Hak pilih yang dinikmati oleh kaum perempuan Indonesia hari ini tidak datang cuma-cuma, bukan hadiah dari langit, dan tidak terberi secara alami. Dia adalah hasil perjuangan panjang, berliku, dan penuh pengorbanan.
Berikut ini kronik perjuangan perempuan Indonesia untuk hak pilih:
1900: Isu-isu perempuan, yang awalnya dirintis oleh Kartini, mulai mendapat tempat di kancah pergerakan. Terutama soal hak mendapatkan pendidikan, penolakan terhadap poligami dan lain-lain. Sekolah-sekolah perempuan berdiri di banyak tempat.
1908: Organisasi Asosiasi Hak Pilih Perempuan Belanda (Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht, sering disingkat: VVV) mendirikan cabangnya di Hindia-Belanda. Tujuannya adalah untuk menggencarkan kampanye hak pilih bagi perempuan.
1910-an: organisasi perempuan mulai berdiri, seperti Poetri Mardika (1912), Keoetamaan Isteri (1913), Keradjinan Amai Setia (1914), Wanito Hadi (1915), Pawijatan Wanito (1915), Poerborini (1916), Pertjintaan Iboe Kepada Anak Temoeroen/PIKAT (1917), Aisjijah (1917), Wanita Soesilo (1918), Wanodjo Oetomo (1918), Sarekat Kaoem Iboe Soematra (1920), Wanita Oetomo (1921), Wanita Katholiek (1924), Kemadjoean Isteri (1926), Poetri Indonesia (1927), Mardi Kemoeliaan (1927), Ina Toeni (1927), Poetri Setia (1928), dan Wanita Sahati (1928), dan lain-lain.
1915: VVV cabang Hindia-Belanda meminta Ratu Belanda untuk mendukung kesetaraan dalam pemilihan Dewan Kota. Namun, permintaan itu ditolak.
1916: pemerintah Belanda mengeluarkan Undang-Undang tentang pembentukan dewan perwakilan abal-abal yang dinamai Volksraad (Dewan Rakyat). Dewan ini berperan sebagai badan penasihat yang hanya berhak memberikan usul-usul kepada pemerintah Hindia Belanda.
1917: pemilihan anggota Volksraad pertama digelar. Dari 38 anggota Volksraad, hanya separuh yang dipilih. Sisanya diangkat langsung oleh Gubernur Jenderal. Pribumi sendiri hanya punya jatah 15 kursi: 10 dipilih, 5 diangkat. Perempuan belum punya hak pilih di pemilihan ini.
1918: Pembukaan Volksraad oleh Gubernur Jendral Van Limburg Stirum. Tidak ada perempuan dalam Dewan Perwakilan ini.
VVV cabang Hindia-Belanda melobi anggota Volksraad yang baru diangkat agar mendukung hak pilih perempuan. Mereka juga meminta Gubernur Jenderal membuka Pemilihan Dewan Kota untuk kaum perempuan.
1919: perempuan di Negeri Belanda akhirnya mendapat hak pilih dalam pemilu. VVV kemudian menggencarkan kampanye hak pilih di negara jajahan. VVV cabang Hindia Belanda berganti nama menjadi Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht in Nederlands Indie (Asosiasi Hak Pilih Perempuan di Hindia-Belanda).
1920: VVV berusaha merekrut aktivis pergerakan perempuan Indonesia. Ada dua tokoh perempuan yang akhirnya tercatat sebagai aktivis VVV, yaitu Rukmini Santoso (adik Kartini) dan Rangkayo Chailan Syamsu Datuk Tumenggung (aktivis anti pernikahan anak dari Sumatera Barat).
VVV berusaha menjalin kontak dengan organisasi perempuan Indonesia untuk memasokkan kesadaran tentang hak-hak politik perempuan. Masalahnya: di satu sisi, organisasi perempuan Indonesia semakin terseret ke dalam gerakan nasionalis; di sisi lain, pimpinan VVV sama sekali tidak bersimpati dengan tuntutan kemerdekaan.
1925: Parlemen Belanda yang sudah diisi oleh perwakilan perempuan berhasil menghapus kalimat dalam Perundang-undangan Hindia-Belanda yang menyatakan hak pilih hak eksklusif milik laki-laki. Artinya, perempuan boleh punya hak pilih. Namun, pemerintah kolonial dan Volksraad yang konservatif menolak tuntutan VVV terkait hak pilih perempuan itu.
1928: Pada 22 Desember 1928, 750-1000 perempuan perwakilan 30 organisasi menggelar Kongres Perempuan Indonesia (KPI) Pertama di Yogyakarta. Selain membahas isu-isu sosial, seperti pendidikan dan perkawinan, Kongres ini mendikusikan peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan. Tidak hanya itu, Kongres ini juga melahirkan organisasi payung bernama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI).
Presiden VVV saat itu, Sophie van Overveldt-Biekart, meminta kesempatan untuk hadir di KPI I untuk memberikan saran-saran politik, tetapi diacuhkan.
1934: VVV berniat untuk membatalkan tuntutannya kepada pemerintah kolonial terkait hak pilih perempuan, termasuk hak pilih perempuan pribumi, dengan hanya mengajukan hak pilih perempuan Eropa saja untuk Volksraad. Tetapi manuver itu berhasil digagalkan Nyonya Datuk Tumenggung di Sidang Tahunan VVV 1934.
1935: Kongres Perempuan Indonesia (KPI) ke-2 digelar di Jakarta, pada 20-24 Juli 1935. Kongres ini dihadiri oleh 20-an utusan/perwakilan organisasi perempuan. Salah satu hasilnya adalah pembentukan “Badan Pemberantasan Buta Huruf” (BPBH) di bawah pimpinan nyonya Suparto.
Gerakan perempuan Indonesia mengusulkan sejumlah nama, seperti Maria Ulfah dan Nj Datu Tumenggung, untuk menempati posisi sebagai wakil di Volksraad. Namun, usulan itu diabaikan pemerintah kolonial.
Seorang perempuan Belanda, Razoux Schultz-Metzer, diangkat menjadi anggota Volksraad.
1937: Anggota Volksraad, Razoux Schultz-Metzer, mengajukan sebuah mosi, yang segera disetujui Volksraad, untuk mendesak Pemerintah kolonial segera memberikan hak pilih perempuan dari seluruh ras.
Di tahun yang sama, pemerintah kolonial menjalankan reformasi setengah hati dengan mengakui hak pilih pasif (passieve kiesrecht) bagi semua perempuan tanpa memandang ras di pemilihan Dewan Kotapraja.
1938: Kongres Perempuan Indonesia (KPI) ke-3 digelar di Bandung, pada 23-28 Juli 1938. Dalam kongres itu, isu hak pilih perempuan makin menguat. Nj Datu Tumenggung bilang: Sekarang hak dipilih telah diberikan kepada kita; jika kita dipilih oleh kaum laki-laki, dapatlah kita duduk dalam Gemeenteraad. Dengan kepercayaan penuh, bahwa kaum laki-laki kita akan suka meluangkan tempat bagi saudaranya kaum perempuan, kita mengerti juga, bahwa hak dipilih itu belum cukup. Dengan hak tersebut belum dapat kita memilih mereka, yang sebenarnya kita anggap cakap dan sesuai dengan pilihan kita sendiri akan dijadikan wakil kita.
Empat orang perempuan Indonesia berhasil duduk dalam Dewan Kota (gemeenteraad), yaitu: Ny. Emma Puradiredja (Bandung), Ny. Sukaptinah Sunarjo Mangunpuspito (Semarang), Siti Sundari Sudirman (Surabaya), dan Sri Umiyati (Cirebon).
1939: pemerintah kolonial menolak usulan organisasi perempuan Indonesia yang menuntut agar ada perempuan yang ditunjuk menduduki Volksraad. Sebanyak 45 organisasi perempuan melancarkan protes keras. Mereka mengeluarkan resolusi, bahwa pemerintah Belanda harus mencalonkan perempuan Indonesia sebagai Dewan Rakyat pada periode berikutnya (1941).
1941: Kongres Perempuan Indonesia (KPI) ke-4 di gelar di Semarang, pada bulan Juli 1941. Kongres itu menyetujui “Aksi GAPI” untuk pembentukan milisi Indonesia dan memperteguh tuntutan hak pilih perempuan. Kongres ini berlangsung di tengah ancaman agresi fasisme Jepang.
1945: Indonesia berhasil memproklamirkan Kemerdekannya tanggal 17 Agustus 1945. Sehari setelah itu, Konstitusi Republik Indonesia (UUD 1945) disahkan, yang mengakui kesetaraan hak laki-laki dan perempuan. Termasuk mengakui hak memilih dan dipilih kaum perempuan.
Pada tanggal 29 Agustus 1945, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)–badan yang punya fungsi menyerupai parlemen–dibentuk oleh pemerintah Republik yang baru berdiri. Di badan tersebut, ada 5 perempuan yang terpilih sebagai anggota. Salah satunya adalah Maria Ulfah Santoso (Harry A Poeze, 2006: 46).
1955: pemilu bebas pertama digelar oleh Indonesia. Perempuan Indonesia bukan hanya punya hak pilih dan memilih, tetapi bahkan ada partai perempuan yang turut bertarung, yakni Partai Wanita Indonesia/Partai Wanita Rakjat. Dalam pemilu itu, ada 19 perempuan yang terpilih sebagai anggota parlemen (DPR): 4 dari PNI, 4 dari Masyumi, 5 dari NU, 5 dari PKI, dan 1 dari PSI.
Begitulah jalan terjal perjuangan hak pilih perempuan di Indonesia. Semoga pengalaman perjuangan itu semakin memperkaya pengetahuan sekaligus keteguhan politik kita untuk mendorong kesetaraan gender di lapangan politik. Amien.
RINI HARTONO
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid