George Floyd dan Kisah Empat Abad Rasisme di Amerika Serikat

Pembunuhan George Floyd oleh polisi rasis di Minneapolis tak hanya menginjak-injak rasa kemanusiaan kita, tetapi juga menyalakan ingatan kita akan rasisme di AS yang sudah berlangsung selama empat abad.

Bisakah Amerika berjaya tanpa perbudakan? Kata Malcolm X, aktivis hak-hak sipil Amerika itu, tanpa perbudakan, maka tak ada kapitalisme Amerika.

Mungkin, bagi sebagian kita, pernyataan Malcolm X itu terkesan berlebihan. Namun, fakta-fakta sejarah banyak membenarkannya. Perbudakan yang berlangsung 246 tahun berkontribusi besar menjadi tiang-pancang bagi kapitalisme AS untuk berkembang menjadi raksasa dunia.

Di masa itu, kapas, tembakau, dan gula adalah primadona perekonomian dunia. Bahkan kapas menjadi produk penting di masa revolusi Indutri. Nah, produk-produk itu banyak dihasilkan lewat perkebunan-perkebunan yang mempekerjakan kaum budak.

Sebut saja New York, kota bisnis termasyhur di seluruh dunia. Di masa itu, sekitar 40 persen pemasukan kota itu berasal dari bisnis kapas. Sehingga kota itu bisa menjadi pusat perdagangan dan bisnis.

Bahkan, berdasarkan catatan sejarawan Edward E. Baptist, ekonomi kapas menyumbang hampir 50 persen ekspor AS kala itu. Itu baru kapas, belum menghitung tembakau dan gula.

Berkshire Hathaway, salah satu perusahaan milik Warren Buffet, adalah raksasa tekstil di masanya yang menerima manfaat dari perbudakan di Rhode Island.

Banyak bagian dan simbol-simbol kejayaan kapitalisme AS masa kini, seperti Wall Street, itu dibangun lewat jerit-pedih dan jutaan nyawa kaum budak.

Wall-Street, simbol agung kapitalisme, itu juga dibangun oleh kerja tak berbayar kaum budak. Ceritanya, New York kala itu—abad ke-17—masih dikuasai oleh Belanda. Kota itu diberi nama: Nieuw Amsterdan atau Amsterdan Baru.

Nah, untuk mencegah serangan masrakat asli Amerika dan Inggris, maka dibangunlah tembok setinggi 10 kaki. Di sepanjang tembok ini ada jalan yang membentang. Ya, jalanan di samping tembok.

Kelak, ketika kota itu diambialih oleh Inggris, namanya diubah menjadi New York. Temboknya dihilangkan, tetapi nama jalannya tetap: Wall Street.

Pada 1711, pejabat New York mendirikan pasar budak di kota itu. Sekarang, bekas pasar itu jadi situs sejarah di tengah-tengah pusat bisnis Wall Street. Kalau nggak sempat ke sana, silahkan googling, yak.

Beberapa bank terkemuka di Amerika, seperti JP Morgan dan Wachovia Corp, juga pernah terlibat dalam bisnis budak ini. Bank-bank ini membolehkan budak sebagai jaminan mendapat pinjaman.

Tak hanya JP Morgan dan Wachovia, beberapa bank ternama di masa kini juga diuntungkan oleh perdagangan budak, seperti Citibank, Bank of America dan Wells Fargo.

Menjelang perang sipil Amerika (1861-1865), ada 3 juta orang Afro-Amerika yang diperbudak. Jumlah itu mewakili 13 persen dari jumlah populasi Amerika kala itu.

Memang, di tahun 1865, seiring dengan amandemen ke-13 Konstitusi AS, perbudakan dihapuskan. Tetapi, secara ekonomi, politik, dan sosial-budaya, kaum budak masih tercekik diskriminasi. Mereka tetap terpenjara dalam politik segregasi berbasis ras.

Pasca berakhirnya perang sipil hingga 1968, berlaku “Hukum Jim Carow (Jim Carow Law), yang mengatur sosial pemisahan antara kulit-hitam dan kulit-putih di ruang publik, seperti sekolah dan angkutan umum.

Memasuki abad ke-20, orang-orang Afro-Amerika yang terdidik dan tercerahkan mulai mengusung gerakan emansipasi dan kesetaraan. Misalnya, gerakan Niagara, yang didirikan oleh seorang sosiolog dan aktivis, W. E. B. Du Bois. Dia adalah orang Afrika pertama yang mendapat gelar PhD dari perguruan tinggi ternama: Harvard University.

Gerakan ini juga yang menjadi cikap bakal sebuah gerakan kesetaraan yang lebih luas, yakni National Association for the Advancement of Colored People (NAACP) pada 1909.

Tahun 1930, seorang muslim keturunan budak, Elijah Muhammad, mendirikan organisasi bernama The Nation of Islam (NOI). Gerakan ini memperjuangkan bangsa dan negara sendiri bagi kaum kulit hitam Amerika, yang berbasis di negara bagian yang dihuni banyak Afro-Amerika.

Di tahun 1950-an, berkembang gerakan hak-hak sipil, yang dimotori oleh Martin Luther King. Perjuangan mereka memang menghasilkan Civil Rights Act 1964, yang mengakhiri segala bentuk diskriminasi (ras, warna kulit, agama, gender, dan lain-lain).

Namun, lagi-lagi Civil Right Act 1964 tak juga berhasil meluluhkan konstruksi sosial rasiliasme yang terlanjur mengental dan mengeras. Tak hanya terus mewariskan diskriminasi, tetapi juga kekerasan.

Sementara politik “supremasi kulit putih” tidak pernah tenggelam, rasisme terhadap kulit hitam juga tak berhenti. Diskriminasi dan kekerasan tetap berlanjut. Terutama yang dilakukan oleh Ku Klux Klan dan Polisi.

Sehingga, demi melindungi diri dari kekerasan itu, warga kulit hitam mendirikan “Black Panther”. Para pendirinya adalah aktivis Afro-Amerika yang terilhami oleh kekayaan pemikiran marxisme.

Dan rupa-rupanya, rasisme itu terus berlanjut hingga menginjak abad 21 ini. Diskriminasi dan kekerasan terhadap kulit hitam masih terus terjadi. Sehingga, pada 2013, warga Afro-Amerika kembali mendirikan alat perlawanan: Black Lives Matter.

//

Salah satu institusi yang kerap terang-terangan menunjukkan rasismenya di AS adalah kepolisian.

Rupanya, watak rasis dalam institusi kepolisian AS itu bukan kebetulan. Itu berkelindan dengan sejarahnya.

Sejarah polisi di Amerika bermula dari 1600-an. Pertama-tama, ada yang disebut “penjaga malam” (Night Watches), yaitu orang-orang yang dibayar untuk menjaga kaum kaya dari penjahat.

Kemudian, sekitar 1704, seiring dengan makin meluas dan berkembangnya perbudakan di selatan, maka dibentuklah yang disebut “Slave Patrol” (Patroli Budak).

Mereka terdiri dari para penunggang kuda, bersenjatakan pistol dan cambuk, yang bertugas mengejar dan menangkapi budak-budak yang melarikan diri. Patroli Budak berlanjut hingga pecahnya Perang Sipil (1861-1865).

Tahun 1990an, AS mulai punya institusi kepolisian yang resmi. Meski polisi disebut sebagai institusi publik, tetapi mereka tak bekerja untuk melindungi semua ras.

Sebuah catatan menunjukkan, sepanjang 1800-an hingga 1950, setidaknya ada 4000-an orang Afro-Afrika yang mengalami lynchings—hukuman mati tanpa didahului proses hukum/pengadilan. Sebagian besar digantung hidup-hidup.

Tahun 1960-an, ketika gerakan hak-hak sipil menguat, kepolisian menjadi institusi di garda depan untuk merepresi para aktivitasnya. Di tahun-tahun itu, FBI punya misi khusus yang disebut COINTELPRO, yang bertujuan mematai-matai, menangkapi, dan membunuh aktivis Afro-Amerika.

Hingga hari ini, masyarakat Afro-Amerika terus menjadi objek kebrutalan Polisi. Catatan Clare Corbould di The Conversation menyebutkan, anak muda Afro-Amerika 21 kali lebih banyak dibanding anak muda kulit-putih.

George Stinney, orang termuda yang dihukum mati di AS sepanjang abad ke-20, adalah kulit hitam. Dia masih berusia 14 tahun ketika dieksekusi mati menggunakan kursi listrik tahun 1944.

Dia dituduh membunuh dua gadis kulit-putih. Meski tuduhan itu tak didukung oleh bukti yang kuat, Stinney tetap dihukum mati. Belakangan, tahun 2014, setelah 70 tahun kematiannya, Stinney dinyatakan tak bersalah. Ya, kepolisian dan pengadilan yang korup dan rasis, didukung oleh konstruksi sosial yang rasistik, menghilangnya nyawa anak tak berdosa itu.

Catatan lain menunjukkan, sejak 2015 hingga sekarang, lebih dari 1200 Afro-Amerika tewas di tangan Polisi. Ini belum menghitung jumlah Afro-Amerika yang tewas di dalam penjara maupun pembunuhan dengan cara lain.

Sampai ada banyak kejadian. Kalau seorang Afro-Amerika dituduh melakukan kejahatan, meski belum terbukti, ia akan menjadi objek kekerasan: dipukuli, dicekik, hingga ditembak. Seperti kasus yang menimpa George Floyd.

Kalau ada waktu, buka-bukalah Youtube. Ada banyak video yang memperlihatkan kebrutalan polisi AS terhadap warga Afro-Amerika.

//

Sebetulnya, kemenangan Barack Obama di pemilu AS tahun 2008, yang mengantarkannya menjadi orang Afro-Amerika pertama yang menduduki jabatan Presiden, sempat memercikkan harapan.

Setidaknya, bagi orang-orang Afro-Amerika, yang sudah lebih dari 4 abad menjadi korban rasisme. Juga korban ketidakadilan ekonomi, politik, dan sosial.

Sayang, di masa pemerintahannya, Eric Garner, Michael Brown, Freddie Gray, Sandra Bland, Tamir Rice, Alton Sterling, John Crawford, Akai Gurley, Jamar Clark, dan lain-lain kehilanganya oleh polisi rasis.

Di masa pemerintahannya, 9 orang kulit hitam ditembak mati di dalam gereja Ibu Imanuel (EMA), di Charleston, Carolina Selatan, oleh seorang pemuda kulit putih yang mengusung politik rasisme.

Nasib warga Afro-Amerika dan kaum miskin Amerika juga tak berubah banyak di masa Obama. Hampir 23 juta warga Afro-Amerika dan Latino-Amerika tetap terjerembab dalam lubang kemiskinan.

Tahun 2016, semuanya berbalik, ketika Donald Trump, seorang politisi rasis, terpilih sebagai Presiden AS. Di masanya, politik supremasi kulit putih kembali pasang.

Para pengusung politik supremasi kulit putih semakin berani unjuk gigi, baik lewat pawai jalanan maupun aksi-aksi kekerasan langsung terhadap kelompok minoritas.

//

Jadi, kematian George Floyd ditangan empat polisi rasis di Minneapolis, hanyalah satu potret dari berjuta-juta kematian orang Afro-Amerika akibat rasisme yang sudah berlangsung empat abad.

Selamat jalan, George.

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid