Ingat Sekolah Rakyat, Ingat Tan Malaka…

Memasuki abad ke-20, di Hindia-Belanda memang sudah berdiri banyak sekolah. Namun, mereka yang bisa mengakses sekolah itu hanya orang keturunan Eropa dan segelintir rakyat jajahan.

Di sisi lain, agar bisa mengejar kemajuan, rakyat jajahan mesti diberi pengetahuan. Seperti dikatakan tokoh pencerahan Indonesia, Kartini: “pemberian pendidikan yang baik kepada anak Negeri sama halnya dengan memberi lentera di tangannya, agar dia menemukan sendiri jalan yang benar menuju hidup mulia dan bermartabat.”

Hanya saja memang, disamping diskriminatif dan eksklusif, pendidikan kolonial itu tidak berorientasi memajukan rakyat Indonesia. Pendidikan kolonial berorientasi pada pemenuhan tenaga terdidik untuk industri dan adminisrasi kolonial. Disamping itu, pendidikan kolonial juga memisahkan anak didik dan rakyat banyak.

Melihat kondisi itu,  pada 1921, SI cabang Semarang mendirikan sekolah alternatif bagi rakyat. Namanya SI school atau Sekolahan SI Semarang. Tan Malaka, yang baru bergabung dengan SI cabang Semarang kala itu, menjadi pengajar utama di sekolah ini.

SI Semarang memang sudah lama bersuara lantang soal pendidikan. Dalam koran propaganda SI Semarang, Sinar Hindia, bertanggal 23 Agustus 1921, disebutkan bahwa sejak tahun 1916 SI cabang Semarang sudah mengusulkan agar pengajaran rakyat Hindia diatur dengan secara standenschool (sekolah negeri). Lalu pada tahun 1917, SI mengusulkan agar semua rakyat tanpa pengecualian bisa diterima di HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Pasalnya, sekolah milik kolonial Belanda zaman itu hanya menerima anak dari keturunan bangsawan dan pegawai tinggi.

Semua usulan SI semarang itu diabaikan penguasa kolonial. Akan tetapi, SI semarang juga menyadari, bahwa tidak mungkin penguasa kolonial mau menyelenggarakan sebuah sistem pengajaran yang mencerdaskan seluruh rakyat. “Keperluan rakyat pertama-tama harus diperhatikan oleh rakyat sendiri dan dengan kekuatan rakyat sendiri,” begitulah sikap SI Semarang.

Muncullah ide membuat sekolah sendiri. Dan, berkat andil Tan Malaka dan Semaun, ide itu berhasil diwujudkan tahun 1921. Tan Malaka sendiri adalah alumnus Kweekschool (Sekolah Guru) di Negeri Belanda. Ia banyak makam asam garam soal sistem pengajaran.

Menurut Hary A Poeze, Tan Malaka mendapatkan inspirasi mengenai sekolah SI ini dari Belanda dan Rusia. Kata Poeze, Tan sempat membaca tulisan seorang Rusia mengenai kurikulum sekolah komunis. Selain itu, kata Poeze, Tan juga mendapat pengalaman saat bekerja di perkebunan tembakau di Deli.

SI School itu resmi dibuka tanggal 21 Juni 1921. Pendaftar pertamanya berjumlah 50-an orang. Koran Soeara Ra’jat, yang memberitakan pembukaan Sekolah SI tersebut, menyebutkan bahwa sekolahan baru tersebut menggunakan ruang rapat SI semarang sebagai ruang belajar.

Saat pembukaan sekolah, beberapa anak bercelana merah berdiri membentuk saf di depan hadirin. Tak lama kemudian mereka menyanyikan lagu Internasionale, lagu kelas pekerja sedunia. Beberapa hadirin menitikkan air mata saat menyaksikan kejadian itu. Tak lama kemudian, sorak dan tepuk tangan bergemuruh menyambut defile yang dilakukan anak-anak sekolahan SI tersebut.

Dalam artikelnya SI Semarang dan Onderwijs, Tan Malaka menjelaskan bahwa sekolah SI ini sangat berbeda dengan sekolah swasta/partikulir: pertama, sekolah ini tidak mencari keuntungan; kedua, biaya sekolahnya lebih murah dan diprioritaskan bagi kaum miskin; serta ketiga, suasana dan orientasi pendidikannya yang mendidik rasa merdeka/mardika.

Di artikel yang sama, Tan juga membeberkan tiga tujuan utama sekolah ini: pertama, memberi senjata yang cukup kepada anak didik, seperti berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dan lain-lain, sebagai bekal mencari penghidupan di jaman kemodalan (kapitalisme); kedua, memberi kemerdekaan untuk bergaul, bermain, berorganisasi, dan berpropaganda; serta ketiga, mendidik anak-anak agar mencintai rakyat kecil atau kaum kromo.

Sekolah SI berkembang cepat. Dalam seminggu, sekolah rakyat ini sudah berhasil merekrut 80-an murid. Pada bulan Agustus di tahun yang sama, jumlah muridnya sudah mencapai 150-an orang. Sebagian berasal dari luar Semarang, seperti Jogjakarta, Cirebon, dan Rembang. Dukungan terhadap sekola ini juga mengalir deras. Istri Sneevliet, yang saat itu masih di Semarang, turut memberikan bantuan peralatan dan buku-buku pelajaran.

Sekolah SI Semarang berlangsung pagi dan sore. Pada pagi hari, semua kelas belajar di ruang masing-masing. Sore hari, murid dari klas V ke atas atau berusia 15 tahun diberi pendidikan pedagogis agar mereka bisa menjadi guru bagi adik-adik mereka.

Untuk menggalang dana bagi perbaikan sekolah dan pengadaan peralatan belajar-mengajar, SI Semarang menggelar Pasar Derma. Pasar derma itu direncanakan berlangsung bulan September 1921. Namun, ada syaratnya: meminta ijin ke Asisten Residen. Pada akhir juli, permintaan ijin itu diajukan ke Asisten Residen Semarang. Hasilnya sangat mengecewakan. Pada pertengahan Agustus, Asisten Residen Semarang memutuskan untuk tidak memberikan ijin terhadap pasar derma itu. Alasannya, sekolahan SI tersebut mengajarkan “rasa merdika”.

Namun, SI semarang tidak menyerah. Pada tanggal 21 Agustus 1921 diadakan leden vergadering (rapat anggota) untuk membahas nasib sekolah ini. Saat itu Semaun, Ketua SI Semarang, mengusulkan agar anak-anak menggalang dana ke kampung-kampung. Mereka memakai selendang merah dan keliling kampung dengan menyanyikan lagu “Internasionale”. Metode ini cukup efektif. Rakyat bergotong-royong menyerahkan dana sesuai kemampuan untuk menyokong keberlanjutan sekolah SI tersebut.

Tak hanya itu, SI juga membuka pengumuman menerima donasi melalui wesel dengan alamat kantor SI Semarang dan atas nama Semaun. Dengan demikian, orang-orang dari luar Semarang yang bersimpati dengan sekolah SI bisa mengulurkan bantuan.

Puncaknya, pada 13 November 1921, SI Semarang kembali menggelar vergadering besar. Ribuan orang menghadiri vergadering yang, antara lain, membahas nasib sekolah SI. Dalam waktu singkat, anggota SI menyatakan dukungan penuh bagi keberlanjutan sekolah SI. Mereka pun rela mengumpulkan dana bagi mendanai sekolah.

Pada bulan November 1921, terinspirasi oleh sukses sekolah SI di Semarang, cabang SI di daerah lain juga melakukan hal serupa. Pada awal November 1921, berdirilah Sekolah SI cabang Salatiga dengan 75 murid. Selain itu, pada akhir September 1921, sekolahan SI juga berdiri di Kaliwungu dan Kendal. Pada awal Januari 1922, sekolah SI juga berdiri di Bandung, Jawa Barat, dengan 120-an murid. Jauh di Sumatera sana, tepatnya di Padang Panjang, juga berdiri Sekolah Rakyat.

Sayang, Tan Malaka tidak bisa terus mendampingi perkembangan sekolah SI tersebut. Pada bulan Maret 1922, setelah rapat umum bersama kaum buruh di Semarang, Tan Malaka ditangkap di Bandung. Penangkapan itu berlangsung tepat setelah ia usai mengajar di sekolah SI Bandung.

Terhadap penangkapan itu, surat kabar De Locomotief menulis, “Tan Malaka, yang ditangkap karena mengeluarkan tulisan-tulisan anti-Belanda, anggota dewan gemeente Semarang, Kepala Sekolah SI di sini…Siapa yang pegang kaum muda, pegang masa depan…maka sekolah-sekolah SI sepenuhnya dibawa ke arah anti-Belanda, dan inilah yang sudah tentu menjadi alasan pokok mengapa Ia (Tan Malaka) tidak boleh tinggal lebih lama lagi di Jawa.”

SI Semarang memprotes penangkapan tersebut. Anak didik dan orang tua juga turut meluapkan protes atas penangkapan Tan. Surat kabar ISDV, Het Vrije Woord, tertanggal 1 Mei 1922, memuji keberhasilan Tan Malaka berhasil mendirikan sekolah bagi anak-anak kaum pribumi di Hindia yang haus pendidikan.

Namun, penangkapan Tan Malaka terbukti tidak berhasil menahan laju gerakan rakyat di tanah Hindia, termasuk perkembangan sekolah-sekolah SI yang mendidik rasa merdika. Setelah penangkapan dan pembuangan Tan, sekolah SI berdiri di 12 kota di Hindia, termasuk Ternate. Tiap-tiap kota rata-rata menampung 250-an murid.

Saat itu, selain sekolah rakyat yang dibangun oleh SI, tokoh pergerakan seperti Ki Hajar Dewantara juga mendirikan sekolah rakyat bernama Taman Siswa. Kemudian beberapa lembaga Islam, seperti Muhammadiyah, mendirikan lembaga pendidikan sendiri. Dengan demikian, sekolah-sekolah mandiri yang didorong oleh bangsa jajahan sendiri mulai berkembang pesat saat itu.

Tak heran, penguasa kolonial mulai khawatir dengan perkembangan “Sekolah-Sekolah Liar” tersebut. Di Semarang, sejak tahun 1923, penguasa kolonial mengeluarkan Ordonasi Pengawasan, yang mengharuskan sekolah-sekolah yang mau berdiri maupun yang sudah setahun berdiri untuk melapor ke pemerintah setempat. Dalam laporan tersebut, harus dicantumkan sifat pendidikan yang diberikan dan tempatnya. Dengan begitu, penguasa kolonial punya dalih untuk mengontrol dan mengawasi sekolah-sekolah SI di berbagai daerah.

Tak hanya itu, penguasa kolonial juga menggunakan milisi-milisi sipil bentukan mereka, seperti Sarekat Hidjo (semacam FPI di zaman sekarang), untuk menghalangi dan mengintimidasi guru, murid, dan orang tua di sekolah-sekolah SI. Seperti ditulis Tan Malaka: “Akan tetapi, sekolah itu digencet dengan kekerasan. Dengan alasan yang tak cukup setiap waktu guru-guru di sekolah itu dilarang mengajar, dan orang tua murid-murid ditakut-takuti. Pukulan penghabisan dijatuhkan Serikat Hijau (sebuah kumpulan penyamun yang dikerahkan, diupah dan dipimpin oleh pemerintah dan orang-orangnya). Penyamun upahan ini disuruh membakar sekolah, menakut-nakuti dan menganiaya orang, murid dan guru-gurunya. Dan perintah dijalankan oleh mereka dengan sungguh-sungguh.”

Pasca perpecahan di tubuh SI, yang melahirkan SI merah dan SI putih, sekolah SI juga mengalami perubahan. Kelak, SI merah berganti nama menjadi Sarekat Rakyat. Maka Sekolah SI pun berganti nama menjadi Sekolah Rakyat. Sarekat Rakyat dan Sekolah Rakyat dekat dengan politik Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tegas anti-kolonial dan anti-kapitalisme.

Pada tahun 1932, sehubungan dengan pertumbuhan Sekolah-Sekolah Rakyat dan sekolah-sekolah alternatif yang dibangun kaum pergerakan, pemerintah kolonial mengeluarkan Toezicht Ordonnantie Particulier atau sering disebut Ordonansi Sekolah Liar, yang mengharuskan sekolah yang tidak menerima biaya (subsidi) dari pemerintah tidak memulai aktivitasnya sebelum mendapat ijin dari pemerintah kolonial.

Ordonansi itu berusaha mencekal pendirian Sekolah-Sekolah Rakyat maupun sekolah-sekolah mandiri yang dibangun oleh kaum pergerakan. Memang, sejak pendirian sekolah SI di Semarang, kaum pergerakan mulai melihat sekolah rakyat sebagai sarana untuk mendidik anak kaum pribumi dan menyiapkan mereka sebagai calon aktivis pergerakan.

Meski demikian, benih sekolah Rakyat yang ditabur oleh Tan Malaka dan SI Semarang sudah terlanjur menyentuh tanahnya, yakni kehendak Rakyat untuk mendapat pendidikan yang mencerdaskan dan membebaskan.

Rudi Hartono

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid