Isu Angkatan Ke-V Dan Peristiwa G30S

Selama ini, salah satu dalih yang dipakai untuk menuduh PKI mendalangi Gerakan 30 September (G30S) 1965 adalah isu Angkatan ke-V. Bagi mereka yang memakai dalih ini, Angkatan ke-V merupakan gagasan PKI untuk mempersenjatai kaum buruh dan tani, sebagai persiapan merebut kekuasaan.

Cerita ini terus-menerus dipropagandakan oleh sejarawan militer dan Orde Baru. Tidak sedikit orang yang mempercayainya. Bahkan dikembangkan cerita, bahwa Pemuda Rakyat dan Gerwani yang berada di Lubang Buaya, yang menyiksa para Jenderal, adalah perwujudan “Angkatan ke-V”. Mereka mendapat pasokan senjata dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Saya berusaha melihat isu Angkatan ke-V ini dari versi lain. Salah satunya adalah Soebandrio, yang menjabat Wakil Perdana Menteri RI di era itu. Dalam buku berjudul Kesaksianku Tentang G30S, yang terbit pada tahun 2000 lalu, Subandrio menceritakan sekilas perihal Angkatan ke-V.

Menurutnya, pada akhir 1963, Ia selaku Waperdam sekaligus Menlu berkunjung ke RRT. Di sana ia disambut hangat. Pemimpin RRT mengelu-elukan Bung Karno sebagai pemimpin anti-imperialis dan anti-kolonialisme. Dalam pembicaraan saat itu, pihak RRT menawarkan bantuan berupa peralatan militer untuk 40 batalyon tentara. Peralatan itu meliputi senjata manual, otomatis, tank, dan kendaraan lapis baja. Semuanya gratis dan tanpa syarat.

Saat itu, menurut pengakuan Soebandrio, pihaknya tidak langsung menyatakan menerima. Begitu tiba di tanah air, ia menyampaikan hal tersebut ke Bung Karno. Jawaban Bung Karno: Ya, terima saja. Akhirnya, persetujuan Bung Karno itu disampaikan ke pihak RRT. Namun, belum ada jadwal kapan perlengkapan militer itu akan dikirimkan.

Awal tahun 1965, kata Soebandrio, barulah Bung Karno muncul ide mengenai pembentukan Angkatan ke-V itu. Tujuannya untuk menampung persenjataan bantuan RRT tersebut. Saat itu, Bung Karno merasa persenjataan keempat angkatan lain, yakni AD, AU, AL, dan Kepolisian, sudah dianggap cukup. Sehingga muncullah ide untuk membentuk angkatan ke-V.

Namun, seperti ditegaskan Soebandrio, Bung Karno belum merinci bentuk Angkatan ke-V itu. Intinya, angkatan ini tidak sama dengan angkatan yang sudah ada. Saat itu, kata Soebandrio, isu angkatan ke-V belum ada embel-embel mempersenjatai buruh dan tani.

Manai Sophiaan, dalam bukunya Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno tidak terlibat G30S/PKI, punya penjelasan yang mirip dengan Soebandrio. Ia mengungkapkan, isu angkatan ke-V barulah sebatas wacana yang dihembuskan oleh Bung Karno. Kalaupun mau dikonkretkan, maka ide Angkatan ke-V itu harus dibahas dan disetujui tiga lembaga negara, yakni Sidang Kabinet (eksekutif), DPRGR (legislatif), dan Dewan Pertimbangan Agung. Pada kenyataannya, dibahas saja belum pernah, apalagi disetujui.

Menurut Manai Sophiaan, Gagasan Angkatan ke-V sebenarnya hanya move politik yang dilontarkan oleh Bung Karno. Ide itupun bertolak dari ketentuan UUD 1945 pasal 30 tentang bela negara. Selain itu, ada kebutuhan untuk menopang gerakan ‘Ganyang Malaysia’.

Namun, menurut Manai, pihak pers-lah yang membesar-besarkan isu tersebut, sehingga mengundang reaksi dari Menteri/Panglima Angkatan Darat saat itu, Jenderal Ahmad Yani. Ia pun menyampaikan ketidaksetujuannya kepada Bung Karno. Para Jenderal yang lain juga menyuarakan penolakan itu.

Penolakan Yani inilah yang memicu perbincangan luas. Plus embel-embelnya: mempersenjata buruh tani. Bung Karno sendiri berencana memanggil Yani untuk membahas hal tersebut. Jadwalnya: 1 Oktober 1965, pukul 08.00 WIB. Sayang, beberapa jam menjelang pemanggilan itu, Jenderal Yani dibunuh oleh pasukan G30S.

Yang menjadi pemantik hangatnya isu Angkatan ke-V adalah adanya 22 juta sukarelawan yang sudah mendaftar di Front Nasional guna memenuhi seruan Bung Karno mengganyang Malaysia. Pihak kanan menghembuskan isu bahwa 22 juta sukarelawan inilah yang akan disaring masuk ke Angkatan ke-V. Padahal, keberadaan sukarelawan itu tidak ada kaitannya dengan pembentukan Angkatan ke-V.

RRT Dan Bantuan Senjata

Saya kira, yang menarik untuk dicari tahu dalam masalah ini adalah kepentingan RRT memberikan senjata gratis bagi Indonesia. Benarkah itu bantuan tanpa syarat?

Pada tahun 1960, setelah retaknya kubu sosialis akibat konflik Sino-Soviet, RRT berupaya merangkul negara-negara bekas jajahan, yang sedang dilanda perjuangan anti-kolonial. Ini sejalan dengan teori tiga kubu dunia-nya Mao Zedong saat itu: dunia pertama adalah negara-negara kapitalis maju; dunia kedua adalah negara sosialis yang berada di blok Soviet; dan dunia ketiga adalah negara-negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang rata-rata bekas negara jajahan.

Bagi pemimpin RRT saat itu, Indonesia di bawah Soekarno bisa menjadi motor bagi negara-negara dunia ketiga di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin, guna mengimbangi kekuatan negara kapitalis yang dikomandoi oleh AS maupun blok Soviet. Untuk itu, RRT mendukung Indonesia dalam kampanye Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. (Taomo Zhou: 2013).

Di sisi lain, Bung Karno punya konsep tentang dunia yang terbagi dalam dua kubu, yakni OLDEFO ( Old Established Forces) dan NEFO (New Emerging Forces). Oldefo mewakili negara-negara imperialis dan rezim kompradornya di negara berkembang. Sedangkan Nefo mewakili negara-negara yang baru merdeka, negara-negara sosialis, dan rakyat progressif di negeri kapitalis. Dalam konteks ini, RRT berada dalam kubu Nefo, yang berarti sekutu yang perlu dirangkul.

Konsep Pertahanan Rakyat

Kalau kita lihat uraian Soebandrio dan Manai Sophiaan, isu angkatan ke-V dilontarkan oleh Bung Karno. Lontaran isu itu berbasiskan tiga hal: i) kebutuhan menampung bantuan senjata gratis dari RRT; ii) kebutuhan menangkal serbuan Inggris terkait konfrontasi dengan Malaysia; iii) mengacu pada amanat pasal 30 UUD 1945 tentang bela negara.

Saya kira, isu mengenai Angkatan ke-V tidak perlu begitu diributkan jika kita mengacu ke konsep pertahanan kita, bahwa pertahanan negara bukan hanya tanggung-jawab tentara profesional, tetapi tanggung-jawab seluruh rakyat. Ini diatur oleh pasal 30 UUD 1945. Itu pula makna konsep hankamrata atau pertahanan keamanan rakyat semesta.

Konsep itu juga diatur dalam TAP MPRS No.II tahun 1960: Politik keamanan/pertahanan Republik Indonesia berlandaskan Manifesto Politik Republik Indonesia beserta perinciannya dan berpangkal pada kekuatan Rakyat dengan bertujuan menjamin keamanan/pertahanan nasional serta turut mengusahakan terselenggaranya perdamaian dunia.

Kemudian, di Bab II Pasal 4, ayat (4) dan (5) TAP MPRS tersebut, ada penekanan bahwa “Pertahanan Negara Republik Indonesia bersifat defensif-aktif dan bersikap anti-kolonialisme dan anti-imperialisme dan berdasarkan pertahanan Rakyat semesta yang berintikan tentara sukarela dan milisi.”

Dengan demikian, isu angkatan ke-V yang dilontarkan Bung Karno bukanlah hal yang salah. Tidak bertolak-belakang dengan amanat konstitusi dan aturan jaman itu. Hanya saja memang, usulan tersebut harus didiskusikan lebih lanjut untuk mendetailkan konsepsinya.

Hanya saja, dalam konsepsi PKI, memang ada penenakan pada buruh dan tani. Hal ini tidak terlepas dari cara pandang bahwa buruh dan tani-lah kekuatan pokok dalam revolusi. DN Aidit dalam risalah PKI dan AD (1963), menjelaskan mengapa buruh dan tani menjadi kekuatan pokok dalam revolusi. Dan, dengan demikian, paling pokok untuk dipersenjatai.

Menurut Aidit, kaum buruh menjadi kekuatan pokok Revolusi oleh karena mereka, berhubung dengan kedudukan sosialnya, adalah yang paling konsekuen berjuang untuk Sosialisme, yaitu masyarakat yang bersih dari penghisapan atas manusia oleh manusia. Karena paling konsekuen memperjuangkan sosialisme, maka klas buruh pula yang menjadi klas yang tidak akan berhenti berjuang sebelum hapus segala bentuk penghisapan. Termasuk dalam melawan imperialisme dan feodalisme.

Sementara petani menjadi kekuatan pokok revolusi, kata Aidit, karena mereka meliputi mayoritet yang terbesar sekali dari Rakyat dan yang tertindas dari sisa-sisa feodalisme.

Isu perebutan Kekuasaan

Saya kira, isu angkatan ke-V menjadi sensitif dan kemudian menggelinding kemana-mana bak bola panas karena situasi politik jaman itu.

Di tahun 1950-an, politik Indonesia makin menajamkan polarisasi antara kiri dan kanan. Salah satu pemicunya adalah: apakah revolusi nasional sudah selesai atau belum selesai. Soekarno dan kelompok sayap kiri, termasuk PKI dan sayap kiri PNI, beranggapan bahwa revolusi belum selesai. Sementara kelompok tentara (Nasution Cs), Masyumi, dan PSI menolak anggapan itu.

Di pertengahan tahun 1950-an, kubu kiri membesar secara politik karena adanya kampanye nasionalisasi perusahaan Belanda, pembebasan Irian Barat, dan lain-lain. Dan, tidak disangkal lagi, kelompok kiri yang paling menonjol perkembangannya adalah PKI. Apalagi, dalam pemilihan daerah di tahun 1957, PKI menang besar. Ini menciptakan kekhawatiran besar bagi sayap kanan. Inilah yang memicu aksi sayap kanan, yang disokong CIA/AS, untuk melancarkan pemberontakan PRRI/Permesta. Nah, pasca pemberontakan PRRI-Permesta, hampir semua sayap kanan berkumpul di belakang di tentara.

Banyak peneliti sejarah menilai, termasuk penulis Soviet, Kapitsa M.S dan Maletin N.P dalam Soekarno: Biografi Politik, kehadiran Soekarno sebagai pemimpin besar saat itu sangat penting untuk menjadi katup pengaman guna mencegah terjadinya bentrokan diantara kedua kubu tersebut. Inipula yang mendasari manuver angkatan 45, yang dimotori Chaerul Saleh, mendorong ide ‘Presiden Seumur Hidup’. Yakni: untuk mencegah adanya pemilu. Sebab, kalau ada pemilu saat itu, maka dipastikan PKI akan menang.

Di sini, ada tiga isu yang membuat pertentangan kedua kubu memanas dan isu angkatan ke-V mengalami politisasi sedemikian rupa. Pertama, kabar sakitnya Bung Karno. Kedua, isu Dewan Jenderal yang berupaya melakukan kup terhadap Bung Karno. Ketiga, adanya dokumen Gillchrist.

Pada awal Agustus 1965, Bung Karno sakit. Dalam versi sejarah Orba dikatakan, DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT untuk mengobati Bung Karno. Kesimpulan dokter RRT: Bung Karno sudah kritis. Kalau tidak meninggal dunia, beliau akan lumpuh. Cerita ini dikembangkan untuk mendapatkan alibi bahwa PKI terlibat G30S. Logikanya sederhana: kalau Bung Karno parah, AD akan merebut kekuasaan dan memukul PKI. Karena itu, PKI harus bertindak duluan.

Ternyata, menurut versi Soebandrio, dokter Tiongkok yang dibawa Aidit untuk mengobati Bung Karno bukanlah dari RRT, melainkan dari Kebayoran Baru, Jakarta. Menurut Soebandrio, Bung Karno hanya masuk angin. Namun demikian, isu sakitnya Bung Karno ini dibesar-besarkan sedemikian rupa. Termasuk tuduhan bahwa PKI sudah mempersiapkan diri, termasuk mengorganisir militer dan milisi, untuk merebut kekuasaan.

Isu lain yang juga heboh saat itu adalah Dewan Jenderal. Menurut Soebandrio, ia mendengar isu Dewan Jenderal pertama sekali dari Badan Pusat Intelijen (BPI). Tetapi masih informasi yang tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok Jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal merencanakan kup terhadap Bung Karno.

Selain BPI, Brigjend Supardjo dan Kolonel Untung juga sangat percaya dengan isu Dewan Jenderal itu. Keyakinan itu pula yang mendorong keduanya mengorganisir aksi G30S untuk menggagalkan kup Dewan Jenderal tersebut.

Jenderal Ahmad Yani sendiri membantah. Menurutnya, Dewan Jenderal memang ada, tetapi tidak seperti yang dituduhkan. Ia mengungkapkan, Dewan Jenderal yang dimaksud hanyalah dewan kepangkatan yang memproses kenaikan pangkat para jenderal.

Namun, menurut Soebandrio, isu Dewan Jenderal menjadi jelas informasinya pada 26 September 1965. Artinya, hanya empat hari menjelang G30S. Informasi itu datang dari empat orang, yakni Muchlis Bratanata, Nawawi Nasution,  Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang. Dua yang pertama dari NU, sedangkan dua yang terakhir adalah IPKI.

Mereka bercerita, bahwa pada tanggal 21 September 1965, diadakan Rapat Dewan Jenderal di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membahas kabinet versi Dewan Jenderal. Tak hanya bercerita, keempat orang itu menunjukkan tape rekaman. Dalam tape itu ada suara Letjend S Parman sedang membacakan susunan Kabinet.

Pada saat berhembusnya isu Dewan Jenderal, beredar pula Dokumen Gillchrist, yakni telegram (klasifikasi rahasia) dari Dubes Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gillchrist, kepada Kemenlu Inggris. Inti dokumen itu: Andrew Gillchrist melapor ke atasannya Kemenlu Inggris, bahwa ia sudah melakukan pembicaraan koleganya Dubes AS di Jakarta terkait rencana operasi untuk menggulingkan Soekarno. Yang menarik, dokumen menyebut adanya “our local army friends” yang siap membantu operasi itu.

Soebandrio dan BPI percaya keotentikan dokumen itu. Ia melaporkan hal itu kepada Bung Karno. Menurut Soebandrio, Bung Karno merasa cemas dengan dokumen itu. Yang menarik, kendati percaya keotentikan dokumen itu, Soebandrio menganggap itu sebagai provokasi untuk memainkan situasi politik di Indonesia. Termasuk memprovokasi pendukung Bung Karno dan PKI untuk bereaksi duluan.

Saya kira, provokasi-provokasi itulah yang membuat isu Angkatan Ke-V makin sensitif pula. Yang menarik, Prof Wertheim (1990) menyimpulkan bahwa kemungkinan besar Tape Rekaman mengenai rapat Dewan Jenderal itu hanya pelancungan alias pemalsuan. Tujuannya untuk menyakinkan pendukung Soekarno dan pimpinan PKI akan keberadaan Dewan Jenderal yang merencanakan kup pada 5 Oktober 1965. Dengan begitu, mereka bisa menggelar aksi pencegahan lebih dulu. Dan jebakan ini berhasil.

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD); Pimred Berdikari Online

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid