Pandemi Mengubah Wajah Ekonomi Dunia? (Bagian 2)

Matinya Neoliberalisme dan Globalisasi?

Begitu kata “resesi” dan “depresi” meluncur ramai, lalu semua negara mengunci diri, banyak khalayak yang bertempik sorak-sorai. Pandemi telah menikam neoliberalisme sekaligus membunuh globalisasi.

Tentu saja, saya tak menyangkal kenyataan bahwa neoliberalisme, baik sebagai dogma maupun praktek, memang sudah bangkrut. Begitu juga dengan globalisasi. Hanya saja, apakah ini sesuatu yang baru?

Jadi begini, memasuki pergantian alaf ke-3, neoliberalisme dan globalisasi memang mulai melemah. Awalnya, mereka tergusur di Amerika latin oleh pasang merah­–berkuasanya politisi/gerakan politik kiri lewat pemilu. Satu dekade lebih neoliberalisme tergusur di Amerika latin.

Kemudian, pada 2008, terjadi krisis keuangan mengguncang dunia, terutama AS dan Eropa. Hari-hari itu, tidak sedikit pemimpin politik hingga pengamat ekonomi yang menunjuk hidung neoliberalisme sebagai biang kerok.

Yang perlu diingat juga, ketika bank-bank dan lembaga keuangan satu per satu ambruk, negaralah yang dipanggil untuk menyelamatkan; sesuatu yang bertentangan dogma-dogma neoliberalisme.

Baca juga: Pandemi Mengubah Wajah Ekonomi Dunia? (Bagian 1)

Selepas krisis keuangan 2008, ekonomi dunia tak kunjung membaik. Ekonomi melambat, industri lesu, pengangguran membengkak, banyak negara terlilit utang, tetapi ketimpangan juga kian melebar sangat parah.

Dalam situasi ekonomi serba sulit itu, politik arkaik abad lampau yang mengedepankan identitas berbasis ras, agama dan warna kulit bangkit dari kuburnya. Muncullah Donald Trump di AS, Boris Johnson di Inggris, Marine Le Pen di Perancis, Matteo Salvini di Italia, Victor Orban di Hungari, dan banyak lagi.

Namun, patut dicatat, disamping politik mereka yang rasis dan xenophobia, mereka juga mengumandangkan gugatan terhadap neoliberalisme dan globalisasi. Mereka juga memanggil negara sebagai “sang juru selamat”. Juga mengibarkan bendera nasionalisme ekonomi yang eksklusif.

Bukankah Trump yang membunuh Trans-Pacific Partnertship (TPP) warisan tuan Obama, juga North America Free Trade Agreement (NAFTA) warisan tuan Bill Clinton. Belakangan, tuan Trump mengancam akan keluar dari WTO.

Kemudian saudara kembarnya di Inggris, Boris Johnson, membawa Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit). Tuan Johnson juga yang mau mengakhiri kebijakan penghematan (austerity) warisan Yang Mulia Margareth Thatcher.

Jadi, soal neoliberalisme ini, memang sudah ambruk jauh sebelum datangnya pandemi. Pandemi ini hanya membantu proses penguburannya.

Namun, saya kira, persoalannya bukan di situ, melainkan pada pertanyaan: apakah kematian neoliberalisme akan serta-merta melahirkan tata dunia baru yang lebih demokratis, berkeadilan, dan menghargai lingkungan?

Menjawab ini, saya ingin meminjam penjelasan David Harvey, seorang marxis sekaligus geografer, perihal neoliberalisme sebagai “proyek politik”.

Jadi, penjelasannya begini. Tahun 1970-an, kapitalisme dibekap krisis. Jantung dari krisis ini adalah: jatuhnya tingkat keuntungan. Meski ini inheren dalam kapitalisme, tetapi kejatuhan kali banyak disumbang oleh: negara yang dikelolah Keynesian dan sangat kuatnya serikat buruh.

Bayangkan, gara-gara kuatnya gerakan buruh dan gerakan sosial kala itu, ada banyak reformasi dalam kerangka kapitalisme yang berhasil dimenangkan, seperti perlindungan lingkungan (produknya: AMDAL), perlindungan konsumen, perlindungan binatang, dan lain sebagainya. Namun, bagi para kapitalis, berbagai reformasi itu telah merongrong potensi pelipatgandaan keuntungan mereka.

Karena itu, muncullah neoliberalisme sebagai “juru selamat”, dengan kebijakan-kebijakannya: satu, liberalisasi pasar tenaga kerja untuk melemahkan serikat buruh; dua, menggusur peran negara Keynesian lewat deregulasi, privatisasi, dan penghapusan subsidi; dan tiga, perdagangan bebas (kemudian disebut globalisasi) untuk menghancurkan nasionalisme ekonomi yang merintangi gerak bebas kapital, barang dan jasa.

Jadi, neoliberalisme adalah proyek politik kapital untuk menghancurkan tiga musuhnya sekaligus: negara, gerakan buruh, dan nasionalisme ekonomi.

Jadi, bagi saya, apa yang terjadi hari ini adalah: neoliberalisme sudah purna-tugas, kapital butuh bentuk yang lain untuk kelangsungan hidupnya. Boleh jadi itu kapitalisme negara, boleh jadi kapitalisme etik (sharing economy, dll), boleh jadi kapitalisme-barbarik, entahlah. Dan boleh jadi, Trump dan Boris Johnson adalah patriot-patriot barunya. Tapi, itu di negara kapitalis maju.

Di negara berkembang, neoliberalisme belum sepenuhnya mati. Sebab, neoliberalisme masih diperlukan untuk memastikan agenda korporasi global berjalan di dunia ketiga lewat kebijakan deregulasi, privatisasi, liberalisasi investasi, liberalisasi perdagangan, dan liberalisasi pasar tenaga kerja.

Maka jangan heran, sementara neoliberalisme meredup di negara kapitalis maju, neoliberalisme di Negara kita justru gila-gilaan. Ini bisa kita lihat dari agenda mendorong deregulasi ekstrem lewat Omnibus Law (RUU Cipta Kerja).

Begitu juga Tiongkok, yang tengah mengalami krisis kelebihan produksi. Ia sangat bergantung pada pasar bebas. Tak heran, ketika AS beralih pada nasionalisme ekonomi yang ekslusif, Tiongkok tampil menjadi kampiun perdagangan bebas yang baru. Tapi bukan neoliberalisme untuk dalam negerinya.

Lalu, bagaimana dengan globalisasi?

Globalisasi sudah terlanjur identik dengan neoliberalisme. Selama tiga dekade, neoliberalisme menunggangi globalisasi untuk mendorong agendanya: liberalisasi investasi, perdagangan barang/jasa, dan tenaga kerja.

Tetapi, apa kita harus menolak globalisasi yang secara hakiki berarti integrasi dunia dan saling-terhubung bangsa-bangsa secara ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Saya kira, ini tak tertolak dan tak terelakkan. Perkembangan teknologi dan informasi telah memaksakan integrasi itu.

Hanya saja, kita butuh globalisasi yang lain, yang menempatkan setiap bangsa atau manusia bisa bekerjasama, bersolidaritas, dan saling memajukan, untuk dunia yang lebih baik.

Pengambil Kesempatan

Sebelum membayangkan dunia pasca-pandemi, ada baiknya mengingat ungkapan ini: mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kenapa?

Berulangkali terjadi, ketika terjadi krisis besar, entah karena perang, terorisme, bencana alam, maupun pandemi (seperti sekarang), ada saja yang mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Yang pertama, fenomena “kapitalisme bencana” (disaster capitalism). Naomi Klein, aktivis sekaligus penulis The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism, yang memperkenalkan istilah ini. Jadi, ketika bencana memicu kepanikan dan disorentasi massal, negara yang dikendalikan orang super-kaya justru meloloskan agenda “pasar bebas” yang lebih ekstrem untuk memaksimalkan laba mereka.

Di AS sendiri, seperti diungkap Naomi, ada beberapa kasus. Setelah badai Katrina yang menewaskan hampir 2000 orang dan kerusakan bernilai 125 milyar USD, kelompok kaya, sektor bisnis, dan pemerintah justru bertemu untuk mendorong kebijakan pasar bebas yang lebih intensif.

Juga kasus krisis keuangan 2008. Alih-alih menyelamatkan orang miskin yang terusir dari rumahnya atau kelas pekerja yang ter-PHK, Negara justru menalangi bank-bank dan lembaga keuangan yang nyaris bangkrut.

Tak hanya itu, di beberapa negara Eropa, atas nama mengurangi defisit anggaran dan gagal-bayar utang, pemerintahnya mendorong kebijakan penghematan (austerity) dan privatisasi besar-besaran.

Dan sejarah kembali berulang. Di tengah kecemasan orang akan pandemi, Donald Trump memotong payroll tax. Padahal, payroll tax merupakan sumber utama pendanaan sistim jaminan sosial. Jika payroll tax dipotong, berarti sistim jaminan sosial akan kolaps. Dan jika itu terjadi, ini akan menjadi pintu bagi privatisasi jaminan sosial—sesuatu yang diidamkan oleh kaum kaya di AS sejak era Bush.

Selain itu, Presiden Trump juga menggelontorkan paket stimulus bernilai 2,2 triliun USD. Sungguh nilai yang super-fanstastis (dua kali lipat PDB Indonesia).

Namun, seperempat dari dana jumbo itu, atau sekitar 500 milyar USD, langsung digelontorkan untuk perusahaan besar. Kemudian, sebanyak 50 milyar USD untuk industri penerbangan. Dan ada 25 USD yang langsung mengalir ke maskapai.

Memang, ada bantuan tunai langsung sebesar 1200 USD per orang, atau 2400 USD untuk keluarga, dan 500 USD untuk anak-anak, tetapi dianggap tidak cukup untuk menalangi semua beban biaya rumah tangga di tengah krisis ini.

Di Indonesia, kasusnya lebih pahit lagi. Kecemasan akan pandemi, disertai dengan pembatasan sosial berskala besar, justru dimanfaatkan DPR dan pemerintah untuk melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja.

Dan anda tahu, RUU cipta kerja akan mendorong agenda liberalisasi besar-besaran, baik liberalisasi investasi, perdagangan, maupun tenaga kerja, untuk maksimalisasi laba korporasi.

Malahan, beberapa agenda Omnibus Law di bidang perpajakan sudah menyelinap dalam kebijakan darurat pemerintah untuk menangani pandemi, seperti Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara. Di Perppu itu, misalnya, soal penurunan PPh badan usaha dari 25 persen (sekarang) menjadi 20 persen di tahun 2021.

Tentu saja, melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah adalah bentuk konkret “disaster capitalism”. DPR telah memanfaatkan bencana pandemi, yang membuat Warga Negara kesulitan menyampaikan aspirasinya, untuk meloloskan agenda liberalisme yang ekstrem.

Sebelum ini, maskapai komersil juga diguyur Rp 440 milyar untuk kebijakan diskon 30 persen tiket pesawat ke 10 destinasi wisata. Belum cukup, ada subsidi via pemda sebesar Rp 3,3 triliun untuk pembebasan pajak hotel dan restoran. Jangan lupa, para “influencer” mendapat tetesan Rp 72 milyar juga.

Yang kedua, di balik pengangan pandemi ini, ada gejala otorianisme yang sedang merangkak. Di banyak negeri, atas nama memerangi pandemi, muncul bukan hanya pembatasan sosial, tetapi juga pembatasan bereksperesi dan berpendapat.

Di Hungaria, darurat pandemi dijadikan dalih oleh rezim ultra-kanan di sana untuk menangkapi warga negara yang dianggap menyebarkan berita palsu. Tentu saja, berita yang dianggap “palsu” tergantung pada sudut pandang negara dan aparatus keamanan.

Situasi serupa terjadi di negara kita. Pimpinan kepolisian RI menerbitkan surat telegram yang berpotensi menjerat warga negara yang mengeritik kinerja pemerintah dalam menangani pandemi.

Sebelum itu, hingga 9 April lalu, sudah ada 81 orang ditangkap karena dianggap menyebarkan hoax dan ujaran kebencian.

Selain menguatnya pembatasan terhadap kemerdekaan berpendapat, menguat pula rezim pengawasan, pembatasan kebebasan pers, dan pelimpahan wewenang luar biasa di tangan penguasa (Presiden/Perdana Menteri).

Yang ketiga, kelompok sayap kanan menggunakan pandemi untuk memenangkan agenda politik mereka: membatasi/mengusir imigran, menutup perbatasan, hingga agenda nasionalisme ekonomi yang eksklusif.

Di AS, Trump dan pendukungnya menjadikan isu korona untuk menyerang orang Asia dan partai Demokrat. Ia menyebut virus korona dengan “Virus Cina”. Tak hanya itu, ia juga menggunakan situasi darurat pandemi untuk memuluskan agendanya memperketat kontrol perbatasan.

Di Italia, politisi sayap kanan Matteo Salvini menggunakan isu korona untuk menyerang imigran dan perempuan. Rasis dan misoginis sekaligus. Ia juga menyerukan perlunya menutup perbatasan.

Beberapa konservatif kanan juga menggunakan isu pandemi untuk mengembalikan perempuan ke urusan-urusan domestik (rumah-tangga). Bahwa tugas perempuan memang seharusnya di rumah, bukan bekerja di luar.

Jadi, sebelum kita berimajinasi tentang dunia lebih adil dan demokratis pasca pandemi, kelompok kanan sudah beberapa langkah lebih dulu dengan agenda politiknya.

RUDI HARTONO, Pimred berdikarionline.com


Keterangan: Artikel ini dimuat dalam tiga bagian. Ini adalah bagian kedua dari artikel ini. Bagian pertama bisa dibaca di sini. Terima kasih.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid