Penyair Belanda yang Menginspirasi Pejuang-Pejuang Kemerdekaan Indonesia

Kami bukan pembangun candi,
Kami hanya pengangkut batu,
Kami angkatan yang mesti musnah,
Agar menjelma angkatan baru
Di atas pusara kami,
Lebih sempurna.

Sajak di atas adalah karya penyair Belanda, Henriette Roland Holst, yang ditemukan di saku celana seorang pejuang Republik Indonesia yang gugur di pertempuran Lengkong.

Untuk diketahui, pertempuran Lengkong meletus tanggal 25 Januari 1946 di daerah Lengkong, Tangerang. Saat itu pemuda-pemuda Republik bertempur gagah berani melawan tentara Jepang. Sebanyak 33 pejuang gugur dalam pertempuran heroik itu.

Sajak Henriette memang sangat menginspirasi perjuangan rakyat Indonesia kala itu. Di Boven Digul, di ujung Timur Indonesia sana, sajak Henriette juga terpatri di makam seorang pejuang anti-kolonial terkemuka di tahun 1920-an: Ali Archam.

Di kalangan pejuang kemerdekaan, nama Henriette memang tidak asing lagi. Puisi-puisinya dijadikan pengobar semangat perlawanan. Tulisan-tulisan dan pemikirannya sering menjadi rujukan para pejuang kemerdekaan Indonesia.

Soekarno banyak dipengaruhi oleh pemikiran Henriette. Risalah-risalah Sokarno yang terkenal, seperti Mencapai Indonesia Merdeka, Sarinah, dan Indonesia Menggugat, bolak-balik mengutip buku-buku dan ucapan Henriette. Bung Hatta, ketika masih di negeri Belanda, juga sangat dekat Henriette. Keduanya pernah bersama-sama menghadiri Konferensi Perempuan Internasional di Swiss tahun 1926.

Semasa hidupnya, Henriette aktif memberikan dukungan bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tak hanya dalam bentuk seruan dan kampanye, ia bahkan sering terlibat langsung membantu pejuang-pejuang anti-kolonial di Indonesia.

Lantas, siapakah Henriette Roland Holst ini?

Henriette Roland Holst adalah seorang penyair, penulis, dan aktivis sosialis Belanda. Ia dilahirkan tanggal 24 Desember 1869. Dia berasal dari keluarga Kristen Liberal.

Keluarganya terbilang cukup makmur. Ayahnya, Theodore Willem van der Schalk, adalah seorang notaris terkenal. Ia dikirim oleh ayahnya belajar di sekolah asrama di Velp dan kemudian belajar bahasa di Liege.

1889, Henriette kembali ke kampung halamannya di Noordwijk. Ia mengakui, kesukaannya menulis puisi sudah muncul sejak kecil, namun makin bergairah saat beranjak dewasa. Ia menyebutnya “dunia mimpi yang indah”.

Suatu hari ia mengunjungi studio pelukis Belanda kelahiran Purworejo, Jan Toorop. Ia terkesima dan menulis puisi. Toorop kemudian membawa puisi karya Henriette ke penyair terkenal Belanda kala itu, Albert Verwey.

Di tahun 1891, melalui Albert Verwey, Henriette bertemu dengan penyair sekaligus sosialis, Herman Gorter. Di situ juga Henriette bertemu pelukis bernama Richard Nicolaas Roland Holst. Henriette dan Richard kemudian menjalin hubungan.

Tahun 1896, keduanya menikah. Bersama Richard, ia menulis buku berbahasa Inggris tentang Dante Gabriel Rossetti dan kelompok seniman bernama Pre-Raphaelite. Saat itu juga Henriette juga sangat kagum dengan William Morris, seorang seniman Inggris yang berpendapat bahwa pembaruan artistik tidak mungkin tanpa pembaruan sosial dalam bentuk sosialistik.

Di tahun itu juga keduanya bergabung dengan Partai Buruh Sosial Demokratik (SDAP) Belanda. Herman Gorter, yang sudah bergabung dengan SDAP lebih dulu, menganjurkan Henriette membaca Das Capital karya Karl Marx. Gorter bilang, “buku ini (Das Capital) adalah kunci memahami masyarakat. Dan tanpa memahami masyarakat, tidak mungkin bisa membuat puisi yang hebat.”

Henriette dan suaminya, Richard, kemudian menyelami Das Capital. Namun, karena merasa rumit, Richard terhenti di Jilid Pertama. Sedangkan Henriette sanggup menuntaskan hingga ke Jilid ke Kedua dan Ketiga. Bahkan, ia mulai menerapkan analis Marx dalam tulisan-tulisan dan buku-bukunya.

Tahun 1900, Henriette menghadiri Kongres Sosialis Internasional di Paris, Perancis. Di sini ia bertemu tokoh-tokoh sosialis terkemuka, seperti Rosa Luxemburg, Karl Kautsky, Clara Zetkin, dan Jean Jaures. Di pertemuan itu Henriette menikmati perdebatan teoritik yang sangat menggairahkan.

Sepulang dari pertemuan itu Henritte makin bergairah. Selain propaganda politik dan puisi, ia mulai menelurkan karya-karya besarnya, seperti Kapital dan Tenaga Kerja di Belanda (Kapitaal en Arbeid in Nederland, 1902) dan Pemogokan Umum dan Sosial Demokrasi (Generalstreik und Sozialdemokratie, 1905).

Di saat bersamaan, di tubuh SDAP Belanda, mulai muncul dua faksi di dalam partai, yakni sayap reformis dan sayap revolusioner. Henriette cenderung di sayap revolusioner, sedangkan suaminya menempatkan diri sayap reformis. Perbedaan politik inilah yang memperuncing ketegangan dalam rumah-tangganya.

Tahun 1903, gelombang pasang revolusioner tiba di Belanda. Para pekerja kereta api Belanda mogok. Mereka menang. Menangkal pengulangan aksi serupa, pemerintah sayap kanan Belanda mengeluarkan UU larangan mogok. Henriette dan kaum sosialis melancarkan pemogokan umum untuk menghalau UU anti-demokrasi tersebut. Namun, perlawanan itu gagal.

Pada tahun 1909, perpecahan SDAP tak terelakkan. Sayap kanan SDAP menendang sayap kiri dari partai. Sayap kiri yang ditendang keluar ini kemudian membentuk SDP (Parta Sosial Demokrat). Waktu itu Hendriette cenderung bersimpati dengan sayap kiri. Namun, ia tidak mau berpisah dengan banyak kawannya di mayoritas (SDAP).

Namun, dalam perkembangannya, Henriette merasa dirinya sangat terisolasi dari SDAP. Akhirnya, setelah dua tahun bertahan, ia menyatakan keluar dari SDAP. Tetapi ia juga tidak bergabung dengan sayap kiri. Konon, Rosa Luxemburg tidak setuju dengan keputusan Henriette itu. Bagi Rosa, partai pekerja yang buruk masih lebih baik ketimbang tidak berpartai sama sekali.

Di tengah kebekuan aktivitas politiknya, Henriette memilih menulis. Waktu itu ia sempat melahirkan beberapa karya, seperti The Woman in the Wood (De vrouw in het woud, 1912), drama Thomas More (1912) dan biografi Jacques Rousseau.

Agustus 1914, perang dunia ke-II pecah. Gerakan anti-perang muncul di mana-mana. Dan, seperti juga penyair Jerman  Käthe Kollwitz, Henriette terseret dalam gerakan anti-perang itu.

Di tahun 1915, dia menjadi delegasi satu-satunya dari Belanda di Konferensi Sosialis di Zimmerwald, Swiss, untuk menghentikan perang. Di situ dia bertukar-pikiran dengan tokoh-tokoh sosialis ternama, seperti Lenin dan Trotsky.

Pertemuan di Zimmerwald membangkitkan kembali gairah revolusioner Henriette. Di tahun 1916–konon atas anjuran Lenin–Ia bergabung dengan Partai Sosial Demokrat (SDP). Di situ ia bertemu kembali kawan lamanya, Herman Gorter. Di situ Ia juga menjadi salah satu redaksi dari koran SDP, De Tribun.

Di tahun 1917, revolusi Rusia berkobar dan berhasil menggulingkan rezim Tsar. Kabar kemenangan Revolusi Rusia makin menebalkan keyakinan revolusioner di Belanda, termasuk Henriett. Di Belanda, pemimpin SDAP yang moderat, Troelstra, menyerukan Revolusi. Henriette sendiri memimpin pemberontakan kaum buruh dan tentara di Amsterdam. Sayang, revolusi ini menemui kegagalan.

Tahun 1919, rezim fasis Jerman membunuh dua revolusioner Jerman, Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht. Kejadian itu membuat Henriette benar-benar terpukul.

Tahun 1921, Ia melakukan perjalanan sembunyi-sembunyi ke Rusia. Ia mengikuti Kongres Komunis Internasional (Komintern) ke-III. Selain itu, ia juga menghadiri pembentukan Gerakan Perempuan Komunis. Dia kagum dengan revolusi yang sedang berjalan di Rusia. Namun, dari kawannya sesama penulis, Maxim Gorky, Ia juga mendengar tentang berita tentang kelaparan di Wolga (Volga), akibat perang yang dilancarkan sisa-sisa kekuatan Tsar dan kepungan negeri-negeri imperialis. Atas saran Gorky, Henriette menggalang kampanye untuk membantu mengatasi kelaparan tersebut.

Sementara itu, sejak tahun 1919, SDP berganti-nama menjadi Partai Komunis Belanda (CPH). Henriette menjadi anggota CPH. Namun, karena perselisihan internal, Henriette dan sejumlah tokoh komunis sempat membentuk Liga Perjuangan Komunis dan Klub Propaganda (Bond van Kommunistische Strijd- en Propagandaclubs: BKSP). Namun, karena BKSP tidak berkembang, Ia kembali ke Partai Komunis.

Tahun 1927, Ia keluar dari Partai Komunis. Namun demikian, berbeda dengan Jacques de Kadt, seorang bekas aktivis komunis Belanda yang kemudian jadi kanan, Henriette tetap bersimpati dengan gerakan kiri dan komunis.

Kendati tak lagi di gerbong partai komunis, Henriette tetap berjuang. Ia aktif mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Saat fasisme mendukuki Belanda, ia terlibat dalam perjuangan anti-fasis. Ia terlibat dalam penerbitan majalah sosialis “De Vonk”. Dia juga menyembunyikan banyak pengungsi Yahudi dari kejaran pembunuh fasis.

Puisi-puisinya juga tetap sebangun dengan semangat sosialisme. Tak hanya itu, dia juga yang menerjemahkan lagu “Internasionale” ke dalam bahasa Belanda. Di akhir-akhir hidupnya ia menyuarakan penolakan terhadap penggunaan senjata nuklir dan perang Korea.

Henriette Roland Holst meninggal dunia tanggal 21 November 1952.

RUDI HARTONO

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid