Belum Ada Figur Capres Alternatif

Pemilu Presiden (Pilpres) masih dua tahun lagi. Namun, sejumlah nama capres 2014 sudah berseliweran di media massa. Sebagian besar diusung oleh partai politik. Sisanya muncul sebagai figur independen yang diunggulkan oleh lembaga survei. Namun, secara umum, hampir semuanya masih figur lama. Ya, masih itu-itu juga.

Figur-figur yang diusung partai politik, antara lain, Jusuf Kalla, Surya Paloh, Hatta Radjasa, Wiranto, Prabowo, Aburizal Bakrie, dan Megawati Soekarnoputri. Belakangan muncul nama raja dangdut, Rhoma Irama, yang mengaku disokong PPP dan para ulama. Kemudian muncul pula nama-nama dari luar partai, seperti Mahfud MD, Rizal Ramli, Dahlan Iskan, Anis Baswedan, Sri Mulyani dan lain-lain.

Lalu, seiring dengan proses itu, muncul sebuah gerakan yang disebut “Gerakan Indonesia Memilih”. Gerakan ini berupaya mencari pemimpin ideal bangsa kedepan. Mereka sudah hopeless dengan figur-figur lama. Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, yang turut berorasi dalam acara deklarasi gerakan itu, mengatakan, “sebaiknya para calon presiden untuk pemilihan presiden 2014 dan seterusnya adalah orang-orang usia 40 tahun sampai 55 tahun saja.” Dia juga berharap, calon presiden mendatang punya visi, wawasan, dan bisa bicara dengan bahasa rakyat yang menyentuh hati bangsa ini.

Dari semua figur yang sudah muncul, kita patut waswas karena belum ada satupun figur alternatif. Pertama, hampir semua figur yang muncul masih terlihat sebagai upaya melanjutkan sebuah dinasti, baik dinasti politik maupun dinasti ekonomi. Kedua, figur-figur yang muncul tidak lahir dari proses perjuangan. Ketiga, sebagian besar figur yang ada memiliki tipe plutokrat: pemilik bisnis besar, raja media, dan lain-lain. Keempat, hampir semua figur tidak punya rekam jejak (track-record) yang memadai.

Padahal, realitas kebangsaan yang hendak dihadapi cukup berat, seperti keterjajahan secara ekonomi-politik, merebaknya korupsi, kesenjangan ekonomi yang kian melebar, dan konflik horizontal alias konflik komunal yang kian meluas. Dengan demikian, capres-capres 2014 patut dipertanyakan sikap politiknya terhadap isu-isu di atas.

Pertama, perlu memahami cara-pandang setiap figur terhadap politik. Bagaimana ia menerjemahkan sebuah politik? Apakah ia menerjemahkan politik sebagai pemanfaatan kekuasaan untuk kepentingan pribadi ataukah melihat politik sebagai seni menggunakan kekuasaan untuk melayani rakyat.

Anda bisa menganggap parameter ini sangat abstrak. Namun, bagi kami, ukuran parameter ini bisa diturunkan pada bentuk konkret, seperti memeriksa program, visi-misinya, dan jenis strategi-taktik yang dipergunakan untuk meraih kekuasaan.

Kalau program-nya tak berjarak dengan sistim ekonomi-politik sekarang, maka tidak ada gunanya berharap pada kandidat tersebut. Program figur alternatif haruslah antitesa terhadap sistim neoliberalisme saat ini. Selain itu, penggunaan strategi-taktik untuk mencapai kekuasaan juga patut dinilai. Mereka yang mengandalkan cara-cara kotor, politik uang, dan pencitraan tak pantas untuk diharapkan.

Kedua, perlu untuk memeriksa rekam jejak alias track-record dari masing-masing kandidat. Dengan demikian, kandidat yang punya track-record buruk tak pantas untuk diusung. Pemeriksaan track-record ini juga penting untuk menilai antara janji-janji si kandidat dengan kemungkinan realitas yang terjadi.

Ketiga, perlu melihat sikap atau keberpihakan kandidat terhadap Pancasila dan UUD 1945.  Kita sangat berharap, kandidat capres mendatang benar-benar berpegang teguh pada Pancasila dan UUD 1945 (asli). Mereka juga harus memastikan proses penyelenggaraan negara berpijak di atas Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian, figur alternatif harus berani berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang berusaha melemahkan bangsa, seperti fundamentalisme, provinsialisme, etno-sentrisme, dan penyakit reaksioner lainnya. Figur alternatif harus memperjuangkan sebuah negara yang bisa menjadi rumah bagi seluruh rakyat Indonesia dari berbagai suku, agama, dan adat-istiadat yang beragam.

Keempat, figur alternatif harus menempatkan rakyat sebagai protagonis dalam kekuasaan. Dengan demikian, pemerintahan kedepan adalah pemerintahan kerakyatan, yaitu pemerintahan yang benar-benar dijalankan oleh rakyat. Dengan demikian, figur alternatif harus punya visi mengenai model penggangaran partisipatif, pembangunan partisipatif, dan mekanisme demokrasi langsung.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid