Kekerasan Sektarian di India Menguntungkan Siapa?

Sejak Minggu (23/1), kekerasan massa di bagian timur laut Delhi sudah menewaskan 21 orang, termasuk polisi. Melukai ratusan orang lainnya. Juga membakar kendaraan bermotor, toko, rumah, menyerang jurnalis, merusak tempat ibadah, dan menghancurkan sebuah kuil.

Aturan lama reportase media di India mengharuskan reportase kekerasan komunal tidak menyebut nama. Dalam pemberitaan selalu dikatakan “oknum dari komunitas agama tertentu menyerang oknum komunitas agama yang lain”. Kebiasaan penganoniman ini cenderung mendistorsi fakta: konflik yang sebetulnya tak seimbang digambarkan seolah diametral-berimbang.

Hal ini penting disampaikan, mengingat tempat ibadah yang dirusak adalah dua masjid dan satu kuil sufi; mayoritas yang tewas adalah muslim; pelaku penyerang wartawan, yang menyita telpon dan memukili mereka, adalah ekstremis Hindu; dan sebagian besar rumah dan tokoh yang dibakar adalah kepunyaan warga muslim.

Memang, ada kejadian orang islam membakar mobil; ada video seorang pria muslim menembakkan pistol; dan beberapa kejadian pelemparan batu oleh orang Islam. Tapi, yang tak terbantahkan, pihak yang memicu dan mengorganisir kerusuhan ini adalah politisi yang tergabung dalam Bharatiya Janata party (BJP), partai berkuasa di India.

Mereka membuat pidato kebencian yang memicu kerusuhan. Organisasi sayap mereka yang menyerang kaum muslim, dengan impunitas. Dan kepolisian Delhi, yang melapor ke Menteri Dalam Negeri (tangan kanan Perdana Menteri Narendra Modi), Amit Shah, orang yang dianggap dalang kerusuhan ini, justru tiba setelah muslim diserang. Bahkan polisi cenderung terlibat dalam kekerasan terhadap para penentang UU Kewarganegaraan yang diskriminatif.

Kerusuhan semacam ini bukan hal baru di Delhi dalam beberapa dekade—tapi yang sekarang ini yang terburuk. Tahun 1984, partai Kongres menggunakan kasus terbunuhnya Indira Gandhi oleh pengawal penganut Sikh, sebagai alasan untuk mengorganisir kekerasan terencana (pogrom) yang menyebabkan ribuan orang Sikh terbunuh.

Kekerasan di Delhi sekarang mungkin belum bisa dikatakan pogrom. Tapi melihat pola pelibatan polisi, juga patronase politik yang berujung pada milisi tukang main hakim sendiri (vigilante), telah menunjukkan jalinan kerjasama milisi sipil dan aparatus negara untuk menundukkan oposisi penentang proyek supremasi Hindu ala BJP.

Yang terbaru, proyek dari kaum mayoritas ini adalah serangan dua arah terhadap UU Kewarganegaraan. Amandemen UU Kewarganegaraan (CAA) didesain sebagai jalur cepat bagi warga non-muslim dari negara-negara mayoritas muslim untuk mendapat kewarganegaraan. Implikasinya: ada tes agama untuk mendapat kewarganegaraan.

UU baru ini akan disertai dengan kebijakan registrasi nasional kewarganegaraan (NRC), yang akan memaksa orang India membuktikan keindiaannya. Non-muslim yang tidak lolos tes NRC bisa menggunakan celah yang diciptakan UU kewarganegaraan yang baru (CAA) untuk mendapat kewarganegaraan. Sebaliknya, muslim yang gagal tes NRC tidak punya pilihan lain: mereka akan terlempar seperti dalam Limbo (bangsa dalam sebuah negara, yang keberadaannya yang tak terakui), seperti kasus orang Rohingya di Rakhine, Myanmar, sebelum mereka diusir paksa dari Provinsi itu.

UU baru ini, yang secara institusional mensubversi kewarganegaraan muslim, akan menjadi hadiah besar bagi partai kaum mayoritas, seperti BJP. Ini akan jadi, jika anda setuju, semacam “rumah singgah” antara taktik penekanan (taktik memenangkan pemilu dengan cara mencegah/mengurangi jumlah pemilih untuk lawan)  ala Partai Republik di Amerika Serikat dan hukum Nuremberg NAZI (UU anti-Yahudi di jaman NAZI) di Jerman: kurang terang-terangan dari dibanding yang pertama dan kurang bigot dari yang kedua.

CAA/NRC ini merupakan ancaman nyata, bukan hanya terhadap kewarganegaraan yang beragam Islam, tetapi juga terhadap klaim usang India sebagai negara sekuler dan menjunjung tinggi pluralisme. Ini telah memicu kampanye Pan-Indianisme yang luar biasa, yang dimotori oleh kaum muslim—terutama muslim perempuan—dan mahasiswa.

Setelah menguasai mayoritas kursi parlemen untuk kedua kalinya di 2019, pemerintahan BJP di bawah Narendra Modi makin tak terbendung. Pengubahan negara bagian Jammu dan Kashmir menjadi wilayah yang diperintah secara federal, pada 2019, yang melucuti otonominya yang dijamin konstitusi. Putusan Mahkamah Agung India yang memutuskan nasib sebuah masjid yang diratakan oleh perusuh Hindu di Ayodhya akan dibangun kembali menjadi candi Hindu.

Dua kejadian itu membuat Modi dan para Shah merasa sangat percaya diri, bahwa kebijakan Kewarganegaraan mereka tidak akan mendapat perlawanan berarti.

Namun, di permukaan tampak upaya ini hendak digagalkan oleh gerakan non-kekerasan yang dimotori oleh muslim dengan tidak menampilkan idiom agama. Sebaliknya, mereka mengingatkan konstitusi India dan jaminan sekulerismenya sebagai “tulisan suci”.  Mereka juga membungkus dirinya dalam bendera nasional dan menjadikan Bhimrao Ambedkar, seorang Dalit penyusun Konstitusi India, sebagai inspirasinya. Semua itu membuat pemerintahan Narendra Modi frustasi.

Ini berujung pada penggambaran yang jelas keliru terkait bentrokan berujung kekerasan di Delhi sebagai bentrokan antar-agama karena urusan sepele. Akhirnya, perjuangan untuk mempertahankan UU Kewarganegaraan yang sekuler dipikul sendirian oleh kaum muslim.

Dan jantung dari semua perlawanan ini adalah aksi duduk di tempat (gerakan protes dengan duduk diam di sebuah tempat dan tidak akan pergi sebelum aspirasinya diterima) yang oleh perempuan muslim. Sebagian besar di lakukan di pemukiman yang dihuni mayoritas muslim.  Aksi duduk ini menjadi “titik pijak” bagi membesarnya gerakan protes ini, yang juga berhasil memobilisasi non-muslim.

Pemerintahan BJP dan jaringan televisi India berusaha keras menggambar para demonstran ini sebagai “sektarian penghasut” yang ingin menggagalkan mandat Modi sebagai Perdana Menteri terpilih lewat Pemilu. Tidak ada yang diinginkan oleh pemerintahan ini selain membersihkan demonstran ini. Dan jalannya: kekerasan.

Ini menjadi penting, karena perlawanan terhadap UU Kewarganegaraan—seperti ditunjukkan oleh aksi duduk di Shaheen Bagh dan Jafrabad—muali berhasil meraih kemenangan penting.

Hari selasa, pemerintahan di Bihar, yang mana BJP berkuasa lewat koalisi dengan partai lokal, sudah menyatakan tidak akan memberlakukan Daftar Kependudukan yang baru, tahap awal yang diperlukan untuk menyusun NRC. Tidak menutup kemungkinan, kejadian ini akan mendorong Negara bagian yang lain, terutama yang diperintah oleh oposisi, untuk melakukan hal serupa.

Tanpa dukungan negara bagian, skema UU Kewarganegaraan BJP yang direncanakan dengan hati-hati mungkin tidak akan menghasilkan apa-apa.  Itulah mengapa kekerasan di timur laut Delhi sangat signifikan dan berpotensi tidak menyenangkan; ini mungkin pertanda sesuatu yang lebih buruk: ketika pemerintah supremasi Hindu gagal memprovokasi gerakan protes non-kekerasan, akan lebih memilih membersihkan penentangnya dengan jalan kekerasan.

MUKUL KESAVAN, seorang pengarang dan penulis yang mengajar sejarah di Universitas Jamia Millia Islamia Delhi

Diterjemahkan dari laman pemuat pertama artikel ini: The Guardian.

Sumber foto: REUTERS/Danish Siddiqui

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid