Polemik Menteri ESDM dan Politik Eenergi Nasional

Muncul polemik ketika Arcandra Tahar berpaspor Amerika Serikat (AS) ditunjuk sebagai Menteri ESDM. Ada dua hal yang mesti dicermati: pertama, dasar pertimbangan Jokowi menunjuknya sebagai menteri; dan kedua adalah soal kewarganegaraam ganda. 

Tujuan reshuffle kabinet menurut presiden adalah  untuk memingkatkan kinerja kabinet dalam menjalankan roda pembangunan. Jokowi tentu tahu betul kemampuan seseorang yang akan direkrut sebagai pembantunya, baik itu secara obyektif maupun berdasarkan saran dan pertimbangan dari pihak-pihak lain. Sulit untuk mengatakan bahwa Jokowi independen tanpa ada saran dari pihak lain.

Reshufle jilid II ini memang membuat banyak pihak terkejut, baik dalam makna negatif maupun positif.  Pihak di kalangan pelaku ekonomi nasional tak sedikit yang menyambut baik. Sementara pihak yang menilai negatif terus mencari pembuktian dan memberikan catatan kritis, termasuk munculnya isu kewarganegaraan ganda.

Persoalan kedua ini memang menjadi sangat penting untuk dijelaskan dan diselesaikan. Sebab, negara kita tidak menganut dwi-kewarganegaraan. Banyak pihak bertanya, mengapa seorang Rizal Ramli yang digadang-gadang sebagai penghadang arus neoliberal, justru diganti. Sedangkan Sri Mulyani yang kontroversial dipinang lagi. Benarkah tuduhan bahwa reshuffle jilid dua ini merupakan kemenangan pihak-pihak yang ingin membungkus trisakti dan nawacita dalam kemasan neoliberal?

Menanggapi masalah Arcandra ini, pihak istana memilih tidak langsung reaksioner, meskipun para pembantunya (Menko Kemaritiman dan Hendro Priyono) turut berpolemik di media. Tanggapan menggelikan justru dari yang bersangkutan, Arcandra Tahar, yang mengatakan bahwa wajahnya asli Padang jadi “Indonesia banget”. Itu pernyataan seorang yang katanya terdidik, pintar dan seorang jenius.  Padahal ukuran keperpihakan, loyalitas dan kewarganegaraan di Republik ini tidak berdasarkan wajah. Meski pada akhirnya Jokowi memberhentikannya secar hormat.

Isu kewarganegaraan ini cepat mencuat, apalgi ada dua peristiwa yang sama dan mendapatkan respon publik yang luas. Bahkan DPR pun ikut merespon dengan mengusulkan memasukan revisi UU Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan dalam prolegnas. Sebegitu mendesakah isu dwikewarganegaraan ini?

Bagimanapun, Indonesia sebagai negara berdaulat tidak boleh membiarkan warga negara lain terlibat dalam posisi pemerintahan dan pengambil kebijakan. Kalau toh dwi-kewarganegaraan ditolerir harusnya hanya bagi warga negara biasa yang tidak melakukan kegiatan ekonomi strategis. Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi menyebut ada 74 professor RI yang ada di AS, belum yang ada di negara-negara lain.

Sekarang ada wacana yang berhembus, bahwa Presiden Jokowi akan mengangkat kembali Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM, setelah persoalan kewarganegarannya diselesaikan. Secara administrasi dan hukum barangkali bisa dimengerti. Namun, seorang WNI yang telah lama meninggalkan negeri, terlepas setingga apapun ilmunya, harus bisa membuktikan secara riil dan jelas komitmennya terhadap bangsa dan negara. Dalam hal ini, Arcandra harus mengubah politik ESDM yang pro-kapital asing menjadi memihak kepentingan nasional.

Dalam hal ini, tolok ukurnya adalah pengelolaan Energi dan Sumber Daya Mineral yang harus dikuasi dan dikelola 100 persen oleh negara untuk sebesar-besarnya kemamuran rakyat, sesuai amanat pasal 33 UUD 1945. Semua orang tahu bahwa pengelolaan sumberdaya saat ini sebagian besar oleh swasta atau asing.

Disin juga kita menguji komitmen pemerintahan Jokowi dalam memperjuangkan Trisakti dan Nawacita. Untuk itu, Jokowi perlu mengambil dua langkah berikut. Pertama, memerintahkan Sang Menteri nantinya untuk merombak kebijakan pengelolaan energi dan sumberdaya yang dikuasai oleh swasta untuk dialihkan ke negara secara pertahap.

Kedua, Jokowi perlu memerintahkan menteri-menteri terkait untuk membahas dan menyusun UU Perekonomian Nasional sebagai turunan dari pasal 33 UUD 1945, yang mengatur secara rigid dan lengkap tata kelola perekonomian nasional.

Dua langkah di atas yang paling mungkin untuk menguji komitmen Jokowi dan Menteri ESDM-nya atas cita-cita Trisakti dan kepentingan nasional kita, ketimbang berpolemik hal-hal yang tidak substantif.

Lukman Hakim, Ketua Umum Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) dan Peneliti di Labour Institute

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid