Di manakah letak agama pada film The Matrix yang terilhami oleh hasil amatan budaya seorang Jean Baudrillard, dimana konon dunia nyata dan maya melebur dan tak lagi dapat terpilahkan? Dan ketika pun agama, katakanlah, masih memberi nuansa pada perjuangn Neo dkk., dengan sejumput iman pada prophecy tentang “Imam Mahdi,” sekuat apa daya tahan iman itu di bawah tekanan jejaring digital yang mengarah pada “kekosongan nilai” (Fanatisme dalam Dunia Wayang, Heru Harjo Hutomo, https://jalanhijrah.com)?
Kekosongan nilai atau nihilisme memang menjadi salah satu penanda dalam visualisasi abad digital dalam film The Matrix, dimana salah satu bab dalam buku Baudrillard, “On Nihilism,” memampang di adegan-adegan awal film. Berbeda dengan Baudrillard yang memang tak menyajikan misi pembebasan, film The Matrix justru berupaya menyajikannya lewat penyadaran dan pemilihan Neo untuk memimpin perlawanan, atau setidaknya untuk mengarahkan keadaan untuk lebih seimbang antara geliat manusia dan teknologi. Upaya dalam film The Matrix ini adalah laiknya perpindahan dari revolusi industri 4.0, yang melahirkan bentuk masyarakat 4.0, ke bentuk revolusi industri 5.0, yang juga melahirkan bentuk masyarakat 5.0.
Secara sederhana, ketika pemaksimalan teknologi dalam revolusi industri 4.0 seakan mampu melenyapkan kehadiran dan kontribusi manusia, revolusi industri 5.0 berupaya menempatkan kendali pengarahan teknologi yang maksimum itu tetap pada manusia. Manusia memang boleh lenyap dalam segala otomatisasi yang disebabkan oleh penggunaan teknologi yang maksimum dalam revolusi industri 4.0, yang otomatis memantik pula terjadinya proses-proses dehumanisasi yang jauh dari bayangan manusia sendiri, namun revolusi industri 5.0 berupaya merebut kembali martabat manusia atas mesin atau teknologi meskipun sekedar pada aspek pengarahannya.
Revolusi industri 5.0, yang melahirkan bentuk masyarakat 5.0, memang sementara ini masih berupa wacana dimana praktiknya juga masih terbatas dan belumlah mengglobal. Namun, mengingat revolusi industri 4.0 yang secara perlahan namun pasti terjadi, sebagaimana yang manusia alami kini, lambat-laun karakter-karakter seperti Neo dalam film The Matrix akan lahir dan melakukan sebentuk lompatan untuk menuju revolusi industri 5.0 di mana martabat manusia kembali tegak, setidaknya ketika pemaksimalan teknologi itu telah melumat kekuasaan sang tuan.
Nihilisme pada temuan Baudrillard atas dunia digital ternyata tak diindahkan oleh logika film The Matrix yang masih menempatkan agama meskipun hanya sebatas pada semangat untuk melawan atau mengubah sebuah keadaan, sebagaimana yang dicerminkan oleh Neo dkk. Dalam wacana sufisme, Neo adalah laksana Imam Mahdi yang konon akan bangkit dan memperbaiki keadaan.
Wacana sufisme tentang Imam Mahdi, Ratu Adil, Satrio Piningit, dsb., tentunya tak pula dapat diartikan secara harfiah. Wacana tentang sang terpilih itu pada dasarnya adalah core dari sebuah agama. Dan konon, di samping makna dan fungsi yang beraneka ragam, agama adalah juga sebentuk harapan, bahwa kelak orang akan selamat, terselamatkan atau diselamatkan. Bukankah banyak hal dalam apa yang dikenal sebagai agama itu hanyalah penjabaran belaka dari “selamat” itu.
Heru Harjo Hutomo: penulis, perupa, pemusik, dan pemerhati radikalisme-terorisme
Foto : Sumber eraspace


