17 Agustus 1945 Sebagai Cetusan Revolusi!

17 Agustus 1945: pada pagi hari itu ribuan rakyat Indonesia di Jakarta mengalir ke jalan Pegangsaan Timur 56. Mereka datang dengan bamboo runcing, batu, sekop, tongkat, parang, dan apa saja yang bisa mereka bawa. Mereka sudah mendengar kabar, bahwa Bung Karno akan membacakan proklamasi kemerdekaan.

Bung Karno dan ribuan orang di situ, pada hari itu, telah membuat sejarah. Mereka telah membuat sebuah sejarah yang ditunggu beratus-ratus tahun lamanya. Tidak terhitung berapa banyak pengorbanan untuk hari penting itu.

Itulah proklamasi kemerdekaan. Ia adalah suatu—meminjam istilah Bung Karno—pekik “berhenti” kepada penjajahan 350 tahun. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah pengumuman (proclamare) terhadap lahirnya sesuatu yang baru dan keruntuhan yang lama. Dengan demikian, dapat pula dipahami, bahwa proklamasi adalah sebuah pengumuman tentang dimulainya revolusi.

Agustus memang sebuah revolusi, sebagaimana dikatakan Soekarno, sebuah momen untuk menjebol dan membangun. Pada 17 Agustus itu, dimulailah sebuah perjuangan untuk menjebol yang lama dan membangun yang baru.

Naskah proklamasi sendiri hanya pengumuman. Pada hari itu, seperti dikatakan Soekarno, barulah empat hal yang sudah selesai: (1) naskah proklamasi itu sendiri, (2) bendera kebangsaan Sang Merah-Putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya, (3) falsafah negara, yaitu: Pancasila, (4) Undang-Undang Dasar yang bersendikan palsafah negara itu. Di luar itu, kata Soekarno, masih harus diusahakan dengan melanjutkan perjuangan menurut cita-cita 17 Agustus 1945 itu.

Hal itu tercantum dan tersirat dalam kalimat proklamasi:

    “Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

Karena itu, sebagaimana sering dicetuskan Bung Karno sendiri, 17 agustus adalah awal dari sebuah revolusi nasional, sebuah proses destruksi dan konstruksi, menjadi bangsa yang sempurna: lepas dari kolonialisme dan imperialisme.

Pada tahap awal, revolusi nasional itu berhasil menyelesaikan tugasnya, yaitu mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Pada saat itu, baik pihak Jepang maupun Sekutu, menganggap wilayah Indonesia dalam status-quo dan dalam tahap persiapan diserahkan kembali kepada Belanda.

Belanda, yang dua kali melancarkan agresi militer besar-besaran, menyebut tindakannya itu sebagai aksi polisional. Artinya, Belanda sebagai kekuatan lama tidak mengakui lahirnya Indonesia sebagai sebuah kenyataan baru. Tetapi Revolusi Agustus berhasil membuktikan kebenaran hukum revolusi: Revolusi menolak hari kemarin!

Alhasil, pada 19 september 1945, ratusan ribu orang dari pelbagai penjuru Jakarta berkumpul di lapangan Ikada. Sekalipun dihalang-halangi oleh militer Jepang, tetapi ratusan ribu orang itu tetap nekat menegaskan: sekali merdeka tetap merdeka!

Ratusan ribu orang itu adalah gemuruh manusia yang hendak merdeka. Mereka bukanlah lagi rakyat Indonesia di tahun sebelum 1945. Mereka adalah manusia baru: manusia merdeka. Bukan lagi manusia terperintah…

Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sesudahnya, tidak terhitung jumlah rakyat Indonesia yang terpanggang api revolusi Agustus. Mereka bertempur dengan penuh keberanian melawan tentara belanda yang berkeinginan “meng-Hindia-Belanda” Indonesia kembali.

Lalu, dalam keadan terpojok, kaum kolonialis menawarkan jalan baru: Konferensi Meja Bundar. Melalui pernjajian KMB itu, pihak kolonialis berusaha menghambat derap langkah revolusi Agustus. Tetapi, keinginan itu mengalami kegagalan, begitu rakyat Indonesia kembali bergerak untuk membatalkan KMB itu.

Revolusi agustus, seperti juga revolusi-revolusi besar di berbagai belahan dunia, pernah mengalami pasang dan surut. Ada kalanya revolusi itu ditantang sangat hebat oleh kalangan kontra-revolusi, dengan berusaha menciptakan “penyimpangan” terhadap tujuan revolusi itu. Itulah yang terjadi dengan penerapan sistim demokrasi liberal pada tahun 1950an.

Begitulah, ketika revolusi mulai mandek, Bung Karno terus membakarnya: jangan mundur, —–mundur hancur, mandek amblek. Sehingga revolusi kembali menemukan jalannya yang tepat. Lahirlah ”Re-So-Pim” untuk mengarahkan revolusi itu pada jalurnya yang tepat dan menurut hukum sejarahnya.

Lalu, di penghujung tahun 1965, revolusi nasional benar-benar terhenti. Tetapi tidak mati suri atau sudah selesai. Hanya tenaga-tenaga penggerak revolusinya saja pada saat itu yang dibasmi. Tetapi, cita-cita revolusi agustus sendiri tidak bisa berhenti.

Sekarang, di tengah penindasan imperialisme yang hampir tak ada bedanya dengan kolonialisme sebelum 1945, bangsa Indonesia kembali terpanggil untuk mengobarkan kembali semangat “Revolusi Agustus” itu. (Kusno)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid