Mana Yang Benar,“Soekarno” atau “Sukarno”?

Sebagai bagian terpenting dalam sejarah Indonesia, nama Sukarno banyak ditulis. Namun, seringkali penulisan nama Proklamator sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia itu tidak tepat.

Masih banyak yang menulis nama Sukarno dengan ejaan “Soekarno”. Di media, buku-buku, nama tempat, nama jalan, jurnal ilmiah, dan lain-lain. Bahkan ensiklopedia daring terbesar, Wikipedia, masih menulis dengan ejaan “Soekarno”.

Kami, berdikarionline.com, pun pernah melakukan kesalahan itu dulu. Lalu, sejak 2017, ada kebijakan redaksi menggunakan ejaan: Suarno.

Lantas, mana yang benar, Soekarno atau Sukarno?

Jika anda membuka lembar demi lembar buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams, yang diterbitkan PT Gunung Agung, 1966, nama bapak Marhaenisme itu ditulis dengan ejaan “Sukarno”. Dan itulah yang benar.

Di buku itu Sukarno memberi penjelasan kenapa namanya mesti dieja “S-u-k-a-r-n-o”. Menurut beliau, setelah Indonesia merdeka, tepatnya di tahun 1947, terjadi perubahan ejaan.

Jadi, antara 1901-1947, kita memakai ejaan Belanda atau sering disebut ejaan Van Ophuijsen. Menurut ejaan lama itu, bunyi “u” dituliskan dengan huruf “oe”. Makanya, pada waktu Sukarno sekolah, namanya ditulis “Soekarno”.

Tahun 1947, Menteri Pengajaran Raden Soewandi mengganti ejaan Van Ophuijsen dengan ejaan baru, sering disebut “ejaan Republik” atau “ejaan Soewandi”. Dalam ejaan Republik, bunyi “u” dituliskan dengan huruf “u”.

Perubahan ejaan itu punya makna ideoligis dan politik. Setelah Indonesia merdeka, ada upaya dekolonialisasi di segala bidang, termasuk di bidang pendidikan dan kebudayaan. Dekolonialisasi adalah proses dari sebuah negara baru merdeka untuk menghilangkan sisa-sisa dan pengaruh dari negara bekas penjajahnya.

Nah, sebagai dukungan atas dekolonialisasi ejaan itu, Sukarno menganjurkan agar namanya ditulis dengan ejaan Republik, menjadi: S-u-k-a-r-n-o. Hanya saja memang, perubahan penulisan ejaan itu tidak berlangsung serta-merta. Sukarno sendiri mengakui.

“Tidak mudah untuk merobah tanda-tangan setelah berumur 50 tahun. Jadi kalau aku sendiri menulis tanda-tanganku, aku masih menulis S-O-E,” kata Sukarno di buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Seharusnya, jika mengikuti seruan dekolonialisasi ejaan itu, nama Presiden Kedua Indonesia harusnya ditulis “Suharto”, bukan “Soeharto”. Tetapi, hingga akhirnya hayatnya, nama diktator rezim Orde Baru itu tetap ditulis: S-o-e-h-a-r-t-o.

Kemudian, di luar soal ejaan itu, Sukarno sebetulnya tidak punya awal. Makanya dia marah besar ketika ada orang yang menambahkan nama Ahmad di depan namanya.

“Sekali ada wartawan goblok yang menulis, bahwa nama awalku adalah Ahmad. Sungguh menggelikan. Namaku hanya Sukarno saja,” jelasnya.

Soal panggilan, Sukarno lebih suka dipanggil “Bung”. Sapaan yang populer di kalangan para pejuang di masa Revolusi 1945 dapat disejajarkan dengan panggilang “Warganegara” (Citizen) di zaman Revolusi Perancis 1789 atau “Kamerad” di saat revolusi Rusia 1917.

Sapaan “Bung”, yang bisa berarti “saudara atau kawan seperjuangan”, melenyapkan penghambaan terhadap hirkarki feodal maupun jenjang kepangkatan. Dengan panggilan “Bung”, setiap manusia Indonesia dianggap setara, sebagai saudara seperjuangan atau saudara sebangsa, tanpa menghilangkan rasa hormat dan prinsip saling menghargai.

Jadi, apa kabarmu siang ini, Bung?

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid