Mengutip pendapat dari Fathimah Fildzah Izzati dari LBR Indoprogress bahwa kota adalah salah satu entitas atau kesatuan yang berkaitan sangat erat dengan pengalaman modern kemanusiaan. Alienasi manusia dalam pengalaman berkota menunjukkan bahwa hidup di kota tidak bermakna memiliki kehidupan di kota itu sendiri. Penyakit akut perkotaan seperti kemacetan, banjir, minimnya penghijauan, masalah perumahan layak, kriminalitas membuat mudah untuk menyimpulkan bahwa kota yang dihidupi warganya adalah kota yang tidak manusiawi.
Dalam SKH Lampung Post 19 Desember 2006 Yatno wibowo. ST memberikan gambaran bahwa kota merupakan arena pergulatan antar berbagai kepentingan, konflik, dan ketidakpastian yang akan selalu timbul tanpa bisa dihindari. Satu misal, konflik antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, antara pembangunan fisik dan pelestarian lingkungan, antara sektor formal dan sektor informal, antara kebijakan dan harapan dan kepentingan warganya. Sementara itu, tanpa harus menegasikan hal-hal tersebut, persoalan yang cukup akut akan identitas diri perlahan menghilang tanpa disadari. Akan halnya wajah kota dan anggapan bahwa desainlah yang dipertaruhkan habis-habisan, sekarang ini baru mempersoalkan satu atau dua aspek saja dari struktur atau bentuk yang dihasilkan sebagai proses transformasi budaya.
Max Weber dalam The City pada tahun 1921 merumuskan identitas masyarakat urban dunia dalam dikotomi “Occidential vs Oriental”. Baginya, identitas “occidential” alias “Barat” tadi eksis sebagai kebalikan dari yang menjadi ciri “Oriental”. Dan ketimbang memahami “Timur” sebagai segugus sistem hidup yang saling melengkapi, “Barat” malah mengukuhkan identitasnya dengan melabeli “Timur” dengan segala keburukannya. Lapis demi lapis karakter identitas yang hadir di kota haruslah dibaca sebagai keaneka-ragaman guna memperkaya budaya dan memperunik wajah kota,
Pada prinsipnya, perencanaan pengembangan kota itu selalu bertujuan melindungi dan melayani masyarakatnya secara komprehensif. Sebab itu, seluruh kota modern di dunia selalu mengusung spirit manusiawi dan berwawasan lingkungan dalam setiap rencana pengembangan kotanya. Meskipun tingkat kepadatan di kota dengan segala mitologi yang menaungi tentang kesempatan, keragaman, kumpulan energi dalam masyarakyatnya meningkatkan kekotaannya, paling tidak dalam setiap persepsi masyarakyatnya, sekaligus menghancurkannya sebagai lingkungan hidup. Transformasi budaya pada sebagian besar kota-kota di Indonesia terlihat bahwa wajah kota hanya alat komunikasi untuk menyampaikan buah pikir dan perasaan, belum mampu menghasilkan pembentukan olah pikir yang visioner dan mampu me-negasi-kan sebagai konsep world view. Jika kita melongok sejenak ke beberapa kota-kota di Amerika Utara, Eropa Barat bahkan Jepang sebagai paradigma dan kiblat pembangunan kota-kota dalam dasawarsa terakhir ini banyak sekali pembicaraan wacana hal-ihwal kota-kota megalopolis yang segalanya serba dengan teknologi canggih. Di sini mereka mempersoalkan ekplorasi desain dengan menghasut bentuk-bentuk dalam skala besar. Cara-cara seperti ini bahkan sejauh ini, tidak ditemukan dalam kota-kota di Indonesia.
Wajah kota sebuah rupture untuk mendefinisikan kembali arsitektur di Indonesia?
Sepertinya memang ada segudang problematik yang sangat mendasar dalam cara kita memaknai kota secara komperhensif. Dalam periodisasi arsitektur tahun 70-80-an wacana tentang perlu adanya ‘politik identitas’ dalam berarsitektur relatif masih sangat kuat. Dengan tampilnya arsitek-arsitek Jepang di panggung dunia dengan mengusung wacana Regionalisme, semangat pencarian atas hadirnya ‘arsitektur Indonesia’ pun menjadi semakin menguat. Meskipun dalam pendekatan pencarian ini sangat mementingkan bentuk arsitekturnya. Eksplorasi desain dengan semangat ‘eklektis’ banyak dilakukan bahkan begitu sangat popular. HIngga pada akhirnya semangat ini ‘mereda’ karena arus informasi yang a-simetris, publikasi pemikiran-pemikiran arsitektur ‘Barat’ sangat dominan sementara pencarian dan penggalian wacana yang meng-indonesia sedikit demi sedikit terlupakan.
Di fase lain, muncul semacam kecurigaan bahwa wajah kota jangan-jangan merupakan konstanta di ranah perencana dan perancang arsitektur kota kita dari waktu ke waktu saja. Pernyataan ini tentu saja bisa terbantahkan oleh mahakarya yang cukup besar di masa lampau seperti terungkap dalam kajiannya J.J. Rizal, kolomnis masalah sejarah Batavia tempo doeloe di Moesson Het Indisch Maanblad, dan beberapa karya di wilayah-wilayah lain di Nusantara yang ternyata tidak sekedar menunjukkan dominannya pemikiran indrawi.
Ada keluhuran, keagungan mahakarya-cipta di masa lampau dengan berbagai modular dan sistem struktur yang begitu canggih, begitu rumit ada dan dapat kita telisik di beberapa bangunan dalam kompleks per-candi-an dan pada bangunan kasultanan keraton yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, Ada pula sikap kesederhanaan, keadiluhungan, yang sangat agung di perkampungan tradisional Kampung Naga, Suku Badui, suku korowai atau bahkan dalam perkampungan tradisonal Suku Nias. Pengetahuan kita tentang arsitektur tradisional yang sangat beragam itu haruslah diakui masih sangat terbatas. Di beberapa daerah mungkin masih berlanjut sementara di tempat lain sudah ‘terputus’. Akibatnya kontinuitas tradisi pemikiran dalam arti yang ‘sadar’ dan menghasilkan karya yang begitu canggih dan rumit terputus pada saat ini? Bisa jadi dalam hal ini dipengaruhi oleh keputusan ‘politik kebudayaan’ yang sangat ambiguitas, antara keinginan “setengah hati” menonjolkan spirit nasionalisme dan ketakberdayaan atas gempuran urban desain dengan cirinya yang efisien dan cenderung praktis-pragmatis yang diusung oleh semangat kapitalisme global.
Impact tersebut seolah tidak pernah kita sadari. Kita terlalu sering bereuforia dalam sikap-pragmatis. Akibatnya muncul semacam mata rantai yang terpotong dalam berkesinambungannya arsitektur masa lampau kita di sini karena desain-desain dengan spirit lokalitas “yang mungkin itu sudah tidak menarik untuk digali sebagai sumber inspirasi dalam sebuah bangsa yang secara sangat nasionalistis mempromosikan hanya satu wajah”. Terpotongnya tradisi mata rantai itu telah mengakibatkan khazanah keluhuran arsitektur masa lampau yang sebetulnya sangat kaya itu tidak lagi menjadi bahan landasan eksplorasi dasar penciptaan karya-karya arsitektur di masa sekarang karena kita belum membumikan dasar tradisi untuk penciptaan jati diri dalam wajah kota itu kini. Dengan kata lain, apakah kita tidak lagi sanggup berdialog dengan karya-karya yang ada di luar sana? Kualitas karya wajah kota kita memang sangat “terdegradasi” jika dibandingkan dengan tradisi yang terjadi di masa lampau. Upaya mengarahkan sumber daya dan tenaga pun ke arah pencarian “identitas diri”. Identitas diri itu adalah cara kita menjaga “karakter” dan “sifat beda” mulai dari gaya hidup, strata sosial, agama, usia, ras/etnis, panji-panji kelompok, sampai orientasi seksual umumnya menjadi referensi penting dalam eksistensi identitas. Agar bisa memahaminya, kita biasanya perlu cermin sebagai alat pembanding. Kehadiran “mereka” sebagai pembanding yang berbeda menjadi penting memahami siapakah adanya “kita” atau “self”. Kelompok yang merasa dirinya lebih baik, cenderung menjadikan dirinya sebagai referensi dan secara sepihak menegasikan identitas di luar dirinya.
Prof. Ir. Eko Budihardjo M.Sc. 1997 kota sebagai “Cultural Landscape” dengan beraneka ragam karakter, sifat, kekhasan, keunikan, kepribadian. Oleh karena itu, yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan, dan simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk pembangunan kota. Dalam setiap kota yang merupakan “melting pot” selalu terdapat pluralisme budaya, tidak dapat dihindari timbulnya benturan pada skala kota yang menciptakan kompleksitas dan kontradiksi. Sebab, antara homogenitas yang kaku seragam dan heterogenitas yang kenyal beragam, merupakan bentuk yang gampang pemeriahannya tetapi sulit pengejawantahannya.
Untuk mengatasi masalah semacam itu, disarankan suatu bentuk perencanaan yang open ended yang menentukan bagian-bagian tertentu dari sistem kota supaya memberikan peluang bagi bagian-bagian lain untuk bergerak secara massif. Perencanaan secara open ended yang luwes ini memungkinkan penjabaran nilai, kebutuhan, dan gaya hidup yang berbeda dalam suatu lingkungan yang selalu dinamis. Dan kelompok-kelompok penghuni kota yang berdatangan akan dengan mudah menyesuaikan diri dan membentuk kembali secara kreatif ruang, waktu, makna, dan komunikasi. Berbeda bukan berarti ancaman. Berbeda adalah pluralitas keunikan. Kita bisa hidup lebih baik dengan mengencangkan toleransi identitas dan menggunakan kota itu sendiri sebagai laboratorium hidupnya, serta jangan sampai terjebak dalam pengotak-kotakan identitas yang berlebihan, apalagi dibarengi ancaman seperti yang sempat diteriakkan Goerge Bush secara kekanakan dan cukup menggelikan, “You are either with us or against us!”
Mengutip ulasan Yatno Wibowo. ST, pada 19 Desember 2006, ada baiknya bagi para perencana yang menganut paham bahwa segala sesuatu “project” harus direncanakan, dikontrol, dan dipantau secara tegar pasti akan menentang pola tersebut. Mereka beranggapan ekspansi individual atau kelompok, jika dibiarkan akan menciptakan kekacauan, tidak teratur, berantakan. Padahal dalam kehidupan nyata ini, perencana dan pelaksana yang “down to the last detail” tidak hanya mungkin, tetapi bahkan juga tidak diinginkan. Soalnya, banyak hal di luar dugaan muncul dengan tiba-tiba. Kejadian dan perubahan, ekspresi dan improvisasi merupakan faktor yang justru memanusiawikan lingkungan dan layak dikembangkan, malahan harus diberikan wadah. Dalam upaya pengembangan identitas budaya dengan bertolak dari khazanah tradisi dapat dimulai dengan memperbanyak kompetisi sayembara desain yang lebih menekankan aspek kearifan lokal arsitektur lampau kemudian mensosialisasikan gagasan-gagasannya dengan melibatkan secara sustainable kepada para client, misal saja pada sektor-sektor pemerintahan, yang dalam program-programnya lebih menekankan pentingnya politik kebudayaan dari citra nasional ketimbang ekonomi tourism.
Dengan menempa sebentuk regionalisme tradisi harus atau tidaknya bersandar kepada argumen-argumen pascamodernisme. Tentu dengan menelaah semangat zaman dalam modernisme yang dianggap telah membuat arsitektur dan kota mengabaikan genius loci yang esensial bagi perasaan pomah kita. Sebab, “suara lian” memang telah dianggap menyatakan semangat zaman yang begitu menekankan keragaman subjektivitas nan kreatif. Akan tetapi, sekarang juga kita perlu bertanya kembali apakah genius loci dalam berbagai bentuk termutakhirkan itu tidak malah menjemukan karena telah menjadi ortodoksi irasional dan menyebabkan jurang kemiskinan dalam menanggapi laju pergulatan gerak zaman?
Kedekatan dengan alam, pemikiran yang lebih utuh, ketrampilan menggunakan atau mengolah bahan alam, serta semangat kebersamaan masih dapat kita baca dalam arsitektur tradisi kita. Dalam kesederhanaan ungkapan desainnya sebenarnya kita bisa belajar banyak tentang nilai kehidupan yang lebih memberi harapan. Krisis lingkungan yang banyak terjadi dalam kehidupan modern ini berawal dari sikap individualistik juga keserakahan dalam mengeksploitasi alam. Wawasan tentang nilai-nilai yang lebih menyeluruh dan bertumpu pada kebersamaan masih bisa kita temui dalam arsitektur tradisional. Arsitektur bisa menjadi media untuk berbagi nilai yang lebih positif tentang kehidupan yang lebih baik. Sehingga jangan sampai karya-karya arsitektur itu hanya menjadi prestasi sejarah karena mampu menjawab persoalan waktu saja sebagai tantangan bentukpada wadag arsitekturalnya, sedangkan persoalan place hanya selesai di tingkat tantangan programatik semata.
Arsitektur yang demikian itu tentu saja hanya menciptakan, bukan mengikuti tempat. Dengan narasi lain, arsitektur yang terbukti oleh sejarah, baik dan menjadi milik tempat tertentu pastilah arsitektur yang mengakar dengan lingkungan setempat ketika diciptakan. Bahkan pun beberapa karya arsitektur yang terasa lebih kontemporer justru setelah lebih dari setengah abad berdiri, sedangkan pada saat diciptakan ia pun mengesankan semangat arsitektur nan futuristik. Kekinian memang mempunyai kekuatan untuk belajar mengadopsi prinsip yang universal di masa depan yang lebih panjang. Jadikan arsitektur sebagai media untuk melakukan transformasi kehidupan yang lebih baik. Mungkin lebih berbicara tentang impact dari karya dalam konteks yang lebih luas.
Kota bukanlah entitas lepas yang berawal dan berakhir dalam dirinya sendiri, namun lebih sebagai ‘platform’ bersama untuk menganyam lagi aspek sosial, budaya dan lingkungan. Sedangkan subjek, dengan tingkat kemampuan yang berbeda-beda, dapat melihat kondisi tertentu dari kekinian sebagai bagian tidak terhindarkan dari masa depan. Kontradiksi semacam ini harus terus dihembuskan agar menjadi kebutuhan mendasar sebagai pemantik resep mujarab bagi korporasi-korporasi para pengembang yang terus membabi buta menyokong penguasa untuk mengeruk keuntungan sendiri dan golongannya demi hanya untuk mendapatkan sumber daya material yang real.
Noval hanan irianto . ST
Penggiat arsitektur
Pendiri NDH architectural workshop
Tinggal dipinggiran desa Yogyakarta


