RUU Cipta Kerja: Setelah Banjir Investasi, Lapangan Kerja Meluas?

Meskipun mendapat penolakan luas, pemerintah dan DPR tetap ngotot memperjuangkan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU Cipta Kerja).

Berbagai jalan pun ditempuh, agar opini publik mendukung langkah mereka. Mulai dari mengerahkan buzzer  di medsos hingga membangun opini lewat survei.

Yang terbaru, mereka mengerahkan sejumlah artis dan influencer  untuk kampanye tentang perlunya RUU Cipta Kerja. Narasi besarnya: agar investasi membanjir, sehingga lapangan kerja meluas.

Memang, mas-mas dan mbak-mbak artis dan influencer itu tidak eksplisit menyebut investasi asing. Namun, jika membaca RUU Cipta Kerja, semangat utama deregulasinya adalah membuka pintu lebar bagi investasi asing.

Benarkan membanjirnya investasi asing berjalan beiringan dengan perluasan lapangan kerja? Tunggu dulu.

Jadi begini, mbak-mas artis dan influencer, narasi tentang investasi asing akan membuka lapangan kerja bukan narasi baru.

Tahun 1931, seorang bos tertinggi kolonialisme di tanah Hindia-Belanda, Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge, mengumbar narasi serupa. Bahwa investasi asing akan memperbanyak lapangan kerja dan menaikkan penerimaan negara.

Bung Hatta sampai menulis panjang kali lebar untuk membantah kesimpulan sepihak itu. Judul artikelnya, Pengaruh Koloniaal-Kapitaal di Indonesia, yang terbit di koran Daulat Ra’jat edisi 20 November 1931. Kalau tidak ketemu artikelnya, silahkan baca ulasannya di sini.

Ironisnya, narasi de Jonge itu justru dipegang dengan teguh oleh pemerintah Indonesia dari sejak era Orde Baru hingga sekarang ini. Lalu dimakan mentah-mentah oleh Mbak-Mas influencer.

Nah, apakah investasi asing selalu beriringan jalan dengan perluasan lapangan kerja?

Baca juga: Pandangan Dan Catatan Kritis PRD Untuk RUU Cipta Kerja (1)

Pertama, kaitan investasi dan penyerapan tenaga kerja sangat berkaitan dengan jenis investasinya. Kalau investasinya padat modal dan teknologi, tentu saja penyerapan tenaga kerjanya sangat sedikit.

Begitu juga kalau investasinya lebih banyak ke sektor jasa ketimbangan industri pengolahan. Bisa dipastikan, penyerapan tenaga kerjanya akan lebih kecil.

Mari kita cek datanya. Berdasarkan data BKPM, pada 2017, realisasi investasi (PMDN/PMA) itu mencapai Rp 692.8 triliun. Angka segitu bisa menyerap 1,1 76 juta tenaga kerja. Sementara, pada 2019, realisasi investasi (PMDN/PMA) itu mencapai Rp 809,6 triliun. Tetapi penyerapan tenaga kerjanya hanya 1,03 juta tenaga kerja. Menurun, bukan?

Tahun 2018, dengan realisasi investasi sebesar Rp 721,3 triliun, penyerapan tenaga kerjanya hanya 960 ribu orang. Dibanding tahun 2017, realisasi investasinya meningkat, tetapi penyerapan tenaga kerjanya menurun.

Mari lihat versi pengusaha. Melalui Ketua Umumnya, Haryadi Sukamdani, Apindo membeberkan, pada 2010 setiap Rp 1 triliun investasi menyerap 5.014 tenaga kerja. Namun, pada 2019, setiap Rp 1 triliun investasi hanya menyerap 1.200 tenaga kerja.

Kedua, kontribusi usaha berskala besar, termasuk PMA, dalam penyerapan tenaga kerja itu kecil: hanya di kisaran 3 persen. Sementara sekitar 97 persen tenaga kerja Indonesia itu ditampung oleh UMKM.

Ini bukan data saya, melainkan milik pemerintah (Cq: Kemenkop dan UKM).

Dengan gambaran ini, harusnya kalau mau mengamankan penyerapan tenaga kerja, pemerintah harusnya melindungi dan memperkuat UMKM.

Kalau kita mau kita kategorikan formal dan informal, penyerap tenaga kerja terbesar itu sektor informal: 70,49 juta orang (2019). Angka itu mewakili 55.72 persen dari keseluruhan angkatan kerja di Indonesia.

Ketiga, kalau investasi dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, kecenderungan elastisitas penyerapan kerja terus menurun.

Di tahun 2005, 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 400 ribu tenaga kerja. Tetapi, di tahun 2010 tinggal 200 ribu orang. Dan di tahun 2019 hanya 110 ribu orang.

Jadi, singkat cerita, banjir investasi asing belum tentu sejalan seiring dengan penyerapan tenaga kerja. Angka-angka di atas menunjukkan hal itu.

Nah, agar peningkatan investasi bisa berjalan beriringan dengan penyerapan tenaga kerja, maka syarat investasinya perlu diperketat: mengutamakan padat karya; mengutamakan industri pengolahan atau manufaktur.

Dan itu berarti pemerintah harus mengatur investasi itu (regulasi). Bukan menderegulasi. Karena itu, semangat RUU Cipta Kerja yang membawa semangat deregulasi itu tidak relevan dengan agenda penciptaan lapangan kerja.

Baca juga: Pandangan Dan Catatan Kritis PRD Untuk RUU Cipta Kerja (2)

Dampak Lain

Saya yakin, mbak-mbak dan mas-mas artis dan influencer itu belum pernah membaca isi RUU Cipta Kerja, sehingga menyederhanakannya menjadi urusan penciptaan lapangan kerja semata.

Padahal, RUU Cipta Kerja ada 11 klaster. Dan isu ketenagakerjaan hanya salah satu klasternya. Ada isu pertanahan/perkebunan, pertambangan minerba, lingkungan hidup, perizinan berusaha, pendidikan tinggi, perdagangan, dan lain-lain.

Baca juga: Pandangan Dan Catatan Kritis PRD Untuk RUU Cipta Kerja (Selesai)

Itu pun dalam isu ketenagakerjaan, cara RUU ini memperluas lapangan kerja adalah pasar tenaga kerja yang fleksibel (labour market flexibility). Caranya: memperluas sistem kerja kontrak dan outsurcing ke semua jenis pekerjaan dan lini produksi. Ya, prinsipnya: easy hire, easiy firing.

Jadi, untuk Mas Gading, Mbak Gisel, Mbak Gritte, Mas Gofar, dan lain-lain, cara kerja RUU Cipta Kerja memperluas lapangan kerja adalah: menghilangkan pekerjaan tetap, sehingga setiap orang bisa dibuang kapan saja sesuai kehendak si pengusaha.

Karena RUU Cipta Kerja membahas banyak hal, tentu dampaknya juga meluas. Tak hanya urusan lapangan kerja belaka.

RUU ini berbahaya bagi lingkungan dan keberlangsungan generasi masa depan. Sebab, demi melayani investasi sebesar-besarnya, RUU ini menghapuskan berbagai persyaratan soal lingkungan dalam pemberian izin usaha maupun pendirian bangunan.

RUU ini menghidupkan azas pertanahan di zaman kolonial, yaitu domein verklaring  (bahwa semua tanah yang dianggap tak bertuan dikuasai oleh negara, lalu diserahkan kepada swasta), lewat konsep Bank Tanah dan Hak Pengelolaan (HPL).

Oiya, mas Gading dan mbak Gisel, RUU Cipta Kerja juga memperpanjang jangka waktu hak pengelolaan atau Hak Guna Usaha (HGU) menjadi 90 tahun. Jadi, sampai Gempita nanti jadi nenek-nenek, satu HGU belum tentu berakhir.

Belum persoalan soal perdagangan, yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi impor pangan. Terus mau dikemanakan nasib petani kita?

Ada banyak masalah dalam RUU ini. Mulai dari proses penyusunannya, paradigmanya, hingga substansi/isi pasal-pasalnya.

Pesan terakhir kepada mas-mbak artis/influencer: jangan demi pundi-pundi, kalian korban nasib ratusan juta orang petani, buruh, masyarakat adat, perempuan, mahasiswa, dan masyarakat miskin.

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid