Beda Pendapat Soal Pengelolaan Gas Di Blok Masela

Pengelolaan gas di Blok Masela, yang terletak di Laut Arafuru, Maluku, masih menyisakan perdebatan. Terutama terkait pembangunan kilang pengelolaan gasnya, apakah dibangun di darat (onshore) atau di lepas pantai (offshore).

Menko Kemaritiman Rizal Ramli mendukung pembangunan kilang itu dilakukan di darat. Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dan SKK Migas menghendaki kilang itu dibangun di lepas pantai sesuai tuntutan operator Blok Masela, Inpex Corporation.

Perdebatan pun menyerempet soal biaya dan hitung-hitung keuntungan. Rizal menyebut nilai investasi untuk Floating-LNG (FLNG) sekitar US$19,3 miliar, sementara untuk Land Based LNG hanya menghabiskan investasi US$14,8 miliar.

Sebaliknya, SKK Migas punya hitungan lain.  Kajian SKK Migas menunjukkan, pembangunan offshore jauh lebih hemat daripada pengembangan onshore. Investasi pembangunan floating diperkirakan akan menelan biayanya 14,8 miliar dollar AS. Jauh lebih murah daripada pembangunan pipa gas dari Blok Masela ke Pulau Aru dan pembangunan kilang di darat yang mencapai 19,3 miliar dollar AS.

Tetapi Mantan Direktur Utama LNG Bontang, Yoga Suprapto, meragukan kajian dari SKK Migas yang menyebut investasi FLNG berkapasitas 7,5 juta ton per tahun hanya butuh 14,8 miliar dollar AS. Kata dia, pengalaman proyek serupa yang dibangun di Australia berkapasitas 3,6 juta ton per tahun saja sudah menghabiskan US$ 13 miliar.

Selain itu, dia juga mempertanyakan kajian SKK Migas untuk skema pembangunan kilang di darat yang menghabiskan dana US$ 19,3 miliar. “Dengan pengalaman pembangunan kilang LNG Darat di Arun, Bontang, Tangguh dan Donggi Senoro, maka perkiraan biaya kilang LNG darat kapasitas 7,5 juta ton per tahun hanya sekitar US$ 16 miliar,” ujar dia seperti dikutip katadata.co.id pada 6 Oktober 2015.

Lain lagi dengan hitungan keuntungan. Menurut Rizal, jika kilang dibangun di darat, maka dampaknya lebih banyak untuk rakyat Maluku. Mulai dari penyerapan tenaga kerja, penyerapan konten lokal karena penggunaan pipa sejauh 600 kilometer, dan berpotensi untuk pengembangan pabrik pupuk.

Posisi Rizal Ramli itu didukung banyak pihak. Pengamat energi Faturahman mengatakan, kalau pengelolaan gas Blok Masela dilakukan di darat, maka pemanfaatnnya bisa lebih luas.

“Tidak hanya LNG, tetapi juga bisa pupuk, petrochemical. Bahkan petrochemical itu turunannya juga plastik,” kata Faturahman seperti dikutip Kompas.com, Sabtu (2/1/2016).

Dia juga menambahkan, keberadaan blok Masela ke depan dapat menjadi poros distribusi energi untuk wilayah timur Indonesia. Lalu, dengan adanya poros distribusi energi, maka akan memperkuat industri maritim, seperti industri perikanan dan rumput laut.

Pendapat faturahman itu diperkuat oleh Kelompok Ahli Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan, Sugita. Menurut dia, agar Blok Masela bisa memberi kemakmuran pada rakyat, maka harus dipikirkan pembangunan industri hilirnya.

Menurut dia, salah satu industri hilir yang dapat dikembangkan adalah pembangunan pabrik pupuk yang dapat dilakukan dan menggunakan gas dari Masela. “Sisa gas itu bisa untuk produksi pupuk. Berapa ribu petani yang dapat manfaat,” kata dia seperti dikutip Kompas.com, Minggu (3/1/2016).

Tak hanya itu, tambah Sugita, kondensat dari kilang Masela juga bisa digunakan untuk industri petrokimia, industri pertahanan, hingga industri tekstil. Dengan demikian, ribuan rakyat di wilayah tersebut dapat menikmati hasil dari Lapangan Abadi tersebut.

“Kita juga perlu bangun pembangkit listrik. Di daerah sana gelap gulita, bangun lah listrik sehingga Maluku Selatan bisa terang benderang,” ungkap Sugita.

Nah, seharusnya perdebatan soal pengelolaan Blok Masela ini berpijak pada pasal 33 UUD 1945. Tidak hanya soal pembangunan Kilangnya, tetapi pengelolaan Blok itu sendiri harus terpastikan bisa sejalan dengan mandat pasal 33 UUD 1945. Bagaimana menurut Anda?

Risal Kurnia

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid