Kembali ke Maritim

Memasuki tahun 1600 Masehi, raja-raja di Nusantara dipaksa melepaskan kekuasaan atas laut yang berarti juga penghentian perdagangan laut. Tahun-tahun berjalan sesudah itu seakan adalah tahun-tahun isolasi karena sudah tidak ada kemerdekaan untuk berlayar. Kekuatan yang sanggup menenggelamkan dan sekaligus mengandangkan kapal-kapal nusantara yang telah membuat “lupa daratan” itu adalah kekuatan imperialisme kuno Eropa Barat yang bersemboyankan gold, glory dan gospel. Begitulah Portugis merebut Malaka pada tahun 1511. Bung Karno meratapi kekalahan ini dengan pertanyaan yang menggugat.

“Masih ketjillah imperialisme ini pada waktu itu, djauh lebih ketjil daripada imperialisme modern di zaman sekarang! En toch dunia Timur waktu itu tiada kekuatan sedikitpun jua untuk menolak imperialisme jang masih ketjil itu? Dimanakah kekuatan Hindustan, dimanakah kekuatan Philipina, dimanakah kekuatan Indonesia, — dimanakah kekuatan masjarakat Indonesia, jang dulu katanja mempunjai keradjaan-keradjaan gagah-sentausa seperti Sriwidjaja, seperti Mataram kesatu, seperti Madjapahit, seperti Padjajaran, seperti Bintara, seperti Mataram kedua?”  (Mentjapai Indonesia Merdeka dalam Di Bawah Bendera Revolusi, tjetakan ketiga, 1964;260).

Kehidupan yang berorientasi ke laut pun semakin ditinggalkan dan dipaksa dilupakan dengan memasuki daratan yang makin ke dalam dan mengagungkan pertanian seakan-akan sambil menyanyikan lagu anak-anak: nenek-moyangku seorang pelaut. Perdagangan pun dibenci dan pedagang dimasukkan dalam golongan penyakit sosial setara dengan  pecandu narkoba, penjudi dan penjahat sebagaimana ditunjukkan dalam Serat Wulang Reh, Pupuh Wirangrong bait ke-10 sampai ke-13 karya Paku Buwana IV (1768-1820), Raja Surakarta; yang dalam beberapa hal bisa dianggap sebagai ajaran kebijaksanaan Jawa:

  1. Ana cacad agung malih anglangkungi saking awon, apan sakawan iku kenipun, dhingin wong madati, pindho wong ngabotohan, kaping tiga wong durjana.

  2. Kaping sekawane ugi, wong ati sudagar awon, mapan suka sugih watekipun, ing rina lan wengi, mung bathine denetang, alumuh lamun kalonga.

  3. Iku upamane ugi, duwe dhuwit pitung bagor, mapan nora marem ing tyasipun, ilanga sadhuwut, gegetun patang warsa, padha lan ilang saleksa.

  4. Wong ati sudagar ugi, sabarang prakara tamboh, amung yen ana wong teka iku, anggagawe ugi, gagadhen pan tumranggal, ulate teka sumringah.

Olah kebudayaan pun semakin ke dunia dalam: dunia batin dan rasa seperti yang diwakili Mataram kedua dalam istilah Bung Karno.

Empat  abad sesudah itu, orientasi untuk memperkuat kehidupan dan perdagangan laut kembali mengemuka. Setidaknya Joko Widodo ketika menyambut penetapan dirinya sebagai Presiden terpilih 2014-2019 oleh  KPU menjanjikan bahwa dengan semangat gotong royong “.. akan membuat bangsa Indonesia bukan saja akan sanggup bertahan dalam menghadapi tantangan, tapi juga dapat berkembang menjadi poros maritim dunia, locus dari peradaban besar politik masa depan.” Harapan ini tentu saja bisa terwujud sebab nusantara sebelum memasuki tahun 1600 M selalu berorientasi ke laut dan dari rahim lautan nusantara itu dilahirkan dua kerajaan maritim yang besar yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Pramoedya Ananta Toer dengan semangat besar mengisahkan banyak hal tentang mundurnya kehidupan dan perdagangan laut nusantara dan kejayaan Majapahit melalui epos nusantara “Arus Balik”.

Sebelum melangkah lebih jauh dengan cita-cita besar akan kejayaan peradaban maritim ke depan, kita memang perlu menguatkan kedaulatan politik, ekonomi dan budaya terutama di lautan  kita yang sejalan dengan visi Tri Sakti sebagaimana diajarkan Presiden pertama Republik Indonesia: Bung Karno. Kedaulatan menjadi kata kunci penting sekaligus menjadi pegangan politik penting dalam  mengembangkan Indonesia menjadi pusat maritim dunia yang jaya dan makmur. Secara konstitusi, kita bisa berpedoman pada Pasal 33 UUD 1945 yang hakikatnya adalah menghapuskan sistem ekonomi kolonial yang telah berkuasa dan berjalan ratusan tahun itu sambil terus memperkuat ekonomi nasional hingga memang segala sumber daya alam yang menjadi kekayaan Republik Indonesia baik di darat dan lautan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat.

Karena itu pula segala daya upaya: politik melalui berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah harus bisa memperkuat dan berpihak pada kedaulatan dan kepentingan nasional. Misalnya tidak membiarkan begitu saja kapal-kapal asing berlayar di wilayah lautan kita entah dalam motif ekonomi atau hanya lewat saja tanpa ijin. Sebagaimana pernah disinyalir Pramoedya Ananta Toer, “Angkatan Laut Amerika dengan bebas hilir-mudik melewati Selat Lombok dan Sunda.” Apakah hal ini masih terjadi?

Menurut Pramoedya, Soekarno tegas dalam soal ini: “Waktu dulu Inggris mau melewati Selat Bali, Sukarno berkata: ‘Jangan! Tuan jangan lewat Selat Bali!’ Dia tantang Inggris. Dan Inggris tunduk. Mereka bilang sama Sukarno: ‘Baiklah. Kami tidak akan melewati Selat Bali. Tapi kami minta, jangan ini diumumkan dalam pers.’ Sekarang ini apa?..” (Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, catatan pribadi Koesalah Soebagyo Toer, Gramedia, 2006;85-86)

Presiden Joko Widodo sudah berbicara perlunya Revolusi Mental. Tentu revolusi semacam ini penting juga terlebih bila dikembangkan dalam rangka membangun kepribadian bangsa yang berorientasi pada budaya maritim. Sudah terbukti dalam sejarah nusantara, lautlah yang membesarkan dan memakmurkan seperti Sriwijaya dan Majapahit. Karena itu perubahan orientasi dan visi pembangunan  dari daratan ke laut adalah perubahan besar di nusantara. Sebaliknya orientasi ke darat, berarti memunggungi masa depan yang jaya. Dengan begitu kembali ke maritim bukanlah kerja main-main: membutuhkan strategi kebudayaan, dukungan politik dan perubahan strategi kemiliteran yang sanggup mengubah mental agraris menjadi maritim. Dalam penampakan yang sederhana, misalnya menjadikan ikan dan bahan makanan dari laut menjadi menu utama di meja makan.

Akankah visi maritim Presiden Jokowi sebagai janji akan terbukti?

Yang terbaik tentu yang diharapkan. []

AJ Susmana, Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid
Tags: