Dewasa ini, isu kerusakan lingkungan akibat aktivitas bisnis korporasi membuat masyarakat jadi kian sensitif. Bagaimanapun, kerusakan lingkungan bukanlah persoalan yang sederahana. Ini masalah pelik dan kehidupan manusia jadi taruhannya. Krisis lingkungan yang terjadi di Halmahera hari ini merupakan fakta yang mengerikan. Ekosistem kehidupan menjadi tidak seimbang. Krisis air bersih, banjir yang meluap, rusaknya habitat flora dan fauna di darat, tercemarnya laut dan semua yang dikandungnya menjadi kenyataan pahit yang dihadapi masyarakat akhir-akhir ini. Semuanya secara langsung mengancam kehidupan manusia, sekarang dan di masa depan. Semua masalah ini muncul sebagai dampak dari aktivitas korporasi mengeksplorasi alam kita secara brutal dan membabi buta.
Lalu, kita menyaksikan kemunculan berbagai protes dan gerakan advokasi dari masyarakat. Ini adalah bentuk respon cepat dan sadar terhadap kondisi faktual lingkungan yang terdampak aktivitas korporasi. Ironisya, sebagian gerakan protes itu berujung pada tindakan represif oleh aparat penegak hukum. Hingga saat ini, gerakan itu masih terus dilakukan. Di berbagai media kita bisa menyaksikannya. Saya yakin bahwa semua ikhtiar itu dilakukan demi satu tujuan mulia, yaitu menyelamatkan kehidupan manusia dari malapetaka. Melalui tulisan sederhana ini, saya ingin memetakan masalah lingkungan yang berpijak pada kesadaran ekologis palsu korporasi.
Ironi Triple Bottom Line
Apakah mungkin, aktivitas bisnis yang berorientasi laba (profit oriented) bersanding dengan kesadaran untuk tetap menjaga kepentingan manusia dan kelestarian lingkungan? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Dahulu, korporasi hanya memiliki orientasi tunggal yaitu mengumpulkan sebanyak mungkin keuntungan bagi dirinya. Aspek lingkungan dan manusia berada di luar jangkauan tanggung jawabnya. Hal ini menyebabkan banyak ketimpangan. Kealpaan terhadap manusia dan lingkungan telah menyebabkan masalah serius bagi korporasi dan masyarakat.
Berangkat dari kondisi inilah, muncul gagasan yang melihat bahwa aktivitas bisnis yang berhubungan dengan lingkungan memiliki tanggung jawab besar untuk melestarikan lingkungan di samping mencari keuntungan. Korporasi harus menyelaraskan kepentingannya dalam mengejar keuntungan dengan etikanya terhadap manusia dan lingkungan. Pada tahun 1994, John Elkington merumuskan sebuah gagasan yang mengubah haluan korporasi dalam orientasi bisnisnya. Tanggung jawab perusahaan disandarkan pada tiga aspek yang dikenal dengan konsep Triple Bottom Line. Konsep ini mengatur tanggung jawab perusahaan pada tiga aspek, yaitu orang (People), lingkungan (Planet), dan laba (Profit). Secara ideal, konsep ini meletakkan kepentingan bisnis dan manusia serta lingkungan dalam satu tujuan. Triple Bottom Line menjadi rem yang mengontrol aktivitas korporasi agar tidak keluar, apalagi menyimpang dari tujuannya.
Namun demikian, implementasinya tidak benar-benar terjadi seperti yang diharapkan. Faktanya, kerusakan lingkungan adalah titik kulminasi dari tidak seimbanganya komposisi manusia dan lingkungan dibandingkan laba dalam tujuan perusahaan. Bagi korporasi, laba adalah tujuan utama. Manusia dan lingkungan tidak lebih dari sekedar ilusi. Semua aktivitas bisnis diarahkan sepenuhnya untuk mencapai laba maksimum. Jika terdapat sesuatu yang menghambat pencapaian laba, maka korporasi akan segera menuntaskannya kendatipun harus menumbalkan kepentingan manusia dan lingkungan. Manusia, lingkungan, dan laba justru menjadi elemen yang kontradiktif, berhadap-hadapan, dan sulit disatukan sama lainnya sebagai tujuan korporasi.
Hegemoni Kesadaran Ekologis Palsu Korporasi
Kita sekarang dihadapkan pada kenyataan bahwa kesadaran ekologis yng digaungkan korporasi adalah kesadaran palsu belaka. Kita bisa mendeteksi hal tersebut melalui pandangan John Dowling dan Jeffrey Pfeffer yang memetakan relasi korporasi-masyarakat dalam teori Legitimasi mereka pada tahun 1975. Korporasi selalu berusaha melegitimasi eksistensi dan aktivitas meraka di tengah-tengah masyarakat.
Triple Bottom Line dijadikan sebagai alat legitimasi. Korporasi ingin mengirimkan sinyal kepada masyarakat bahwa tindakan mereka sudah sesuai dengan prosedur serta tidak mengabaikan kepentingan lingkungan dan manusia. Nyatanya tidak demikian. Kerusakan lingkungan yang parah adalah bukti kongkrit. Legitimasi berubah menjadi hegemoni kesadaran. Triple Bottom Line berubah dari sebuah konsep bisnis yang ideal menjadi alat hegemoni kesadaran publik yang cukup efektif. Hegemoni ini terus mengkrangkeng kesadaran seluruh lapisan masyarakat hingga saat ini. Jika ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin seluruh upaya advokasi masayrakat untuk melindungi alam dan manusia dari dampak keserakahan korporasi akan sia-sia.
Di sisi lain, kesadaran ekologis palsu korporasi juga bisa dideteksi dalam konfigurasi teori Image Restoration yang digagas oleh William L. Benoit pada tahun 1995. Lewat teori ini, kita bisa membaca dengan jelas bahwa slogan-slogan kesadaran ekologis terus menerus dimunculkan di permukaan hanyalah upaya untuk merestorasi citra korporasi di benak masyarakat saat berada dalam ancaman. Korporasi yang terlanjur kotor dalam persepsi masyarakat akan mencoba segala cara untuk memulihkan nama baiknya. Bahkan, mereka tidak ragu-ragu menggunakan hukum dan cara-cara represif untuk melindungi citra diri dari persepsi buruk publik. Semua tindakan korporasi ini semata-mata dilakukan untuk meneguhkan eksistensi mereka di mata masyarakat dengan bersembunyi di balik jubah kesadaran palsu.
Di Mana Kita Berdiri?
Kejahatan lingkungan korporasi yang dibalut dengan kesadaran ekologis palsu adalah masalah serius kita bersama. Meskipun tidak setiap kita hidup di daerah lingkar korporasi dan terdampak langsung, tetapi kita turut merasakan apa yang dialami masyarakat di sana. Perasaan ini pula yang mengetuk nurani kita untuk mendukung semua perjuangan mereka. Langkah advokasi terhadap lingkungan harus terus dilakukan. Media online maupun cetak harus menjadi corong advokasi yang aktif menyadarkan masyarakat secara kontinyu.
Masyarakat tidak boleh terlena oleh nyanyian surga korporasi yang menukar keberlimpahan materi dengan kedaulatan negeri sendiri dan masa depan generasi. Kita tidak boleh membiarkan kerusakan lingkungan terus berlanjut dan mengancam kehidupan generasi di masa yang akan datang. Kesadaran masyarakat harus selalu berpijak pada nilai-nilai kearifan lokal yang luhur, bebas dari pasungan kesadaran ekologis palsu korporasi dengan segala bentuk kejahatan lingkungannya. Wallahu’alam bishawab.
Zulkifli Abu, S.E., M.Si
Penulis Merupakan Akademisi di Unkhair, Maluku utara


