Bung Hatta dijuluki seorang demokrat sejati. Semasa hidupnya, baik ketika menjadi aktivis pergerakan maupun saat menjadi Wakil Presiden, pembelaannya terhadap demokrasi tidak pernah kurang. Juga pembelaannya terhadap salah satu pilar dari demokrasi: kemerdekaan pers.
Ketika orba berkuasa, kebebasan pers mulai dibatasi. Beberapa kali terjadi pembredelan terhadap pers yang kritis. Saat itu, Bung Hatta tampil kedepan mengutarakan protesnya. Ia seolah mengulang sikapnya saat mengeritik pedas pembatasan pers di era kolonialisme Belanda.
Ya, pada tahun 1931, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan “Persbreidel Ordonnantie”. Dengan kebijakan ini, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda punya hak melarang penerbitan yang mengancam ‘ketertiban umum’.
Pada saat itulah, melalui tulisan berjudul “Tuntut Kemerdekaan Pers” di koran Daulat Rakjat, Bung Hatta melancarkan kritikan pedasnya. Di bagian pembuka artikelnya, Bung Hatta mengutip pasal 12 “Declaration of Human Right: “bahwasanya kebebasan pers itu adalah salah satu benteng kemerdekaan yang besar, dan hanya dapat dimatikan oleh pemerintah yang bersifat sewenang-wenang.”
Bagi Bung Hatta, kemerdekaan pers merupakan hak rakyat yang asli, yang tidak boleh dihilangkan dan disia-siakan. Ia mencatat, ketika terjadi pergerakan besar di Eropa yang menggulingkan kekuasaan feudal, kemerdekaan pers merupakan salah satu hak rakyat yang paling pertama diakui.
Seorang pemikir penyokong revolusi borjuis, John Stuart Mill, menyebut keberadaan pers sebagai penjaga perasaan umum (public opinion). Di negeri Belanda saat itu, kemerdekaan pers diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD). Dalam pasal 7 UUD Belanda disebutkan: “orang tidak perlu meminta izin lebih dahulu untuk mengeluarkan buah fikirannya di dalam pers, selain daripada tanggungannya kepada hukum.”
Di sini muncul semacam paradoks: Di negeri belanda, kemerdekaan pers dijamin dan diakui sebagai hak dasar rakyat; Di negeri jajahannya, Hinda Belanda, kemerdekaan pers berusaha dibatasi dengan ordonansi (peraturan pemerintah/kerajaan).
Bung Hatta menggugat sikap kontradiktif penguasa kolonial itu. “Apakah kemerdekaan pers tidak dipandang sebagai hak asli rakyat Indonesia?” tanya Hatta.
Bagi Bung Hatta, jauh sebelum datangnya penguasa kolonial, hukum adat bangsa Indonesia sudah mengakui adanya hak rapat (tempat mencari permufakatan) dan hak rakyat untuk membantah secara umum (recht op massa-protest).
“Dalam zaman raja-raja paling lalim di Indonesia, hak rakyat tadi, yaitu hak membantah peraturan-peraturan yang dipandang tidak adil dengan cara umum, tetap diakui dalam pergaulan hidup dan kalbu rakyat,” tulis Bung Hatta.
Dengan demikian, menurut Hatta, prinsip kemerdekaan pers hampir sama dengan prinsip Hukum Adat bangsa Indonesia di jaman lampau. Anehnya, Belanda yang modern tidak berbuat lebih beradab dibanding era kerajaan di Nusantara.
Bung Hatta menjelaskan, pembatasan pers itu tidak terlepas dari azas kolonialisme politik: jajahan itu berguna untuk keperluan penjajah. Jadinya, hak-hak rakyat yang mendasar pun tidak diakui. Pemerintah kolonial sendiri sangat khawatir bahwa kebebasan pers itu membuka ruang bagi rakyat Indonesia melancarkan kritik dan mencela kekuasan kolonial.
Dengan demikian, Bung Hatta sangat menyadari adanya kontradiksi tak terdamaikan antara politik kolonial dengan kebebasan pers sebagai hak azasi bangsa Indonesia yang sudah dinikmati sejak jaman kerajaan.
Oleh karena itu, Bung Hatta menganjurkan agar pers pribumi, khususnya pers pergerakan, berjuang sekuat tenaga untuk mencabut ordonansi pers dan mengembalikan kebebasan pers sebagai harta pusaka bangsa Indonesia.
Menariknya, ketika berbicara mengenai jalan untuk merebut kembali kemerdekaan pers itu, Bung Hatta mengusulkan perjuangan tanpa kompromi: aksi massa dan surat kabar. “Jalan untuk mencapai kemerdekaan pers tidak melalui gedung Volksraad di Pedjambon, melainkan di atas padang surat kabar sendiri,” tulisnya.
Bung Hatta pun menyerukan pembentukan perkumpulan jurnalis Indonesia sebagai wadah untuk melakukan perjuangan. “Gunanya ada perkumpulan jurnalis Indonesia, supaya bisa berembuk dan bermufakat, bagaimana harus menyusun aksi bersama,” tegasnya.
Bung Hatta sangat mengerti arti penting pers sebagai alat perjuangan. Ia menggunakan pers sebagai sarana untuk mendidik rakyat. Melalui pers, Bung Hatta berusaha menyebarkan gagasan, membangkitkan kesadaran rakyat, dan memperlihatkan jalan untuk mencapai pembebasan.
Tulisan-tulisan Bung Hatta banyak tersebar di koran-koran pergerakan: Jong Sumatra, Indonesia Merdeka, Daulat Rakjat, Neratja, dan Utusan Indonesia.
IRA KUSUMAH, Kontributor berdikarionline.com
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid