya adalah konglomerat sawit.

Temuan dari TuK Indonesia, kekayaan dari 29 konglomerat sawit Indonesia setara dengan 67 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017.

Dilihat dari sejarah dan basis ekonomi-politiknya, oligark Indonesia bercorak ekstraktif. Dari zaman Hindia-Belanda hingga 76 tahun merdeka, ekonomi Indonesia berkubang pada ekstraktivisme, yaitu kegiatan ekonomi yang bertumpu pada SDA dan dijual dalam bentuk mentah ke pasar dunia. Faisal Basri menyebutnya:  keruk, jual. tebang, jual. petik, jual.

Karena hanya jualan bahan mentah, tak melalui proses pengolahan, maka tak menghasilkan nilai-tambah. Demi memaksimalkan keuntungan, ekstraktivisme membutuhkan intervensi politik untuk meminimalkan biaya operasional dan memaksimalkan keuntungan.

Sektor ekstraktif selalu membutuhkan mekanisme politik, mulai dari soal perizinan, pembebasan lahan, pengamanan saat beroperasi, insentif, keringanan pajak, kemudahan ekspor, dan lain-lain. Itu yang menyebabkan sektor ini sangat berkelindan dengan ekonomi rente dan kapitalisme kroni.

Sering terjadi, pada lapangan praktek, demi memuluskan mekanisme-mekanisme politik itu, terjadi apa yang disebut “politik ijon”, sebuah kesepakatan tertutup antara pengusaha dan politisi (parpol/kandidat) terkait pembiayaan politik yang nantinya berbalas jaminan keberlangsungan investasi.

Jadi, si pengusaha bersedia membiayai parpol/kandidat. Setelah parpol/kandidat itu berkuasa, mereka akan membalas dukungan pengusaha itu dengan kemudahan dan jaminan berinvestasi, dari soal perizinan, pembebasan lahan, keamanan, dan lain-lain.

Tidak mengherankan, ada banyak perizinan investasi di Indonesia ini, terutama pertambangan dan kehutanan, yang tidak clean and clear. Ada banyak kepala daerah (gubernur/bupati) yang tersangkut korupsi di sektor ekstraktif.

Pada level lebih tinggi, oligark bisa mengendalikan sebuah negara dalam perangkap “state capture corruption”, yakni bentuk korupsi sistemis di mana kebijakan publik cenderung diarahkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dari sebagian kecil anggota masyarakat (oligark). Indikasi ini sangat kuat terbaca dalam kasus revisi UU KPK, revisi UU Minerba, dan pengesahan UU Cipta Kerja.

Singkat cerita, kegagalan pemerintah mengendalikan pasokan dan harga minyak goreng hanyalah potret kecil dari kendali oligarki atas negara ini. Persoalan kartel dan pasar yang oligopoli hanyalah tampilan permukaan dari dominasi oligarki.

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid