Diperlukan Revolusi Mental

Pada tahun 1957, sebuah gerakan baru diumumkan: “Gerakan Hidup Baru”. Oleh pencetusnya, Bung Karno, gerakan ini dianggap bagian dari “revolusi mental” untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru Indonesia.

Gerakan itu diluncurkan saat revolusi Indonesia sedang dalam “kemacetan”. Saat itu, disebut juga tahun penentuan (year of decision), revolusi bukan saja berhadapan dengan tantangan terbuka, seperti jatuh-bangunnya kabinet, gerakan separatis di daerah, kemandekan industrialisasi, dll, tetapi juga menghadapi tantangan yang bersifat rohani: menurunnya kesadaran nasional.

Soekarno, dalam pidatonya “Suatu tahun Ketentuan”, menyebut gejala kemerosotan kesadaran nasional atau kelemahan jiwa itu, antara lain: kurang percaya diri sebagai bangsa sehingga kita menjadi penciplak luar negeri, kurangnya saling percaya satu sama lain, dan kurangnya “berjiwa gigih’ dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam kehidupan politik, para elit politik saat itu sedang nafsu-nafsunya hendak memeluk demokrasi barat. Bahkan, sebagian elit politik saat itu sudah “mentok” untuk menganut sistim demokrasi “free fight liberalism” itu.

Soekarno pun meradang. Ia menganjurkan agar ada think and re-think, shape and reshape, atau pendek kata, harus ada gerakan menjebol dan membangun. Hal itu mutlak diperlukan untuk menghadapi segala bentuk penyelewengan saat itu. Lahirlah gagasan untuk menjalan revolusi mental, sebuah usaha (mengutip istilah Bung Karno) peremajaan atau penataan kembali jiwa nasional kita supaya tetap sesuai dengan jalannya revolusi.

“Gerakan Hidup Baru” punya sasaran pokok untuk mengubah massa rakyat dalam hal: cara berfikir, cara kerja/berjuang, cara hidup (percaya pada diri sendiri, optimisme, kegembiraan dalam kerja, jiwa baru dan semangat baru). Uniknya, gerakan ini bukan saja diarahkan kepada rakyat, tetapi juga diarahkan kepada pemimpin politik dan pejabat pemerintahan.

Seperti apa kesuksesan gerakan itu, kami sendiri belum bisa menguraikan di sini. Akan tetapi, sebagai sebuah gagasan atau konsepsi, “revolusi mental” sangatlah relevan untuk menggembleng kembali jiwa dan kepribadian bangsa kita saat ini.

Zaman memang sudah berubah. Akan tetapi, tujuan bernegara kita belum pernah berubah: kemakmuran dan keadilan yang merata. Kita bisa pastikan, eksistensi negara Indonesia sangat bergantung dari ada dan tidaknya perjuangan untuk mencapai tujuan bernegara itu; jika tidak ada lagi keinginan bersama untuk memperjuangkan hidup adil dan makmur, maka bubarlah negara Republik Indonesia ini. Siapa yang mau hidup bernegara dalam ‘kesia-siaan”?

Akan tetapi, perjuangan di zaman sekarang untuk mencapai tujuan itu sangatlah berat. Kita hidup dalam sebuah zaman baru,  dimana pengorbanan dan patriotisme dianggap tindakan yang tolol, dimana kecintaan terhadap bangsa dan tanah air dianggap kesiaan-siaan, dimana isme-isme dan segudang ideologi konon telah dibuang ke tong sampah.

Kita hidup dalam sebuah masyarakat yang mengalami disorientasi sosial yang sudah sangat parah: perjuangan untuk tujuan kolektif telah tergantikan oleh mimpi individu untuk mengejar kemewahan dan pemuasan ekonomis semata. Kita hidup di jaman dimana solidaritas horizontal, baik yang berbasisklas klas sosial ataupun intra-klas, telah dilumat habis oleh disiplin pasar neoliberal.

Perilaku pemimpin nasional tak kalah rusaknya. Sangat jarang ditemukan sosok pemimpin politik ataupun pejabat yang bisa bersih dari “korupsi dan suap”. Sangat jarang pula ditemukan pemimpin yang kehidupannya sederhana, tetapi dedikasi dan karyanya sangat besar bagi rakyatnya. Karena sudah menjadi keumumuman, hampir semua seperti itu, maka rakyat pun hampir tak percaya lagi dengan pemimpin.

Bangsa ini berada di bibir kehancuran. “Nation building” kita pun sudah mulai retak dan terancam hancur. Tetapi, sekalipun sudah dibibirnya jurang kehancuran, bukan berarti tidak ada harapan untuk selamat. Yang parah adalah jika kita tidak menyadari keadaan itu dan membiarkan bangsa kita terus terperosok.

Kita masih bisa selamat dari kehancuran itu. Asalkan: kita mau kembali kepada cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan memeluk kembali semangat yang berkobar-kobar untuk memperjuangkan cita-cita itu. Kita harus menggempur dua musuh sekaligus: imperialisme yang datang dari luar dan sikap inlander yang hidup di dalam sebagian perasaan bangsa kita.

Maka, sebuah revolusi mental tak dapat ditawar-tawar lagi. Kita memerlukan “bangsa pejuang” untuk menunaikan tugas nation building itu dan perjuangan panjang untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid