Sukarno menuding pasal-pasal itu bisa ditafsirkan subjektif. Menurutnya, banyak kalimat dalam pasal-pasal itu yang berpotensi ditafsirkan secara subjetif, seperti “ketertiban umum”, “menerbitkan rusuh”, “kabar bohong”, dan lain-lain.
Apa kutukan sejarah kolonialisme yang paling ironis? Salah satunya: bangsa merdeka meniru cara bekas penjajahnya membungkam lawan-lawan politiknya. Bahkan dengan cara dan kadar yang lebih buruk.
Persis itulah yang menimpa Indonesia merdeka. Sejak Orde Baru hingga kini, negara kerap membungkam, memenjarakan, bahkan menghilangkan nyawa warga Negara yang berpikiran kritis.
Negara juga kerap menangkapi dan memenjarakan aktivis yang tergerak untuk membela hak-hak dasar warga Negara, seperti korban konflik agraria, perburuhan, penggusuran paksa, perusakan lingkungan dan lain sebagainya.
Kerap terjadi, mereka yang berpikir kritis atau pembela hak-hak rakyat diberi cap persis dengan cap-cap yang dilekatkan oleh penjajah kepada pejuang kemerdekaan kita: tukang hasut, provokator, penebar kebencian terhadap penguasa, hingga tuduhan makar.
Soal beragam tuduhan itu, mari kita kenang kasus penangkapan Sukarno dan kawan-kawannya sesame aktivis Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
Jadi, pada 29 Desember 1929, Sukarno bersama tiga aktivis PNI lainnya, Gatot Mangkupraja, Maskun Sumadirejo, dan Supriadinata, ditangkap oleh aparat kolonial Belanda.
Usia Sukarno kala itu masih 28 tahun. Ia baru saja mendirikan partai politik baru: PNI. Ketika Sukarno ditangkap, usia PNI baru 2 tahun. Namun demikian, sepak terjang partai berlambang kepala banteng ini mengguncang kekuasaan Hindia-Belanda.
Sukarno dan kawan-kawan dituduh sebagai tukang hasut dan menentang pemerintah. Ia dan kawan-kawannya dijebloskan ke penjara Banceuy, Bandung.
Pada Agustus 1930, kasus Sukarno dan kawan-kawan bergulir di pengadilan kolonial. Mereka dijerat dengan dua pasal: pertama, pasal 153 bis tentang penghasutan untuk mengganggu ketertiban umum dan menentang pemerintah; kedua, pasal 169 tentang keterlibatan dalam perkumpulan atau organisasi kejahatan.
Tentu saja, Sukarno tak terima tuduhan itu. Dalam ruangan sel yang sempit, pengap, dan bau pesing, Sukarno menyusun pidato pembelaannya. Kelak, pidato pembelaan ini dinamai “Indonesia Menggugat”.
Tanggal 18 Agustus 1930, saat itu tiba. Sidang pembacaan Pledoi benar-benar jadi palagan Sukarno. Paling pertama, di pembukaan Pledoi, Sukarno langsung menembak pasal-pasal karet dalam Wetboek van Stafrecht (KUHP Belanda).
Sukarno menuding pasal-pasal itu bisa ditafsirkan subjektif. Menurutnya, banyak kalimat dalam pasal-pasal itu yang berpotensi ditafsirkan secara subjetif, seperti “ketertiban umum”, “menerbitkan rusuh”, “kabar bohong”, dan lain-lain.
Masalahnya, lanjut Sukarno, penafsiran subjektif itu membuka jalan bagi penguasa kolonial untuk menghalangi kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Pasal tersebut berpotensi disalah-gunakan untuk membungkam mulut yang kritis.
Karena itu, Sukarno menyebut pasal-pasal itu sebagai pasal karet alias haatzaai-artikelen. Pasal yang penafsirannya bisa dilenturkan sesuai keinginan penafsirnya. Dalam hal ini, tentu saja: penguasa.
“Ini adalah kesewenang-wenangan dengan mempergunakan Undang-undang sebagai senjata,” kata Sukarno.
Saat itu, pengadilan kolonial juga mempersoalkan penggunaan bahasa radikal oleh Sukarno dan PNI-nya. Kata-kata seperti “merobohkan”, “menghancurkan”, “mencelakakan”, “merusak”, dan sejenisnya, dianggap mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Sukarno meradang. Dia bilang, bahasa radikal memang bahasanya PNI. Sukarno bersuara nyaring: “Kami punya bahasa adalah bahasa yang keluar dari kalbu yang berkobar-kobar dengan semangat nasional, berkobar-kobar dengan rasa kecewa atas celaka dan sengsara rakyat.”
Singkat cerita, meskipun pidato “Indonesia Menggugat” menghantam langsung kejanggalan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, tetapi putusan pengadilan tetap tidak memihak Sukarno.
Sukarno bukanlah korban satu-satunya. Kawan seperjuangannya yang kelak mendampinginya sebagai Proklamator, Mohammad Hatta, juga bernasib sama. Hatta juga diseret ke pengadilan Belanda di Den Haag, Maret 1928, karena pasal penghasutan.
Ada banyak lagi pejuang kemerdekaan yang juga ditangkap, dijebloskan ke penjara, bahkan dibuang ke Boven Digul, Papua, hanya karena dituduh sebagai tukang hasut, penebar kebencian, dan provokator oleh kolonial Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1946, keluar UU nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana. Beleid baru ini menghapus pasal 153 bis dan 153 ter. Sayang, beleid baru tidak membongkar keseluruhan pasal-pasal karet itu.
Di zaman Orde Baru, pasal-pasal karet itu kembali dipergunakan untuk membungkam siapapun yang mengkritik atau menentang kekuasaan. Bahkan, di tahun 1996, pasal-pasal ini juga yang dipakai untuk menangkapi dan memenjarakan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Orde baru sudah jatuh, tapi pasal-pasal itu masih terus dipakai hingga sekarang. Tak hanya dipelihara lewat KUHP, tetapi di perluas pada banyak UU, peraturan pemerintah, hingga kebijakan aparat keamanan.
Hari ini, jelang 76 tahun Indonesia merdeka dan 23 tahun reformasi, pasal penghasutan kerap dipakai untuk membungkam suara warga negara yang kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Ya, inilah ironi sejarah.
RUDI HARTONO, Pemimpin redaksi berdikarionline.com
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid