Mengutuk Kekerasan Polisi Di Picuan

Entah seperti apa warga desa Picuan—sebuah desa di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara–di mata polisi? Polisi tiba-tiba, dengan keadaan mabuk, menyerang dan menembaki warga desa tersebut. Itu terjadi pada tanggal 4 Juni 2012 lalu dan berlanjut esoknya. Akibatnya, 3 orang warga desa tertembak, 2 orang mengalami pengeroyokan, dan 4 orang ditangkap.

Dalam catatan kami, polisi sudah tiga kali melakukan penyerangan terhadap warga desa tersebut. Serangan pertama terjadi pada tanggal 20 April 2012 lalu. Saat itu, polisi tiba-tiba mendatangi warga desa dan hendak menangkap seorang warga. Akan tetapi, tindakan arogan kepolisian itu mendapat perlawanan. Mobil polisi pun menjadi sasaran amuk warga yang marah.

Serangan kedua terjadi pada tanggal 26 Mei 2012. Polisi kembali mendatangi desa Picuan. Awalnya, terjadi proses dialog antara tokoh masyarakat dengan pihak Kapolres Minahasa Selatan. Akan tetapi, di saat dialog sedang berlangsung, polisi tiba-tiba menyerang dan menembak warga. Akibatnya, dua orang warga desa terkena tembakan.

Kejadian terbaru terjadi pada tanggal 4 Juni lalu. Polisi menyerang warga desa menjelang tengah malam, sekitar pukul 22.30 WITA, yang menyebabkan sejumlah warga desa tertembak dan mengalami luka-luka.

Kebrutalan Polisi di Picuan sudah tak mencerminkan “polisi sebagai pengayom rakyat”. Bayangkan, polisi menyerang warga desa dalam keadaan mabuk dan memuntahkan peluru tanpa pertimbangan kemanusiaan. Ironis, lembaga yang mestinya mengayomi rakyat malahan bertindak tak ubahnya seperti “bandit-bandit” dalam film-film.

Kejadian ini bermula dari konflik pertambangan. Warga desa Picuan menolak kehadiran perusahaan tambang swasta, yaitu PT. Sumber Energi Jaya (SEJ). Bagi warga, kehadiran perusahaan swasta itu akan menggusur pertambangan rakyat. Sebab, kawasan tersebut memang kawasan tambang rakyat.

Warga desa sendiri mengantongi ijin berupa Surat Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum Nomor 673K/20.01/DJP/1998 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat untuk Bahan Galian Emas di daerah Alason dan Ranoyapo Kabupaten Minahasa (sebelum pemekaran).

Pada tahun 2010, Bupati Minahasa Selatan mengeluarkan SK Nomor  87 tahun 2010 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT. Sumber Energi Jaya (PT SEJ). Lokasi ijin PT. SEJ ini tumpang-tindih dengan kawasan tambang rakyat. Inilah yang memicu konflik dan penolakan dari warga desa Picuan.

Ironisnya, polisi sangat berpihak dalam konflik ini. Sejak awal, polisi telah berada di garda depan menangkapi warga penolak tambang. Salah satunya adalah penangkapan Edison Kesek, seorang pendeta yang juga anggota koperasi tambang rakyat, yang aktif menggalang perlawanan terhadap kehadiran PT. SEJ.

Dalih yang digunakan polisi adalah penambang illegal. Ini dalih yang sangat mengoyak perasaan kita sebagai bangsa: rakyat sendiri yang mengelola tambang secara mandiri dianggap penambang illegal.  Sedangkan PT. SEJ, perusahaan asal Tiongkok, yang hanya berpegang ijin bermasalah dari Bupati, mendapat perlindungan habis-habisan dari pihak kepolisian.

Kita hanya bisa menarik beberapa kesimpulan dari kejadian di Picuan. Pertama, kejadian di Picuan makin menegaskan bagaimana desentralisasi menjadi jembatan bagi proses neokolonialisme. Seorang bupati dengan seenaknya bisa mengeluarkan ijin tambang kepada perusahaan asing tanpa memperhitungkan kepentingan dan aspek kesejahteraan rakyat di dalamnya.

Kedua, polisi memposisikan dirinya sebagai penjaga kepentingan pemilik modal dalam berbagai konflik agraria dan pertambangan. Akibatnya, polisi selalu berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Ironisnya lagi, polisi selalu mengedapankan penggunaan kekerasan terhadap berbagai protes rakyat.

Ketiga, orientasi pengelolaan tambang kita sangat mengabdi kepada kepentingan kepentingan segelintir korporasi. Padahal, jika memungkinkan dikelola oleh pertambangan rakyat, dengan prinsip kekeluargaan atau koperasi, maka pemerintah mestinya memberikan dukungan. Bukankah ini amanat para pendiri bangsa melalui pasal 33 UUD 1945.

Kejadian di Picuan tak lepas dari model ekonomi yang sedang dipraktekkan oleh pemerintah saat ini, yakni neoliberalisme, yang hanya melayani kepentingan segelintir korporasi ketimbang kepentingan rakyat. Ini adalah penghianatan terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang mencita-citakan masyarakat adil dan makmur.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid