Pilpres 2014 Dan Persoalan Bangsa

Setiap ajang politik seharusnya adalah arena kontestasi ideologi dalam kerangka menyelesaikan persoalan bangsa. Artinya, dengan berbasiskan ideologi masing-masing, setiap partai dan kandidatnya harusnya menunjukkan program-program solutif mereka untuk menyelesaikan persoalan bangsa.

Itulah sebabnya, dalam Pemilu Presiden (Pilpres) tahun 2014 ini, kita berharap tidak hanya disuguhi sosok dan rekam jejak para Capres-Cawapres, tetapi juga program ‘jalan keluar’ mereka atas persoalan pokok bangsa saat ini. Dengan begitu, Pilpres 2014 bisa melahirkan kepemimpinan nasional yang sanggup menjawab persoalan dan tantangan bangsa kedepan.

Bagi kami, persoalan terbesar yang dialami oleh mayoritas rakyat Indonesia saat ini adalah kemiskinan, pengangguran, ketimpangan ekonomi, dan hilangnya akses mayoritas rakyat kita terhadap kebutuhan dasanya. Nah, kalau telusuri setiap persoalan itu secara mendalam, akarnya terletak pada persoalan penguasaan aset/sumber daya, sarana produksi, dan proses distribusi keuntungan/kemakmuran.

Masalahnya, sejak penerapan kebijakan neoliberal secara massif di Indonesia, penguasaan terhadap aset/sumber daya dan sarana produksi itu makin terkonsentrasi di segelintir tangan. Lebih parah lagi, segelintir tangan itu adalah pemilik modal asing. Ironisnya, proses penguasaan ini justru difasilitasi oleh pemerintah kita melalui serangkaian kebijakan neoliberal, seperti liberalisasi investasi, liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN dan layanan publik, dan lain-lain.

Itulah pangkal masalahnya. Ekspansi modal asing mendorong pencaplokan sumber daya alam kita, seperti tanah, sumber daya alam, hutan, air, dan lain-lain. Akibatnya, rakyat tersingkir dari penguasaan SDA tersebut. Tak hanya itu, penguasaan asing terhadap aset nasional dan SDA kita menyebabkan negara kesulitan memobilisasi sumber daya untuk kebutuhan rakyat, seperti membiayai program sosial, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.

Ekspansi modal asing dalam menguasai SDA itu juga membawa konsekuensi lanjutan, seperti menguatnya penggunaan cara kekerasan/militeristik dalam konflik perebutan SDA, maraknya praktek korupsi dan suap dalam pemberian ijin eksploitasi SDA, penggunaan isu SARA untuk memecah-belah rakyat, dan semakin dominannya peran swasta dalam mengontrol kebijakan politik negara.

Karena itu, bagi kami, agenda politik para capres-cawapres pada Pilpres mendatang harus menohok langsung ke akar persoalan, yakni soal penguasaan aset/sumber daya, sarana produksi, dan proses distribusi keuntungan/kemakmuran. Karena itu, para capres-cawapres mendatang harus punya keberanian politik untuk mengubah haluan ekonomi-politik Indonesia dari neoliberalisme menjadi Trisakti (berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya).

Dalam Pilpres 2014 mendatang, ada dua pasang capres-cawapres yang akan berkontestasi, yakni Prabowo-Hatta Rajasa dan Jokowi- Jusuf Kalla. Yang menarik, secara programatik, kedua pasang capres-cawapres ini sama-sama mengusung isu kemandirian nasional. Keduanya mengusung retorika nasionalisme dan ekonomi kerakyatan.

Seharusnya, ketika program dua pasang capres-cawapres ini sama, maka yang dibutuhkan adalah penajaman. Artinya, kedua pasang capres-cawapres dituntut lebih menerangkan programnya, agar yang abstrak menjadi konkret, yang kabur menjadi terang, yang masih ragu-ragu menjadi tegas, dan yang masih melangit bisa segera membumi. Dengan begitu, rakyat juga bisa melihat dan membaca program para capres-cawapres secara rasional dan objektif.

Pada kenyataannya tidak demikian. Yang terjadi, karena secara programatik keduanya sama, dua pasang capres-cawapres justru menggunakan amunisi yang lain untuk saling serang, yakni soal-soal personal (pribadi) dan rekam jejak. Alhasil, rakyat tidak diterangi dengan penajaman program kemandirian nasional itu, tetapi justru disuguhi dengan isu-isu kontra-produktif, seperti isu SARA, hujat-menghujat masalah pribadi, postur tubuh/fisik, bongkar-membongkar persoalan rumah tangga, dan lain-lain.

Kemudian, selain kebutuhan penajaman program dari para capres-cawapres, juga dibutuhkan peran aktif massa-rakyat dalam memagari dan memenangkan program kemandirian nasional agar tidak dimoderasi atau digembosi oleh kekuatan-kekuatan politik oportunis dan komprador yang kini ‘membonceng’ di kedua kubu capres-cawapres.

Selain itu, dalam kerangka memagari dan mengawal program kemandirian para capres-cawapres, harus juga diciptakan ruang untuk kritik dan debat yang ilmiah. Kritik ini penting untuk memastikan konsistensi para capres-cawapres pada programnya. Hal ini juga penting untuk proses pemajuan kesadaran politik rakyat.

Pemagaran terhadap program kemandirian nasional ini bukan hanya dalam konteks pilpres, tetapi terutama setelah kepemimpinan nasional kedepan terbentuk. Sebab, siapapun yang memenangi Pilpres, program kemandirian nasional juga dimenangkan. Dengan demikian, sekalipun di pilpres ini kedua capres bersaing, tetapi pasca pilpres mereka harus bersatu dalam kerangka memperkuat dan memastikan program kemandirian nasional bisa berjalan.

Selain itu, kedepan ada kebutuhan untuk memastikan partisipasi politik rakyat dalam mengawal dan memastikan capres-cawapres terpilih merealisasikan janji-janji politiknya. Hal ini juga untuk mencegah potensi sogokan oleh para capres-cawapres terpilih. Sebagai misal, karena takut berbenturan dengan kepentingan kekuatan modal internasional, para capres-cawapres terpilih memberikan sogokan moderat, seperti reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, dan lain sejenisnya. Kita sadar, agenda semacam itu memang penting, tetapi yang lebih mendesak adalah mengubah penguasaan aset/sumber daya dan sarana produksi untuk kemakmuran rakyat sebagaimana dimandatkan pasal 33 UUD 1945.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid