Nasionalisme Kemanusiaan Ernest Douwes Dekker

Kalau anda mengukur kadar nasionalisme seseorang berdasarkan asal-usul suku bangsanya, atau tempat kelahirannya, maka ukuran itu pantas dibuang ke keranjang sampah.

Sebab ukuran anda itu tidak berlaku bagi dua Douwes Dekker yang berjasa besar bagi kelahiran ide-ide nasionalisme dan pergerakan kemerdekaan di Indonesia, yaitu Eduard Douwes Dekker dan Ernest Douwes Dekker.

Eduard Douwes Dekker, atau nama penanya Multatuli, adalah orang Belanda pertama yang telah mencerahkan kaum terpelajar pertama Indonesia akan simbiosis yang jahat antara kolonialisme dan penguasa feodal lokal. Novelnya yang terkenal, Max Havelaar, telah membuka alam berpikir orang macam Kartini, Tirto Adhisuryo, dan lain-lain.

Sedangkan Ernest Douwes Dekker, yang kelak berganti nama menjadi  Danudirja Setiabudi, adalah tokoh penting dalam pergerakan nasional Indonesia di masa awal. Dia bersama dua kawannya, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) dan Tjipto Mangunkusumo, adalah orang-orang pergerakan pertama yang merasakan “pembuangan politik” karena pandangan dan aktivitas politik anti-kolonialnya.

Nasionalisme mereka bukan sembarang nasionalisme, bukan nasionalisme etnik yang mendasarkan diri pada kesamaan suku atau ras. Bukan pula nasionalisme yang mengglorifikasi keunggulan fisik atau warna kulit. Nasionalisme mereka mirip dengan yang sering disebut oleh Sukarno: Nasionalisme kemanusiaan, yaitu nasionalisme yang mengibarkan panji-panji kemanusiaan.

Nah, artikel ini akan berusaha menghadirkan nasionalisme kemanusiaan ala Ernest Douwes Dekker, melalui jejak langkah hidup dan perjuangannya.

Seorang Belanda Berperikemanusiaan

Ernest Douwes Dekker dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur, pada 8 Oktober 1879. Ayahnya bernama Auguste Henri Edouard Douwes Dekker, seorang agen perbankan. Sedangkan ibunya, Louisa Margaretha Neumann, seorang indo campuran Jerman-Jawa.

Selepas sekolah di HBS tahun 1897, Ernest harus bekerja sebagai pengawas di sebuah perusahaan perkebunan di kaki gunung Semeru. Ia menyaksikan penderitaan rakyat, khususnya buruh-buruh perkebunan kopi, yang diperlakukan sewenang-wenang oleh pengusaha kopi.

Ernest mundur dari pekerjaan. Konon, kepergiaannya dilepas dengan penuh kesedihan oleh buruh-buruh di tempatnya bekerja. Ia kemudian pindah bekerja di sebuah perusahaan gula di Pasuruan. Di sana, ia juga menyaksikan pencurian air oleh tuan besar pemilik perkebunan. Tindakan itu sangat merugikan rakyat di sekitar perkebunan. Ernest pun meninggalkan pekerjaan.

Ernest begitu terpukul begitu ibunya meninggal tahun 1899. Ia sangat sedih dan frustasi. Di saat itulah ia mendengar berita tentang perang Boer di Afrika Selatan. Orang Boer adalah orang-orang Belanda yang bekerja sebagai petani dan memberontak melawan kesewenang-wenangan Inggris. Ernest pun memilih untuk menjadi pejuang Boer melawan Inggris.

Jurnalis kritis

Pada tahun 1903, ia kembali ke Jawa. Ernest, yang saat itu berusia 24 tahun, memilih bekerja sebagai wartawan. Ernest kini sudah berubah menjadi seorang yang berfikiran radikal dan anti-penjajahan. Ia sempat bekerja di surat kabar De Locomotief; dan kemudian bekerja di Surabajaas Handelsblad.

Tulisan-tulisannya sangat pedas mengiritik penguasa. Itu membuatnya terlempar dari surat kabar ke surat kabar. Sampai akhirnya, ia bekerja di surat kabar bernama Bataviaas Nieusblad. Di surat kabar ini, Ernest menempati posisi yang cukup vital: pejabat redaksi.

Ernest menjadikan surat kabar ini sebagai cikal bakal pembangunan gerakan. Di sana, ia merekrut banyak pemuda-pelajar: Soerjopranoto, Tjokrodirdjo, Tjipto, dan Gunawan Mangoenkoesoemo. Ia juga menjalin hubungan dengan pemuda-pemuda radikal di STOVIA. Rumahnya menjadi pusat pertemuan, diskusi, dan rapat-rapat pergerakan.

Bataviaas Nieusblad tak bisa lama dijadikan alat pergerakan. Karenanya, Ernest pun keluar dan membuat surat kabar sendiri: mula-mula membuat majalah bulanan Het Tijdshrift, lalu kemudian mendirikan koran De ExpressDe Express benar-benar dibuatnya bergaris radikal-progressif. Orang-orang menyebutnya “Neo-Multatulian”.

Mendirikan Indische Partij

IP adalah partai politik pertama di Hindia yang menyerukan “Hindia untuk orang Hindia”. Artinya, kemerdekaan Hindia dari Belanda.

Bung Hatta, ketika memberi ceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, 22 Mei 1974, berusaha mengurai perbedaan IP dan Sarekat Islam (SI) sebagai berikut: “Berlainan dengan Sarekat Islam yang tidak mau bicara politk dan melarang anggota-anggotanya berpolitik, Indische Partij tegas menghendaki kemerdekaan hindia dengan jalan parlementer. Jadi menuntut diadakannya suatu Dewan Perwakilan Rakyat.”

IP resmi berdiri melalui sebuah vergadering di Bandung, 25 Desember 1912. Sedangkan pembentukan IP dan kepengurusanya sudah dilakukan lebih dahulu. Duduk di kepengurusan pusat (Hoofdbestuur): Ernest Douwes Dekker sebagai ketua dan Tjipto Mangkukusumo sebagai wakil.

Sasaran propaganda IP adalah kalangan indo. Pada tahun 1913, dari dari 7000-an anggota IP, hanya 500-an orang yang pribumi. Takashi Shiraishi, dalam buku “Zaman Bergerak”, mengatakan, “sekalipun IP sangat didominasi oleh kaum indo, tetapi pengaruhnya di kalangan pribumi tidaklah kecil.”

Kehadiran IP sangat penting di masa awal pergerakan. Pertama, IP menampilkan politik yang sangat radikal. Slogan “Hindia untuk orang Hindia” sangat maju saat itu. Kedua, IP memperkenalkan vergadering-vergadering. HOS Tjokroaminoto, yang sukses menggelar vergadering di Surabaya pada tahun 1913, mengaku belajar dari pengalaman vergadering IP.

Ernest mengatakan, berdirinya IP adalah pernyataan perang, yaitu sinar terang yang melawan kegelapan, kebaikan melawan kejahatan, peradaban melawan tirani, budak pembayar pajak kolonial melawan negara pemungut pajak. “Ini pembalikan terhadap politik etis,” terang Takashi Shiraishi.

Pada November 1913, bertepatan dengan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas penjajahan Perancis, ada keinginan pula membuat perayaan serupa di Indonesia. IP menganggap rencana peringatan itu sebagai penghinaan bagi bangsa Indonesia yang masih terjajah.

IP melawan rencana itu. Soewardi Soerjaningrat menulis karangan berjudul “Als ik een Nederlander was…” (“Kalau saya seorang Belanda…”) Soewardi antara lain menulis: “Apabila saya seorang belanda, saya tidak akan mengadakan pesta kemerdekaan dalam suatu negeri sedangkan kita menahan kemerdekaan bangsanya. Sejalan dengan pendapat ini bukan saja tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila bumiputra disuruh menyumbangkan uang untuk keperluan dana pesta itu. Sudahlah mereka dihina dengan maksud mengadakan perayaan kemerdekaan Nederland itu, sekarang dompet mereka dikosongkan pula. Itulah suatu penghinaan moril dan pemerasan uang!”

Gara-gara tulisan itu, Soewardi dan Tjipto ditangkap. Akhirnya, Douwes Dekker, yang baru pulang dari Belanda, menulis pula karangan berjudul : “Onze helden” (“Pahlawan Kita”). Ia memuji kepahlawanan Soewardi dan Tjipto. Douwes Dekker pun ditangkap.

Tiga serangkai ini kemudian dibuang ke eropa. Pada tahun itu juga IP dibubarkan oleh Gubernur Jenderal Belanda. Sekembalinya ke Jawa, tiga serangkai kembali berusaha terjun ke politik dengan bergabung di Insulinde. Namun, karena organisasi ini dianggap terlalu elitis, maka mereka mendirikan NIP (Nationaal Indische Partij). Organisasi ini pun segera dibubarkan penguasa kolonial.

Di tahun 1930-an, setelah serangkaian pembuangan politik dan penangkapan, Ernest aktif dalam bidang pendidikan kerakyatan. Di Bandung, dia mendirikan Ksatrian Institut, yang membuka akses pendidikan ke rakyat banyak sekaligus menanamkan ide-ide nasionalisme progressif.

Pro-Republik sampai akhir

Pada tahun 1940-an, menjelang kedatangan fasisme, terjadi penggeledahan besar-besaran terhadap sejumlah tokoh pergerakan di Indonesia. Ernest juga ditangkap dan ditahan di Ngawi.

Begitu jepang mendarat di Indonesia, Ernest diangkut ke Suriname—salah satu daerah jajahan Belanda di Amerika Selatan. Di sanalah ia diasingkan oleh penguasa kolonial. Hampir 5 tahun ia ditahan di sana.

Pada tahun 21 januari 1947, melalui perjuangan yang berat, Ernest berhasil kembali ke Indonesia. Ia menyelundup dengan nama samara: Radjiman. Ia langsung bertemu dengan Bung Karno. Dan Bung Karnolah yang memberinya nama “Danudirja Setiabudhi”. Danu berarti banteng, sedangkan Dirja berarti kuat dan tangguh. Danudirja berarti banteng yang kuat. Sedangkan Setiabudhi berarti jiwa kuat yang setia.

Di kabinet Sjahrir, Ernest ditunjuk sebagai menteri pendidikan. Ia juga pernah menjadi penasehat Presiden, sekretaris politik Perdana Menteri, anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan pengajar di Akademi Ilmu Politik di Jogjakarta. Pada saat agresi militer Belanda, hampir semua pemimpin Republik ditangkap, termasuk Douwes Dekker.

Pada tahun 1949, Ernest kembali dan menempati rumah yang sudah reyot di Bandung, Jawa Barat. Pada 28 Agustus 1950, tidak begitu lama menghirup udara tanah airnya yang merdeka, Ernest Douwes Dekker menghembuskan nafas yang terakhir.

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred berdikarionline.com

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid